Budaya-Tionghoa.Net | Media cetak dan elektronik pada saat kini sedang ramai memberitakan tentang ancaman produk tekstil Tiongkok yang menggusur produk tekstil domestik (dalam negri). Pemberitaan ini awalnya dimulai oleh adanya laporan dari asosiasi industri pertekstilan dan garmen Indonesia yang meminta ke pemerintah untuk bertindak dengan cepat dan tegas untuk melindungi perindustrian Tekstil dan Garmen Indonesia dari serbuan produk garmen dan tekstil Tiongkok yang murah itu.
|
Membanjirnya produk-produk garmen dan tekstil Tiongkok di Indonesia sudah sangat mengkawatirkan situasinya , produk impor ini sudah mendesak produk lokal dan mendominasi pasar grossir dan pertokoan di Indonesia. Akibat hadirnya barang impor yang murah ini banyak pabrik tekstil dan garmen yang gulung tikar dan memberhentikan buruhnya. Produk tekstil dan garmen domestik hampir sukar bersaing dengan produk impor dari Tiongkok yang harganya lebih murah dan cukup baik dari segi kwalitas maupun disainnya .
Membanjirnya produk impor ini tidak selalu melalui prosedur impor yang resmi , banyak produk ini dimasukkan ke indonesia secara illegal (diselundupkan). Melimpahnya produk-produk murah dari Tiongkok ini merupakan suatu “ancaman” bagi sektor perindustrian tersebut. Ancaman produk murah negeri Tiongkok ini bukan hanya dirasakan di Indonesia saja melainkan juga negara-negara industri lainnya seperti Amerika dan Uni Eropa , terutama sejak masuknya Tiongkok menjadi anggota WTO tahun 2001.
Tiongkok dengan angkatan kerjanya yang murah, terampil, melimpah, berdisipin, mau kerja keras dengan jam kerja yang panjang telah membanjiri pasar dunia dengan produk-produknya yang dimulai dari yang padat karya hingga yang padat teknologi dan modal. Tiongkok kini mendapat julukan pabriknya dunia (Factory of the World), keberhasilannya menembus pasar-pasar dunia ini dengan produknya dinilai sebagai ancaman bagi eksistensi industri domestik yang bersaing dengan produk yang sama.
Produk-produk garmen dan sepatu dari Amerika dan Uni Eropa ini tidak dapat bersaing dengan produk-produk Tiongkok karena alasannya sederhana saja yaitu upah buruh di Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah sangat tinggi , tidak ada pemerintahan atau partai yang berkuasa di negeri ini berani mengurangi sedikit saja upah buruh atau menambah jam kerjanya , karena rakyatnya berpandangan bahwa standard hidup mereka sudah tinggi, dan “Welfare State” nya adalah sakral serta serikat buruh mereka juga sangat militan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk membendung serbuan produk Tiongkok ini adalah dengan membangun hambatan-hambatan perdagangan tarif dan non-tarif terhadap produk Tiongkok ini, Tiongkok menilai bahwa tindakan ini bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan kesepakatan WTO, selain itu Amerika juga mendesak Tiongkok untuk merevaluasi mata uangnya Renmimbi lebih lanjut.
Bagaimana dengan Indonesia?. Walaupun upah buruh di Indonesia relatif hampir tidak jauh berbeda dengan Tiongkok , produk manufaktur Indonesia masih lebih tinggi daripada produk Tiongkok, penyebabnya adalah: produktivitas kinerja buruh yang masih rendah, pungli, uang jago dan siluman, birokrasi yang lambat dan korup, perijinan yang berbelit-belit, infratruktur yang parah kondisinya serta kejaran pajak yang agresif ditambah lagi dengan biaya BBM yang tinggi.
Berbeda dengan pemerintah di negara industri industri Asia lainnya seperti Jepang yang sangat mendukung perkembang industri nasionalnya melalui Ministry of International Trade and Industry – MITI (sekarang METI) sehingga dikenal dengan Japan Inc. Pemerintah Indonesia malah bersikap acuh tak acuh atau tidak mendukung dengan serius akan nasib perindustrian nasionalnya..
Ketika para pengusaha mengeluh dengan kenaikan biaya tarif dasar listrik yang dapat menambah beban biaya produksi Fahmi Idris sebagai menteri perindustrian dengan sinis mengatakan bahwa itu adalah urusan para pengusaha.
Sebenarnya tidak semua produk Indonesia kalah bersaing dengan produk Tiongkok baik dari segi harga maupun kwalitas, produk2 elektronik rumah tangga buatan Maspion (diekspor ke puluhan negara) lebih baik dan disukai oleh para konsumen domestik daripada produk buatan Tiongkok, sepeda motor buatan Tiongkok sampai hari tidak dapat menembus pasar Indonesia melawan motor-motor produk Jepang seperti Honda , Yamaha dan Suzuki (walaupun merek Jepang) yang telah dibuat didalam negeri.
