Budaya-Tionghoa.Net | Karena keanehan-keanehan tertentu dalam pendidikan orangtua Sakil terhadap anaknya, maka setiap orang akan melihat, ada apa dengan Sakil ini. Terkadang tampaknya dia bingung dan selalu agak kusut – ada beban pikiran yang tak terletakkan. Sudah saya tuliskan bahwa Sakil ini sebenarnya anak baik – bahan-bahannya baik. Tetapi karena mendapat perhatian sangat sedikit dari orangtuanya – bahkan seakan-akan tidak diperdulikan, maka anak ini terlihat lain dari anak-anak lain. Apanya yang lain, itupun tidak kentara apa sesungguhnya. Mungkin dengan kata memelas – atau orang merasa iba melihatnya. Anak yang baru mau bertumbuh, tetapi samasekali tidak mendapatkan perawatan – perhatian selayaknya dari orangtuanya sendiri, tentulah akan menemui keadaan yang tidak normal.
|
Pada suatu ketika, kebanyakan anak-anak sekitar kampung kami pada bergembira. Hari itu anak-anak mendapat rapor – kenaikan kelas di sekolahnya. Begitu melihat anak-anak bergembira – lari sana lari sini – lempar- lemparan pasir – ketika itulah kami tidak melihat Sakil. Kemana Sakil? Berry mencari Sakil. Kami mencari Sakil. Orangtuanya sendiri mana peduli! Kami cari kemana-mana. Ternyata Sakil berdiri kaku di belakang mesjid Abubakr diujung jalan rumah kami. Dan kami lihat Sakil menangis
tersengguk-sengguk. Tampak sangat sedih dan sangat mengibakan hati. Kami tanyai, tetapi Sakil tidak menjawab. Dari Berry dan teman-teman lainnya barulah kami tahu, bahwa Sakil tidak naik kelas. Dan dia merasa takut pulang sendiri ke rumahnya, sebab tentulah ibu-bapanya akan memarahinya. Ya, tentu saja hampir semua anak-anak bergembira ria, karena naik kelas dan angka rapornya pada bagus-bagus, tetapi Sakil tetap tinggal kelas, dan banyak angka rapornya yang merah.
Kami membujuknya agar ke rumah kami saja. Berry menuntun tangannya, dan mengajak ke rumah. Sesudah makan-malam, orangtua Sakil datang ke rumah menanyakan Sakil, apakah ada di rumah kami. Sakil masih agak sesenggukan sambil berjalan di belakang ibunya. Kami merasakan dengan berbagai perasaan tidak enak. Akan diapakan orangtuanya, Sakil kecil-hitam itu? Mengetahui anaknya tinggal kelas, apa yang akan terjadi pada Sakil? Kami mengharapkan dalam hati, semoga oangtuanya tidak main tangan atau ngomel – marah-marah besar kepada Sakil. Kami pasang telinga – apakah ada suara jeritan atau tangisan Sakil? Agak lama juga kami tunggu, dengan harapan agar tak ada suara-suara atau jeritan atau tangisan.
Malah dari agak mengintip, kami lihat bapanya ke luar dengan tenang dan gaya bersantai. Lalu menuju mobilnya. Bapanya membersihkan mobil. Mengelapnya dan ada yang diperbaikinya. Di antara kami ada yang berkata, “coba itu lihat,
bapak Sakil lebih memperhatikan mobilnya daripada memperhatikan dan mempedulikan anaknya sendiri”. Dan disambung lagi “ya begitulah kebanyakan orang Surinam, lebih peduli mobilnya sendiri daripada anaknya”. Dan kami berdiaman. Dalam batin kami, itu sih kesimpulan dikarenakan orangtua Sakil sendiri yang bersikap demikian, bukan karena orang Surinam atau orang mana. Bisa saja terjadi pada orang Indonesia atau orang Belanda. Tapi tidak kami katakan – dan tidak kami keluarkan. Tidak ada suara jeritan – tidak ada suara tangisan Sakil saja, kami sudah cukup senang. Semoga Sakil tidak diapa-apakan,-
——————————————————————-
Holland,- 25 mei 04,-