Budaya-Tionghoa.Net | Yang saya maksud Pak Pri yalah Prof Dr Prijono, ketika itu menteri PD dan K, lalu Dekan Fakultas Sastra UI, lalu sebagai Ketua Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Nah, yang belakangan ini bikin saya banyak berhubungan dengan Pak Pri. Sebab dia Ketuanya dan saya Sekretarisnya.
Biasanya sebelum kami mulai rapat, kami ngobrol dulu. Dan bagian adegan ini sangat asyik. Sebab ternyata Pak Pri sangat pandai ngobrol yang semuanya menarik dan asyik kita mendengarkannya. Orangnya ramah – terbuka – sangat komunikatif dan nah yang ini,- dia itu – sebagai pengganti beliau,- enak diajak ngomong – sangat tidak angker!
|
Padahal orangnya sangat berpotongan intelektuil – dan memang keturunan ningrat! Tapi sangat kerakyatan. Sangat tepatlah kalau Pak Pri mendapat Hadiah Perdamaian LENIN ketika itu. Ini karena Pak Pri banyak sekali terlibat dengan pekerjaan Komite Perdamaian Indonesia – Asia dan Dunia. Dan dengan pekerjaan begitu banyak sudah dengan sendirinya, sayapun menjadi turut banyak kerjanya sebagai sekretaris Lembaga yang diketuainya.
Dan ini akan sangat sulit bagi saya buat mencari di mana keberadaan Pak Pri. Sebab banyak surat-surat yang harus ditandatanganinya mengenai pekerjaan Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Sedangkan waktu itu belum ada bau-baunya apa yang dinamakan hp-hand-phone – mobile-telephone. Itu tahun 1954 – 1955 – 1956.
Ternyata Pak Pri tahu benar dan menguasai keadaan. Dia cari saya dan berpesan, kalau dia tidak ada di rumah dan di kantor mana-mana,- sebab kantornya banyak, kalau ada surat-surat yang harus ditandatanganinya – datang saja pada bunda Pri ( istrinya ). Antara Pak Pri dengan istrinya sudah ada persetujuan kerja, dan selalu berhubungan tilpun antara rumah dan kantor. Dan betul saja. Ketika ada surat-surat yang harus ditanda-tangani Pak Pri, dan Pak Pri malah baru berangkat ke Praha dan Wiena, saya datang ke rumah Pak Pri dan menemui bunda Pri. Bunda Pri ternyata sudah siap buat membaca surat-surat yang harus ditandatanganinya.
Dan cres..cres…tandatangan bunda Pri memang persis seperti tandatangan Pak Pri! Persis sekali! Saya senyum menerima surat-surat itu yang bunda Pri-pun juga tersenyum senang.
Dalam batin saya, memang seharusnya begitu. Kalau harus menunggu Pak Pri datang, kapan selesainya surat-menyurat yang minta segera diurus. Bagus sekali cara kerja Pak Pri dengan kerjasama dengan istrinya ini, sebab akan melancarkan pekerjaan yang harus disegerakan. Sudah tentu semua itu atas dasar perundingan dan kesamaan pandangan dulu, lalu barulah bisa dilaksanakan.
Ada orang yang barangkali akan sulit percaya. Bahwa Pak Pri banyak baca, tentulah orang akan tahu. Tetapi mungkin orang agak sulit percaya bahwa Pak Pri juga “pecandu buka cersil = cerita silat”. Ketika pada suatu rapat di rumah Pak Pri, dia cerita dengan sedikit teori yang dia dapatkan. Katanya kalau kita sudah membaca sebanyak 40 jilid sampai 60 jilid cersil, pada jilid-jilid selanjutnya itu pada pokoknya sama – yang itu-itu juga – agak diperhalus – tapi tidak akan jauh bedanya. Nah, katanya, dalam cersil akan selalu ada tokoh misterius – tersembunyi dan disembunyikan buat sementara.
Dan lalu akan ada seorang tokoh yang tak disangka tak dinyana – orang tua yang tampaknya diam-diam tetapi sangat banyak ilmunya. Lalu ada sinshe yang bisa mengobati penyakit yang hanya dia ada obatnya dan sangat mujarab. Lalu tiba-tiba ada tokohanak kecil bahkan bisa balita, yang sangat pandai – seperti Budha yang menyerap di antara kehidupan rakyat banyak – yang sulit disangka orang.
Lalu bisa terjadi ada tokoh nenek-nenek sangat sakti. Dan kalu perlu diadakan tokoh bangsawan, turunan raja Monggol atau turunan raja Tibet atau ya banyaklah. Dan kata Pak Pri, akan selalu ada adegan di pasar – di tempat ramai. Atau akan ada tokoh pahlawan tetapi masih dalam pembuangan yang nantinya akan berperanan sangat penting. Dan kami sebelum rapat dimulai sempat menikmati cersil yang diceritakan Pak Pri. Hampir saja bisa terlambat atau memang sudah terlambat buat memulai jam-rapat. Tapi nggak apa-apa, di rumah Ketua Umumnya sendiri kok!
Pak Pri suka juga bergurau. Ini pergurauan antara orang-orang gede. Antara Pak Pri dengan Bung Nyoto, katanya ada usul, bagaimana kalau setiap kalimat permulaan surat diuniformkan. Biasanya kan pakai yang terhormat, atau yang tercinta, atau Yang Mulia, atau pakai AWW = Assalamualaikum Warokhmatullah HiWabarokatuh….dan seterusnya. Nah, bagaimana kalau diusulkan pakai “Wahai Saudara Abdul Madjid atau Amboi Pak Saifullah di……”. Dan kami tertawa ngakak mendengar pergurauan antara orang-orang ternama itu,- Akh, dua-dua orang intelektuil yang kami sayangi itu sudah lama meninggal……Hanya merupakan kenangan indah saja yang kami masih ingat…….
—————————————————–
Holland,- 17 mei 04,-
Budaya-Tionghoa.Net | 3619
Catatan Admin : [Seri Tulisan Untuk Mengenang Sobron Aidit Dapat Anda Telusuri di Section Writing dan Kategori Sobron Aidit ]