Budaya-Tionghoa.Net | Ketika hari Sabtu itu, ada ujian pelajar kecantikan dan kapsalon. Ketrampilan menghias wajah – kepala dan rambut. Setiap calon pengikut-ujian sudah menyiapkan modelnya masing-masing. Dan sudah menyiapkan perangkat alat-alat hias dan kecantikan – sekeranjang alat-alat disiapkan di meja yang memang tersedia buat keperluan tersebut. Sejumlah 20 orang siswa segera akan menghadapi ujian. Semua pelajar yang rata-rata sudah dewasa – yang dulunya juga bersekolah di Sekolah Darurat KARTINI Ancol ini, kini terus meningkatkan kelanjutan pelajarannya. Dan semuanya berasal dari sekitar Jembatan ANCOL ini serta perumuhan kumuh Jakarta Utara.
|
Keadaan sekitar sekolahan dan kelas yang selalu berisi sekitar 300 murid, sesuai dengan namanya saja, perumuhan kumuh – anak-anak miskin dan anak-anak jalanan ini,- tentu saja di sana-sini banyak sampah. Bau pesing dan pemandangan bukannya buat dipandangi dan direnungi lama-lama. Sekitar Jembatan Ancol ini adalah hanya salah satu tempat pendidikan di bawah kolong jembatan. Masih ada lagi dua tempat yang syarat-syaratnya sama. Saya hanya bisa ikut pada satu tempat ini saja, dan itupun baru pada jam 14.00 selesainya. Padahal kami berangkat dari rumah pada jam 06.00 dengan anggota jalansutra Deasy. Jumlah siswa di semua tempat ada 1600 orang. Mereka bersekolah setiap hari sebagaimana sekolah normal. Dan sudah dapat mengakuan dari pemerintah,- hanya tempatnya saja berbeda sangat. Yang lainnya – yang normalnya punya gedung sekolahan – sedangkan yang berjenis begini – selalu di bawah kolong jembatan.
Saya merasa sangat beruntung dapat bertemu dengan “pemilik Sekolah Darurat KARTINI Ancol ini” dan diajaknya bersama meninjau semua bagian kelas dan ruangan bawah-jembatan. Dua saudara kembar bernama Sri Irianingsih dan Sri Rosiyati, sangat gesit – aktive – berinisiative dan penuh semangat pengabdian kepada anak-anak rakyat miskin. Yang paling menarik yang saya heran-kagumi, semua anak-anak ini diajarkan “rasa harga diri” – diajarkan
tidak boleh menadahkan tangan – tidak boleh mengemis dan tidak boleh main kencrengan di lampumerah di jalanan. Begitu pulang sekolah, harus di rumah dan mengulangi pelajaran atau main-main seperti anak-anak normal, main sepakbola – main kasti atau olahraga lainnya. Dan memang tak seorangpun di antara mereka yang menjadi pengemis – peminta-minta dan gentayangan di jalanan. Ketika mereka belum menadapatkan pendidikan begini, kebanyakan mereka adalah pengemis di jalanan dan main musik kencrengan di sekitar lampu merah di banyak simpang di Jakarta ini.
Saya sempat menikmati hasil pekerjaan ujian dari calon-calon pekerja salon ketika ujian berlangsung. Bagaimana cara mereka menghias rambut. Saya lihat dari agak kejauhan. Rambut yang ditata itu ada yang serupa monumen nasional- ada yang serupa perahu terbalik dan ada yang serupa jembatan-lengkung dan ada yang serupa sarang-tawon. Ini menurut mata saya yang barangkali belum bisa menikmati keindahan seperti para model dan para akhli kecantikan zaman kini. Ketika diumumkan siapa pemenangnya dan siapa-siapa yang mendapatkan hadiahnya – semua 99% lulus – hanya seorang yang tidak lulus – tetapi tetap mendapatkan hadiah penghargaan. Yang lulus, mendapatkan sebuah meja hias -sebuah kaca-cermin dan sekotak alat-alat kecantikan. Dan semua mereka terlihat sangat puas dan gembira. Terlihat wajah mereka berseri-seri. Mereka berfoto sebelum membawa hadiah yang sangat mereka idam-idamkan,- bersama beberapa orang sponsor dan kontibutor dari Rotary Club yang sangat setia membantu sehingga sekolah ini bisa bertahan bertahun-tahun,-
Jakarta,- 14 juni 04,-
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 4120