Sukses bukan datang begitu saja dari langit, Janganlah berkeluh kesah
Pikirlah matang-matang & carilah jalan untuk mengatasi kesulitan [ Dr. Han Hwie-Song]
Budaya-Tionghoa.Net | Pada bulan Agustus, Dr. Hamers, direktur RTIT menulis pada saya bahwa Beliau sudah membicarakan dengan inspektur kesehatan dan kantor urusan visa bahwa dalam jangka waktu sebulan dua bulan visa untuk kami bisa beres. Beliau mengatakan bahwa visa untuk entry akan diteruskan kepada Konsul Jendral Belanda di Hongkong, mereka akan menelpon saya. Beliau berharap agar aku bersiap-siap dan sesudah visa diterima aku diharapkan segera berangkat, karena aku sudah diikutkan dalam “kursus melindungi sinar” (Stralingsbescherming) yang dibutuhkan untuk dapat bekerja di bagian kedokteran nuklir.
Kursus itu akan dimulai pada pertengahan bulan November yang akan datang. Surat itu kami terima dengan gembira bercampur dengan gelisah. Gembira karena kami anggap aku bisa bekerja normal sebagai dokter, profesi yang aku pelajari dan aku membuang tenaga tidak sedikit untuk mencapainya. Gembira karena menurut pandangan kami bahwa Eropa adalah negara ideal untuk kami tinggal selain USA. Gelisah karena kita akan ke negara yang belum kita kenal, dan disana tidak ada seorang famili. Juga banyak pekerjaan yang harus kami selesaikan, minta paspor Hongkong, membeli tiket, mengembalikan apartemen, mengurus barang-barang rumah tangga dan persiapan barang-barang untuk berangkat.
Kami harus menelpon keluarga kami di Indonesia untuk mengabarkan berita baik tsb. Pagi-pagi kami berangkat ke bagian imigrasi Hongkong untuk mengurus paspor kami, semua surat-surat yang penting dari Belanda kami bawa dan tidak lupa surat identitas penduduk Hongkong. Di kantor, penuh dengan orang yang akan beremigrasi keluar negeri kebanyakan ke Inggris atau USA. Waktu menunggu, hatiku berdebar-debar, apakah mungkin aku yang belum satu tahun di Hongkong, pemerintah Hongkong mau memberikan aku paspor? Waktu tiba giliranku, aku dengan tenang mengatakan pada seorang pegawai imigrasi. Aku mengatakan pada Beliau bahwa aku dapat kerjaan di Belanda dan untuk ke Belanda diperlukan paspor Hongkong. Dia bertanya padaku dan selalu menggunakan dialek Cantonese. Aku menjawab dengan bahasa Inggris dan minta maaf bahwa aku tidak bisa bicara Cantonese dan hanya mengerti sedikit saja. Saya katakan dengan baik, bahwa aku tidak mengerti apa yang Beliau katakan itu. Pembicaraan menjadi agak kaku, meskipun aku tetap kalem. Dia dengan kaku dan berkata dengan pendek meminta identitasku dan keluargaku. Sambil mengembalikan semua surat surat keterangan kami dengan cepat, pegawai imigrasi itu berkata: “saya tidak bisa memberikan kau paspor, karena kau baru datang dari RRT, minta saja pada pemerintah RRT”. Aku menjawab: ”disini tiada perwakilan Tiongkok yang dapat memberikan paspor, berilah aku satu travel document saja cukup!.” Sambil menggelengkan kepala, dia menggerakkan tangannya agar aku pergi dan memanggil orang lain. Aku masih berkata: ”Di koran-koran mengatakan bahwa Hongkong terlalu penuh penduduknya, dan kami akan meninggalkan Hongkong kenapa anda tidak mau membantunya?” Dia tetap membisu sambil menggerakkan tangannya agar aku pergi dan bicara dengan orang yang telah dipanggil. Aku menunjukkan kemarahanku dan sambil tenang mengumpulkan surat-suratku dan tanpa pamitan sambil melihat dia, aku pergi.
Di tram aku berpikir bahwa memang masyarakat Hongkong adalah masyarakat yang keras, masyarakat lu-lu, gua-gua. Kenapa dia tidak bicara dengan baik dan memberi keterangan bagaimana cara penyelesaiannya? Aku menjadi tegang, apakah aku bisa berangkat ke Holland? Tetapi aku tetap mencari jalan dan sesampainya dirumah aku bicarakan semua ini dengan istriku. Kemudian kami putuskan untuk menghubungi advokat Inggris yang paling besar di Hongkong untuk mengurusnya, meskipun mahal kami membayarnya. Aku katakan pada istriku: ”tenangkan pikiranmu, aku tanyakan besok pada teman-teman baba yang sudah lama tinggal di Hongkong dan pandai bahasa Inggris, tentu mereka lebih mengerti. Teman-teman totok biasanya memakai pertolongan advokat orang Hongkong. Dari teman-temanku, aku diberi nama kantor advokat yang besar, dan associatenya lulusan Inggris. Mereka berkata: “Kalau kau ke sana pasti beres, tetapi mahal harganya.” Aku mengatakan: ”Dengan kejadian apa yang sudah kualami selama ini aku tahu bahwa Hongkong bukan tempat buat aku menetap, berapa mahalnya akan kubayar.”
Besoknya aku memakai jas baru dan pergi ke kantor advokat itu. Di sana aku diterima oleh seorang advokat Inggris dengan pakaian yang parlente. Aku katakan kemauanku beremigrasi ke Holland dan pengalamanku dikantor imigrasi Hongkong. Beliau sambil senyum berkata: ”I think it will be O.K. don’t worry about it.” Saya ingin jawaban yang pasti, lalu aku tanya lagi: ”apakah menurut anda ini semua bisa beres, karena aku ingin sekali pergi ke Belanda dan bekerja disana sebagai dokter. Disini diplomaku tidak diakui dan aku hanya bisa bekerja sebagai akupunturis” Beliau menjawab: ”Persoalan Anda ini aku rasa tidak seberapa susah mengurusnya, saya akan kerjakan dengan baik. Menurut pendapatku tidak menjadi persoalan. Berikan semua surat-surat anda padaku dan tunggulah dirumah dan berikan nomor telepon padaku. Kalau sudah beres aku akan menelpon anda.” Aku berikan surat yang penting padanya, dibuat kopi dan aslinya diberikan padaku kembali. Dengan besar hati aku mengatakan terima kasih padanya, kita berjabatan tangan lalu aku meninggalkan kantornya.
Sampai di rumah aku mengatakan pada istriku apa yang telah dibicarakan dengan advokat Inggris itu dan hati kami mulai tenang, meskipun kadang kadang masih belum menentu kalau paspor belum ditangan kami.
Dr Han Hwie Song
Breda, 9 april 2004
Budaya-Tionghoa.Net | silahkan lanjut ke bab berikutnya di https://www.budaya-tionghoa.net/2004/04/kehidupan-kami-di-hongkong-1972-1973-6-kebijaksanaan-sebagai-dasar-dan-keluarga-sebagai-sandaran/