Budaya-Tionghoa.Net | Rekan-rekan yang terkasih, Ini oleh-oleh dari Semarang. Minggu lalu saya bersama-sama dengan Saudara Andrew Huang dan Daniel bertemu di Semarang untuk mencari dana penerbitan buku budaya Tionghoa. Ada hal menarik yang ingin saya sampaikan pada rekan-rekan sekalian. Kami bertemu dengan seorang tokoh Etnis Tionghoa Semarang dan membicarakan mengenai buku itu.
|
Di luar konteks yang dibicarakan Beliau menceritakan sesuatu hal yang akan kita jadikan bahan renungan kali ini. Pak S, demikian sebut saja nama tokoh tersebut, pernah dimaki oleh anggota suatu LSM yang mengatakan, “Pak S, Cino penjajah ekonomi rakyat!” Makian inilah yang akan kita jadikan bahan renungan kali. Tentu saja saya juga tidak akan terima kalau dimaki demikian, namun saya akan mengajak dialog orang tersebut. Pertama- tama kita anggap bahwa pernyataannya benar. Kita anggap bahwa memang benar Etnis Tionghoa (biasa disebut Cina atau Cino oleh orang pribumi) adalah penjajah ekonomi rakyat.
Jadi dengan kata lain kita terima dahulu pendapat tersebut. Kemudian kita ajak dia menganalisa apakah yang dimaksud dengan penjajah tersebut. Apabila mendengar kata penjajah maka kita akan mengingat Belanda yang pernah menjajah
kita selama 350 tahun atau Jepang yang pernah menguasai negeri ini selama 3,5 tahun. Kita akan coba menelaah lebih jauh apa yang pernah dilakukan kedua bangsa penjajah tersebut di negeri ini.
Belanda dengan sistim tanam paksanya telah membuat rakyat menderita, selain itu ia juga memaksa rakyat bekerja rodi membangung jalan-jalan demi kepentingan kolonial. Salah satu jalan tersebut adalah yang membentang dari Anyer hingga Penarukan (dibangun oleh Gubernur Jendral Daendels pada abad 19). Kita juga mengetahui betapa mengerikannya penjajahan oleh Jepang. Rakyat hidup serba miskin dan kekurangan. Mereka juga dipaksa melakukan kerja paksa yang disebut dengan romusha. Banyak yang mati oleh kebiadaban Jepang itu. Bahkan tidak cukup itu saja, Jepang telah menodai pula kehormatan para wanita dengan memaksa mereka menjadi jugun ianfu untuk memuaskan nafsu seks tentara Jepang.
Nah, sekarang akan kita bandingkan apakah etnis Tionghoa (si Cina/ Cino) telah melakukan kebiadaban semacam itu sehingga layak disebut penjajah. Tentu anggota LSM tersebut nilai raport sejarahnya pasti merah. Setelah merenungkah hal di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak benar Orang Cina/ Cino adalah penjajah. Tidak satupun orang-orang Tionghoa perantauan di Indonesia pernah melakukan hal semacam itu. Namun sayangnya meskipun pelajaran sejarah diberikan selama 6 tahun (dari SMP kelas 1 hingga SMU kelas 3), tetapi saja banyak yang tidak memahaminya.
Barangkali yang menyebabkan umpatan semacam itu, tak lain dan tak bukan adalah kecemburan sosial. Dalam suatu masyarakat yang majemuk berlaku yang dinamakan Teori Seleksi Alam Darwin. Kelompok atau individu yang memiliki daya saing dan kapabilitas lebih tinggi akan “naik” ke atas, sementara yang lainnya akan terseleksi. Jadi kaya dan miskin adalah suatu konsekuensi dari masyarakat kapitalis [dan juga komunis], dan ini tidak bisa kita pungkiri.
Etnis Tionghoa memiliki banyak pola hidup dan sikap yang menunjangnya untuk berhasil, meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa kaum pribumi sudah “ditetapkan” oleh alam untuk tidak berhasil. Tentu saja anggapan semacam itu jauh dari kebenaran. Kaum pribumi dan etnis Tionghoa sama-sama dapat berhasil dan mencapai kesuksesan, asalkan memiliki pola hidup dan sikap untuk berhasil. Tentu saja terlalu panjang untuk membahas pola hidup dan sikap-sikap apa yang dimiliki oleh etnis Tionghoa untuk berhasil.
