Budaya-Tionghoa.Net | Teman baik saya yang di ujung dunia – Australia sana – mengajukan pertanyaan kepada saya, yang kira-kira mempersoalkan apa itu yang disebut bahagia. Katanya memulai riwayat maka sampai kepada perkara yang saya tuliskan ini “Saya kebetulan pernah menjadi relawan di kota Mebourne buat sebuah organisasi yang bernama <Youth Suicide Prevention Society> – dengan mottonya Here for life. Organisasi ini mengurus anak-anak muda yang pada mau bunuh diri”‘.
|
Di banyak negeri maju dan kaya seperti USA – Suisse – Norway – Australia – Jepang dan negeri Eropa, angka bundir ( bunuh diri ) di kalangan anak muda bahkan juga orang setengah tua, begitu tinggi. Banyak orang yang hilang dan sesat di dunia yang sibuk berpacu dan menderu mengejar materi melulu. Akhirnya mereka tidak tahu – tidak menyadari mengapa mereka ada di dunia
ini. Semua merasa serba salah, akhirnya check out alias bundir. Pertanyaan yang menyembul adalah, buat apa hidup ini? Apakah kita bisa bahagia selamanya? Yang namanya “bahagia”itu di mana kita bisa cari? Bagaimana cara mencarinya? Apakah bisa dimiliki dan dipelihara seumur hidup? Ataukah dia bagaikan kupu-kupu yang wira-wiri ke sana ke mari dan lalu lepas dari jemari kita dalam sejenak?
Di Sydney Harbour Bridge ada sebuah tulisan yang memperingatkan “Dilarang keras bunuh diri di sini”. Yang tertangkap basah atau tertangkap kering, bakal kena denda dan masuk penjara! Dan jagalah kebersihan! Nah, begitulah gawatnya orang-orang yang tidak bahagia itu, Bung -, kata teman saya itu. Tolong deh, bagaimana sebaiknya kita menolong anak-anak muda itu agar jangan sampai bundir! Dan begitu banyak orang yang sesat, kehilangan tujuan dan siap buat harakiri kapan saja, dan mereka ini ada di sekitar saya ini. Kata teman saya itu, “Aku berdoa pada Tuhan, lewat daun-daun yang gugur dan camar laut yang menggigil dan berbisik, sambil aku mencoba mendengarkan jawabannya.
Persoalan pokok yang diajukan teman saya itu ada dua, pertama perkara bunuh diri, kedua perkara apa itu bahagia dan bagaimana ukuran serta mencari dan mendapatkannya. Pada tahun 1936, terbit sebuah buku yang berjudul “Seni Bunuh Diri Yang Satria”. Buku itu terbit mula-mula di Italia dan dalam bahasa Itali. Lalu diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Pada tahun 1940-an, ada usaha di Indonesia buat juga menerjemahkannya. Tetapi segera ada larangan dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu. Jadi hanya kutipan resensinya saja dan foto-foto berbagai jenis seni-bundir! Dalam buku dikatakan ada dua cara bundir. Pertama cara kasar – tidak berseni – tidak sopan – mengganggu keamanan orang banyak – menjijikkan! Kedua cara halus – sopan – berseni tinggi – dan satria, dan patut dicontoh cara dan keberaniannya! Demikian buku itu. Yang termasuk cara pertama yalah, menjatuhkan diri dari jembatan – gedung tinggi – dari menara Eifel – dan menubrukkan diri di tengah kereta-api yang sedang jalan kencang. Cara pertama ini selalu mengganggu keamanan dan kenyamanan orang lain. Dan jadi urusan orang banyak. Hindarkanlah cara kasar dan tidak sopan ini,- demikian anjuran buku itu.
Cara kedua, yang berseni tinggi dalam bundir, yang satria dan yang seharusnya dicontoh kalau ada maksud mau bundir, yalah : siapkan gunting tajam dan runcing. Atau pisau tajam dan runcing, lalu palu. Masuk kamar, tetapi jangan dikunci dari dalam. Ketika semua orang tidak ada dekat situ – mulailah praktek! Tancapkan gunting atau pisau tajam runcing itu di tengah kepala, lalu ketok dengan palu setahap demi setahap dengan berirama. Dan terus ketokkan palu itu di atas gunting atau pisau itu. Siapkan kain atau gorden besar dan tebal buat menampung darahnya. Sudah itu, si pelaku tentu sudah tidak tahu apa yang terjadi. Bisa juga dengan menembakkan pistol yang pistol itu masukkan dulu ke dalam mulut, dan dengan pelan-pelan dan
meyakinkan, tariklah pelatuknya. Semua cara ini dilakukan dalam kamar yang tertutup ketika orang-orang tidak ada di sekitar situ. Bisa juga dengan cara harakiri, tembuskan ujung pedang ke tengah perut, seperti para samurai Jepang itu. Dan juga semua ini dilakukan dalam kamar ketika keadaan sepi.
Banyak sekali contoh cara bundir yang satria dan juga yang kasar dan tidak sopan. Yang mengganggu ketentraman umum – mengganggu kenyamanan orang banyak. Ketika itu pertengahan tahun 1930-an, angka bunuh diri yang sangat tinggi adalah di Italia dan negara Eropa sekitarnya. Itulah sebabnya para akhli ilmu jiwa, merasa perlu mengadakan “bimbingan”buat bundir secara satria! Apa yang terjadi sesudah itu? Sesudah buku itu diterjemahkan dan diedarkan secara luas? Angka bunuh diri menjadi turun drastis! Dan sesudah buku itu masuk percetakan-ulang, beberapa tahun sesudah itu, angka bunuh diri tidak lagi menakutkan para pembuat statistik kematian karena bunuh diri!
Bersambung
—————————————–
Holland,- 3 juni 04,-
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/4074