Budaya-Tionghoa.Net| Sidney Jones, Direktur Proyek Asteng dari ICG, International Crisis Group, suatu organisasi HAM, yang sudah kurang lebih 30 tahun lamanya berkomunikasi dan berkecimpung dengan Indonesia, melakukan studi dan riset, memonitor dan banyak menulis mengeani masalah pelaksanaan dan pelanggaran HAM di Indonesia, — dan rekannya orang Australia, Francesca, menerima pemberitahuan dari Imigrasi Indonesia, pada tanggal 1 Juni 2004 y.l., bahwa mereka diperintahkan oleh Jawatan Imigrasi untuk segera meninggalkan Indonesia.
|
Asal saja penguasa Indonesia, menyadari betapa pentingya pendapat dan analisa yang independent dan lugu, seperti apa yang dilakukan oleh Sidney Jones selama ini, mengenai pelaksanaan HAM dan Demokrasi di Indonesia, mengenai masalah Aceh, Papua, Ambon, dan kegiatan teroris internasional di Indonesia, maka seyogianya memerlukan lebih banyak orang-orang seperti Sidney Jones. Pendapat-pendapat yang analistis dan kritis mengenai Indonesia, dari jurusan manapun datangnya, sungguh amat diperlukan oleh negeri dan bangsa kita, di saat kita sedang berusaha untuk melaksanakan Reformasi, mengakhiri KKN, politik, kultur dan otoriterisme Orba.
Dilacak kebelakang tindakan penguasa kali ini bukan hal yang baru, bukan kasus mendadak. Belum terlalu lama berselang, orang masih ingat ketika Menkumdang Yusril Ihza Mahendra, marah-marah kepada wartawan Belanda yang mengajukan pertanyaan mengenai pelanggaran HAM di Indonesia, dan menyatakan bahwa ia (Yusril) benci kepada orang-orang Belanda. Menurut Yusril orang-orang Belanda hanya bisa mengeritik dan menjelek-jelekkan Indonesia saja.
Jauh kebelakang, di zaman Orba, ketika Menteri Jan Pronk dari Belanda, masih ketua IGGI, secara terus terang memberikan komentar yang kritis terhadap praktek pelanggaran HAM di Indonesia ketika itu, Mentri Jan Pronk serta merta di-persona-nongrata-kan oleh rezim Suharto. Menteri Jan Pronk dituduh campur tangan dalam masalah dalam negeri Indonesia.
Alasan bahwa yang berkesangkutan telah melakukan campur tangan dalam urusan dalam negeri Indonesia, lebih jauh lagi, — menuduh bahwa orang asing yang bergerak di bidang HAM itu, telah melakukan kegiatan subversi yang membahayakan keamanan Indonesia, sudah menjadi dalih klasik, untuk menutup telinga Indonesia terhadap kritik-kritik yang analitis terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Sudah jadi kebiasaan rezim Orba untuk membungkam kritik dari luar dan mengintimidasi pendapat kritis di Indonesia, terutama dari pelbaga LSM dan ornop yang berkecimpung di bidang HAM.
Ketua Indonesia dari ICG, Todong Mulya Lubis, menyatakan kepada wartawan Australia, Tim Palmer, sebagai reaksinya terhadap pengusiran Sidney Jones, a.l. sbb:
Apa yang dilakukan oleh penguasa, mengingatkan kita pada masa lalu, ketika di Indonesia berlangsung diktatur. Apa yang dihantam disini bukan saja Sidney Jones, — yang digebugi disini adalah seluruh masyarakat madani; adalah mereka yang berjuang untuk hak-hak manusia, adalah mereka yang berjuang untuk demokrasi – dan ini justru politik yang berlangsung pada tahun-tahun ketika Suharto berkuasa. Ada tanda-tanda bahwa Pemerintah (Indonesia) semakin hari semakin represif. Kita memasuki situasi politik yang gelap dan suram di Indonesia. Demikian Todung Mulya Lubis. Bisa ditambahkan disini bahwa masih belum ditanganinya masalah pembunuhan masal tahun 1965 terhadap warganegara yang tak bersalah, belum diadilinya yang bersalah melakukan pelangggaran HAM tsb, masih belum direhabilitasinya lebih 20 juta warganegara Indonesia yang dicabut hak-hak sipil dan kewarganegaraanya, atas tuduhan yang tidak ada bukti, bahwa mereka terlibat dengan suatu kudeta menunjukkan — memang keadaan HAM di Indonesia masih suram, situasi “impunity” masih berlangsung terus.