Dengan hambatan perdagangan tarif dan non-tarif (sejauh tidak melanggar ketentuan WTO) Indonesia relatif masih dapat membendung dan mengontrol masuknya barang Tiongkok, tetapi selama penyelundupan masih berjalan sukar bagi pemerintah mengontrol arus masuk barang impor tersebut. Kompetisi yang tajam dengan produk manufaktur Tiongkok adalah perebutan pasar ekspor di Amerika Serikat dan Uni Eropa serta negara lainnya.
Sekiranya pemerintah Indonesia tidak mengadakan restrukturisasi sektor perindustriannya maka dimasa depan akan timbul ancaman lainnya seperti ancaman India dan Vietnam etc. Perlu diketahui juga bahwa separuh dari produk Tiongkok yang diekspor keluar negeri itu diproduksi dan dimiliki oleh modal asing yang ditanamkan di
Tiongkok.
Tidak semua orang berpandangan bahwa produk Tiongkok itu suatu ancaman ekonomi bagi Indonesia, bagi para konsumen, produk Tiongkok itu disambut baik karena murah, berkwalitas dan terjangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan menengah dan rendah mereka dapat membeli dan menggunakan produk yang sebelumnya tidak terjangkau atau dikategorikan sebagai mewah dan luksus, seperti peralatan elektronik TV, Kamera , DVD, mainan anak etc . Peralatan mesin atau alat produksi yang relatif murah telah membantu perkembangan industri kecil, menengah atau indusri rumah tangga lainnya dengan biaya produksi yang lebi didalam negeri.
Selain berkompetisi dengan produk dari Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya juga berkompetisi dalam menarik modal asing (Foreign Direct Investment) , pada saat kini Tiongkok sudah melewati Amerika sebagai negara tujuan utama penanaman modal asing terbesar didunia, tahun 2004 modal asing yang ditanam di Tiongkok telah mencapai sekitar 60 Miliar Dollar.
Tiongkok dapat dilihat sebagai suatu ancaman ekonomi nasional, tetapi sekaligus juga suatu peluang yang besar. Tiongkok dengan penduduk 1.2 Milliar jiwa adalah suatu potensi pasar yang raksasa, dengan kemajuan ekonominya yang pesat maka kebutuhan mereka akan bahan mentah, energi, pangan dan barang lainnya juga sangat besar dan beragam.Tiongkok tidak dapat memproduksi semua kebutuhannya dan disinilah letaknya peluang bagi Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Indonesia hampir memiliki apa yang Tiongkok butuhkan dan tidak memiliki seperti tanaman industri, agro, kauu, energi, sumber bahan mineral dan alam lainnya.
Peluang lainnya adalah di sektor Turisme, dibeberapa negara ASEAN, jumlah kedatangan Turis dari Tiongkok sudah melampaui turis dari negara manapun, termasuk turis dari Jepang. Pada saat sekarang Tiongkok bukan saja negara pengekspor produk manufaktur tetapi juga sudah mulai dengan ekspor modal dan teknologi (yang kita butuhkan), beberapa perusahaan konglomerat Tiongkok telah menanamkan modalnya disektor energi dan pembangunan infrastruktur di negara ASEAN , seperti PLTU Cilacap yang berkapasitas 600 Megawat dengan menggunakan kontraktor dan pinjaman berbunga rendah (3,8%/tahun) dari Tiongkok, PLTU itu menggunakan bahan bakar batubara dan baru saja selesai dibangun di Cilacap.
Tiongkok membutuhkan Asean dan Asean membutuhkan Tiongkok, karena dengan skala pertumbuhan ekonominya yang besar dan pesat maka Tiongkok telah menjadi Lokomotif perekonomian bagi negara-negara Asean dan dunia lainnya. Pada waktu krisis moneter tahun 1977-1978 , Tiongkok telah memberikan kontribusi yang positif dengan tidak melakukan devaluasi mata uangnya .
Neraca perdagangan antara Tiongkok dengan negara ASEAN pada saat kini adalah surplus bagi negara Asean (U$ 20 miliar pada tahun 2004). Usaha2 untuk berkerjasama yang lebih lanjut dan pengintegrasian perekonomian antara negara Asean dengan Tiongkok dimasa mendatang akan berkembang ke arah yang lebih positif..
Hubungan perekonomiannya berlandaskan prinsip “win-win solution” (kedua pihak sama-sama diuntungkan) dan bukan “Zero Sum Game” (satu yang diuntungkan, yang lain rugi). Beberapa pemimpin negara di Asia termasuk pemerintahan Amerika sendiri pernah berkata bahwa Dunia merasa lebih baik dan aman memiliki tetangga negara Tiongkok yang maju, makmur dan stabil daripada Tiongkok dengan jumlah penduduk 1.2 miliar itu terkebelakang dan miskin, karena keterbelakangan dan kemiskinan dapat menjadi sumber ketidakstabilan didunia pada umumnya dan Asia pada khususnya.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua