Budaya-Tionghoa.Net | Suatu kali saya menginap di rumah adik saya di Hoofddorp – Holland. Menginap begini sudah beberapa kali. Dan kami ngomong – ngobrol – disamping melepas kekangenan. Kami yang dulu 7 bersaudara, kini tinggal tiga. Murad, abang kami yang di Depok, Asahan Alham ( dulu Asahan Aidit ) dan saya. Tiga saudara ini dengan tiga kewarganegaraan. Abang kami warga RI – adik saya warga Belanda, dan saya warga Perancis. Tragis kan! Semua ini ada sejarahnya – ada asalnya. Yaitu sejarah-gelap-bangsa tahun 1965 itu, yang penciptanya sampai kini masih segar-bugar, satu-satunya diktator di dunia ini yang paling beruntung!
|
Selalu pabila saya menginap – ada-ada saja bahan penting buat dipikirkan lebih lanjut. Saya katakan pada Asan adik saya itu, begitu pulang dari rumahnya, begitu banyak saya dapat bahan buat dipikirkan kelanjutannya dan bahkan buat dutulis dan dilaksanakan – dikerjakan. Apa yang kali ini jadi pemikiran saya? Sebenarnya sudah lama ada dalam pikiran saya. Tetapi dengan cerita kami malam itu, tambah jadi pemicu buat saya kerjakan.
Dia sudah melahirkan novel pertamanya, berjudul PERANG DAN KEMBANG,- sejalur kisah kehidupannya ketika dia hidup di Vietnam. Ternyata buat kelahiran novel itu, siapa yang bisa menduga, dia menunggunya lebih 10 tahun! Kenapa begitu lama? Banyak soal. Soal dana dari penerbitannya – soal giliran antrinya – soal yang mana harus didulukan – dan macam-macam. Padahal pemilik percetakan dan penerbitan ini adalah kawan akrabnya dari dulu sampai kini.
Dan juga kawan akrab saya. Tapi saya lebih tidak beruntung dari Asan. Sebab begitu banyak naskah yang saya serahkan kepadanya buat menunggu kesempatan bisa diterbitkan, tidak satupun yang dia terima. Semua ditolaknya. Tentu dengan alasan dari segi dia. Dia bilang, penerbit ini adalah badan dagang – yang komersial – jadi kalau kami menganngap buku itu tidak akan begitu laku, maka akan kami tolak daripada perusahaan ini rugi! Saya tentu saja menerima alasan itu. Namanya juga orang dagang – kan mau untung!
Yang aneh dan hebatnya,- semua buku saya yang sudah terbit di Indonesia, tidak seorangpun yang saya kenal – yang sudah berkenalan dengan saya! Jadi pemilik penerbitan – percetakan – benar-benar tidak pernah saya kenal sebelumnya. Dan saya diterima dengan baik – dengan menggembirakan. Tetapi justru ada tiga badan penerbit yang pemilik dan penguasanya adalah
teman-teman saya, bahkan teman dekat saya, yang sejak mudanya kami selalu bersama, semuanya menolak naskah saya!
Namun saya harus ada segi kegembiraannya – ada hikmahnya. Artinya semua buku saya yang sudah diterbitkan dan dijual di toko-buku itu, samasekali bersih dari unsur KKN! Penguasa – pemilik penerbitan itu, samasekali tadinya tidak mengenal saya – bahkan ada yang bertentangan dan berlawanan dengan “ideologi – paham politik zaman dulu itu”. Tidak hanya dalam penerbitan dan penyiaran buku hasil-sastra, saya selalu diterima dan malah dekat dengan orang-orang yang dulu sangat menentang pikiran saya, “ideologi-politik” saya. Bahkan saya sering-sering berada di tengah anak-anak muda yang penuh ke-Islam-an dan banyak yang pakai jilbab! Dan menginap di rumah orang-orang bekas DI yang mungkin juga TII,-
Saya banyak berpikir mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa teman – kenalan yang sejak dulu rapat dengan saya, tahu-tahu malah mereka-lah yang paling menolak saya. Mengapa dari pihak yang dulu menentang dan melawan pikiran-ideologi saya, justru menerima saya dengan baik dan berhari depan. Ketika kami saling mendiskusikan “nasib” kami sebagai penulis, sebagai sastrawan – ada satu hal yang kami ambil dan petik! Kata kami, kita ini tidak punya alat-alat produksi – tidak punya arena – tidak punya wadah sendiri. Selalu bergantung pada orang lain! Kalau bergantung ya seperti inilah kita! Menunggu giliran buat diterbitkan selama hampir sebelas tahun!
Gila kan! Dan seperti saya ini, membawa berkas naskah yang hampir 30 kg itu, tidak ada 7% yang berhasil bisa diterbitkan! Kenapa jadi begitu? Lagilagi kami lihat kenyataan yang ada. Kita ini tidak punya wadah – tidak punya alat produksi sendiri. Lihat itu tiga orang – hebat dan luarbiasa. Tiga-tiganya punya wadah dan alat produksi. Ada penerbitannya sendiri – ada percetakannya
sendiri – ada toko-bukunya sendiri! Dan mereka hebat dan sangat hebat.
Bisa terbang melesat tinggi. Yang pertama adalah Sutan Takdir Alisyahbana yang sering kami pelesetkan Sutan Takdir Ali Tak Benar. Yang kedua, Ajip Rosidi dan yang ketiga adalah Pramoedya Ananta Toer. Yang pertama punya percetakan dan penerbitan, dan toko-buku DIAN RAKYAT. Yang kedua punya penerbitan dan percetakann dan plus toko-buku PUSTAKA JAYA. Dan yang ketiga punya penerbitan, yang tadinya bernama MANUS AMICI – lalu jadi HASTA MITRA. Setelah ada kontradiksi intern, lalu pecah dua, yang satu menjadi LENTERA.
Nah, begini ini baru afdol! Kalau seseorang sastrawan – pengarang sudah punya penerbitan sendiri – percetakan sendiri dan toko-buku sendiri – inilah yang paling ideal! Dia atau mereka samasekali tidak lagi bergantung pada orang lain. Tidak seperti kita – tidak seperti kamu, San,- tidak sepert kamu, Bron! Dia menulis – mengarang sendiri – terbitkan sendiri – dan jual
sendiri bukunya! Bagaimana Rendra? Dia tidak punya apapun dalam soal yang saya ceritakan ini – jadi dia-pun tetap ada ketergan- tungan. GM = Gunawan Mohamad, termasuk seperti orang tiga yang saya ceritakan tadi. Dia punya segala – termasuk punya modal – dana yang melimpah ruah.
Jadi San, kata saya kepada adik saya, seseorang yang mau berjuang – bertempur, mau mengusir penjajah, harus punya alat-produksinya sendiri. Harus punya senjatanya dulu. Bisa saja mula-mula dengan bambu-runcing – parang – tombak – panah – keris – pedang. Lama-lama barulah dengan senapang – senapang mesin – meriam – bom dan tank serta pesawat-tempur. Nah, San, tidakkah kau berpikir bahwa kita-pun harus punya alat-alat produksi seperti mereka itu. Kalau tidak punya,- kita akan selamanya tergantung orang lain!
Sedangkan seandainyapun semua itu akan kita perjuangkan dan kita dapatkan, cobalah lihat begitu banyak teman-teman kita bernasib sama seperti kita. Betapa banyak naskah – tulisan mereka yang seharusnya kita terbitkan. Kita tidak sendirian. Banyak sekali teman-teman kita yang “nasibnya” malah jauh lebih”jelek” dari kita. Dalam tulisan di milis inipun, betapa banyak
teman-teman kita yang masih menyimpan naskah tulisannya buat mencari – menunggu penerbitannya. Tidakkah sejak kini kita harus punya alat-produksi – wadah itu tadI? Agar kita tidak bergantung pada orang lain?
—————————————————————-
Holland,- 18 mei 04,-
Budaya-Tionghoa.Net |
[Seri Tulisan Untuk Mengenang Sobron Aidit Dapat Anda Telusuri di Section Writing dan Kategori Sobron Aidit]