Pelbagai perorangan dan organisasi masyarakat yang berkecimpung di bidang HAM di Indonesia telah menyatakan kritik dan protes mereka terhadap pengusiran Sidney Jones. Ini beda dengan sikap Abu Bakar Basyir (Majlis Mujahiddin Indonesia) yang sudah pernah divonis karena keterlibatannya dengan terorirsme di Indonesia, dan sementara golongan, yang bukan saja bersorak sorai dengan pengusiran Sidney Jones, tetapi bahkan menuntut agar Jones diseret ke pengadilan.
Sudah lima tahun lebih Suharto terguling karena gempuran Gerakan Reformasi yang menggelora saat itu. Sudah dua kali dilakukan pemilu yang transparan di Indonesia, sejalan dengan tuntutan Reforamsi, Transparansi dan Demokratisasi. Sudah dua kali berdiri pemerintah Indonesia (pemerintah Abdurrahaman Wahid dan pemerintah Megawati Sukarnoputri) yang menyatakan kepeduliannya dengan Reformasi dan Demokratisasi, — tokh sekarang ini, terjadi pengusiran terhadap Sidney Jones, yang diketahui sangat peduli dengan pelaksanaan HAM di Indonesia, dan sangat merasa seperti orang Indonesia. Ketika ditanya bagaimana perasaaanya ia diusir dari Indonesia, Sidney Jones dengan sedih menyatakan: “Hancur hati kami”. Kata Sidney selanjutnya , “Saya tidak bisa bayangkan tidak hidup di Indonesia. Kehidupan saya adalah di sini, dan saya amat berharap, bahwa berdua dengan Francesca kami akan bisa kembali lagi dalam waktu dekat”.
Cukup jelas Jones mengungkapkan kepedulian dan kecintaannya terhadap Indonesia. Dalam suatu dialognya dengan Goenawan Mohamad, Jones menyatakan, bila George Bush terpilih lagi jadi presiden Amerika, maka ia akan jadi orang Indonesia. Tentu, Jones tidak akan minta suaka di Indonesia, itu semata-mata pernyataan perlawanannya terhadap politik pemerintah Bush dewasa ini mengenai Irak, dsb, dan kecintaan dan kepeduliannya terhadap Indonesia.
Mula-mula Kementerian Luar Negeri Indonesia, berusaha memberikan kesan bahawa pengusiran Sidney Jones tsb semata-mata merupakan masalah rutine visa dan tidak ada hubungan dengan kampanye politik yang sebelumnya dilancarkan (oleh BIN), bahwa Sidney Jones terlibat dalam kegiatan subversi, menjual hasil penelitiannya kepada fihak ketiga, dan bahwa Sidney Jones merupakan bahaya eksternal terhadap Indonesia.
Tapi akhirnya terungkap juga apa sebabnya penguasa mendeportasi Sidney Jones. Penguasa tidak suka kebohongannya mengenai pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh aparat, diungkap oleh orang asing, atau siapapun. Sorang pejabat BIN mengatakan bahwa mereka (BIN) tidak suka dengan orang-orang seperti Sidney Jones.
Tetapi Sidney Jones yang cinta pada Indonesia itu, tidak patah hati karena diusir oleh penguasa. Sidney Jones tetap optimis mengenai haridepan demokrasi di Indonesia. Sidney mengatakan dengan penuh keyakinan: Bahwa justru dengan adanya reaksi masyarakat Indonesia yang memprotes pengusiran terhadap kami itu, sungguh ironis, justru itulah yang menyebabkan kami optimis mengenai haridepan demokrasi Indonesia.-
Sidney benar, — orang harus optimis terhadap perspektif Demokrasi di Indonesia. Jatuhnya suatu rezim diktatur yang ketika itu tampak begitu kokoh dan berjaya seperti Orba dibawah Suharto, menunjukkan bahwa kekuatan Demokrasi di Indonesia tumbuh dan berkembang terus.
Setelah jatuhnya Suharto, pendukung-pendukung Orba tetap berusaha untuk kembali ke masa represif Orba, ke masa diktatur militer dan Golkar. Di segi lain, kesadaran masyarakat Indonesia mengenai HAM dan Demokrasi, khususnya di kalangan kaum muda dan kaum cendekiawan, betapapun masih belum meluas, dan bagaimanapun tampak seperti tak berdaya, tokh, menunjukkan eksistensi, daya hidup dan daya tumbuhnya.
Kolom IBRAHIM ISA*)
11 Juni 2004.
Dalam hal ini Sidney Jones tidak sendirian dalam optimismenya mengenai Indonesia.
*) Penulis adalah Sekretaris Wertheim Foundation, Leiden, Holland.
Budaya-Tionghoa.Net| Mailing List Budaya Tionghua 4165