Kaum yang tidak berhasil tidak seyogianya mencemburui dan membenci golongan yang berhasil. Malahan seharusnya keduanya bergandengan tangan untuk saling mengisi. Kecemburuan terhadap kaum yang berhasil ini, tidak hanya terjadi antara Si Cina/ Cino dengan pribumi. Penulis pernah ke Sumatera (Lampung) dan menjumpai hal yang sama. Di sana etnis Jawa yang pendatang lebih sukses dibandingkan dengan pribumi suku Lampung. Seorang anggota etnis Jawa mengeluh pada penulis bahwa pribumi Lampung suka melempari toko etnis Jawa yang sukses. Ia berkata, “Mestinya khan jangan iri ya Pak, harusnya mereka belajar dari Orang Jawa yang sukses.” Nah, seharusnya sikap semacam itu ditanamkan dalam lubuk hati sanubari semua etnis di bumi persada nusantara ini.
Kebencian selanjutnya terhadap etnis Tionghoa dipicu pula oleh anggapan bahwa etnis Tionghoa merupakan perusak perekonomian Indonesia melalui kolusi dengan para pejabat negara. Namun dengan pikiran sehat kita perlu mengakui, bahwa tidak semua orang atau wong Cino berlaku demikian. Hanya Cina konglomerat saja yang berkolusi dengan pejabat tinggi, dan yang perlu diingat kaum pribumi konglomerat JUGA SEMUANYA BERKOLUSI dengan pejabat tinggi (ingat Hutomo Mandalaputra/ Tomy Soeharto, Probosoetedjo, Siti Hardayanti Rukmana, dll.) Mengapa hanya konglomerat etnis Tionghoa saja yang selaku dikambing-hitamkan?
Inilah yang perlu dipandang secara adil. Selanjutnya perlu dipertanyakan pula, apakah etnis Tionghoa “yang tidak punya apa-apa” juga berkolusi dengan pejabat tinggi? Jangankah berkolusi, mereka malah menjadi sapi perah kaum aparat lokal. Mau bikin KTP dipersulit, mau bikin ini dan itu harus bayar lebih maha. Mereka semua adalah korban suatu sistim yang tidak adil, jadi jangan persalahkan dan menimpakan kerusakan ekonomi pada Etnis Tionghoa.
Pandangan itu sungguh tidak adil. Selanjutnya para pejabat tinggi juga dapat dikatakan semuanya adalah pribumi. Mereka korupsi besar-besaran dan merusak ekonomi negara. Jadi jelas sekali, kesimpulannya, kaum pribumi juga besar peranannya dalam merusak perekonomian tanah airnya sendiri. Justru kini kita patut mempertanyakan dimana letak kenasionalisan mereka dan jangan selalu menuntut etnis Tionghoa untuk menunjukkan kenasionalisan mereka.
Kini kita akan menganalisa dengan jujur apa saja yang sudah dilakukan etnis Tionghoa bagi negeri ini. Liem Swie King, Rudy Hartono, Susi Susanti, Alan Budikusuma, Kwik Kian Gie, Liem Koen Hian, dan lain-lain adalah contoh-contoh Wong Cino yang pernah mengharumkan negeri ini. Banyak kuburan-kuburan pahlawan tak dikenal yang berisikan jazad etnis Tionghoa yang pernah berjuang demi negeri ini.
Demikianlah para tokoh2 besar etnis Tionghoa. Kini kita akan beralih pada tokoh-tokoh “kecil” seperti Pak S yang berusaha dan mendirikan pabrik di bumi persada nusantara ini. Secara jujur dan bisa kita pungkiri bahwa pabrik2 tersebut menyerap tenaga kerja dan memberikan lapangan hidup pada kaum pribumi. Hal yang sering dijadikan kambing hitam adalah masalah UMR dan kesejahteraan kaum buruh. Tapi mereka lupa bahwa UMR dan masalah buruh ditetapkan oleh pemerintah dan para pemilik pabrik dari kalangan etnis Tionghoa [dan juga pribumi] hanya menjalankannya. Dengan demikian, adalah suatu kebodohan apabila menganggap kaum Cina menekan kesejahteraan dan upah kaum buruh. Sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu diluruskan, namun karena keterbatasan tempat dan waktu kita cukupkan sampai di sini saja.
Salam kasih demokrasi dan kemanusiaan,
Tan , 14 February 2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 998