source image : bangkok post
Budaya-Tionghoa.Net | Kunjungan perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi yang dilakukan setiap tahunnya sejak tahun 2001 ke kuil Yasukuni ini telah menimbulkan gelombang kemarahan dan protes keras dari negara-negara Asia yang pernah menjadi korban agresi Jepang pada perang dunia kedua, terutama Tiongkok dan Korea.
Read more: Kunjungan Koizumi Ke Kuil YasukuniKuil Yasukuni yang kontroversial ini adalah sebuah kuil Shinto yang dibangun pada tahun 1869 untuk memperingati perang saudara Boshin. Kuil ini sekarang adalah tempat diperingatkannya arwah 2.5 juta prajurit Jepang yang meninggal pada perang dunia kedua dimana 14 orang diantaranya adalah penjahat perang kelas “A” seperti mantan Perdana Menteri Jepang pada waktu perang dunia kedua yang mati dihukum gantung di tahun 1948 yaitu Hideki Toyo.
Didalam kuil Yasukuni ini juga terdapat sebuah musium sejarah Jepang perang dunia kedua, disitu ada rekaman photo, video, pamflet, dokumen dll. yang pada hakikatnya adalah pembelaan diri akan tindakan agresi Jepang selama perang dunia kedua dan menganggap Jepang sendiri sebagai salah satu korbannya. Jepang mengatakan bahwa peperangan yang dilakukan itu adalah suatu tindakan yang diperlukan untuk membela diri serta membebaskan bangsa Asia daripada dominasi Barat.
Tentang kekejaman dan kejahatan perang tentara Jepang yang dilakukannya di Nanking tidak pernah disebutkan disitu yaitu pembunuhan terhadap penduduk sipil Tiongkok pada tahun 1937 yang dikenal dengan nama “Pembantaian Nanking “(Nanking Massacre) dengan korban jiwa 300.000 orang, bahkan disangkal bahwa peristiwa kebiadaban tersebut pernah terjadi. Musium ini juga dikritik karena interpretasi sejarahnya yang “revisionis”.
Kuil Yasukuni ini telah menjadi pusat simbol militerisme dan kiblat-nya golongan sayap kanan Nasionalis yang ingin menghidupkan kembali jiwa “militerisme” di Jepang. Banyak politikus Jepang dari golongan sayap kanan mengunjungi secara rutin kekuil tersebut seperti halnya Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara dan Menteri Luar Negeri Taro Aso, yang diisukan akan menjadi salah satu kandidat kuat untuk menggantikan PM Junichiro
Koizumi yang akan berakhir jabatannya pada bulan September ini.
Kunjungan-kunjungan para pejabat Jepang ke kuil ini telah membangkitkan kemarahan di Tiongkok dan Korea, karena kunjungan ini dianggap melecehkan korban kekejaman tentara Jepang di kedua negara ini, kekejaman tentara Jepang juga dilakukan diseluruh negara-negara yang didudukinya seperti di Singapur (“Sook Ching Massacre ” dengan 50.000 korban jiwa) dan di Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat dengan korban jiwa 21.000 orang.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan penulisan dalam buku pelajaran sejarah anak-anak sekolah di Jepang, dimana Jepang tidak mau mengakui dengan tulus kekejaman masa lalunya, atau mencari alasan untuk membela diri dan menghindari tanggung jawab atas tindakan agresinya serta menyangkal adanya kekejaman yang telah dilakukan oleh tentaranya di Tiongkok, Korea dan negara-negara Asia lainnya.
Kebijaksanaan ini telah memperburuk hubungannya lebih lanjut dengan Tiongkok dan Korea, maka kedua negara ini masih menentang kehadiran Jepang dalam keanggautaan dewan keamanan di PBB, karena sebagai negara, Jepang dianggap belum bertanggung jawab atas sejarah masa lalunya.
Berbeda dengan pemerintah dan bangsa Jerman yang telah dapat mengatasi stigma sejarah masa lalunya (“Vergaengenheit Bewaeltigung”) yaitu kekejaman Nazi di perang dunia kedua. Jerman telah mengakui kesalahan dan kekejaman yang dilakukan oleh rezim Nazi dahulu, serta hampir belum pernah elit politiknya baik dari golongan konservatif (CDU), maupun sosial demokrat (SPD) dan FDP (kecuali dari kelompok Neo-Nazi yang relatif sedikit jumlahnya), berusaha membenarkan atau membela diri atas kekejaman rezim Nazi.
Langkah Jerman ini telah memulihkan hubungannya dengan negara-negara tetangganya yang pernah menjadi korbannya. Bahkan dengan Israel-pun hubungannnya sangat baik sekarang. Pada tahun 1970 mantan Kanselir Jerman Barat Willy Brandt pernah berkunjung dan berlutut dihalaman monumen “Holocaust Memorial” di Warsawa, Polandia untuk menghormati para korban keganasan tentara Jerman, ini adalah langkah simbolis untuk rekonsiliasi dengan bangsa Polandia dan Jahudi serta mengambil jarak pemisah dengan rezim pemerintahan pendahulunya.
Penolakan masyarakat Jepang atas kunjungan para pejabat kabinet pemerintahannya ke kuil Yasukuni ini diduga dipengaruhi oleh kebijaksanaan Kaisar Hirohito sendiri yang berhenti berkunjung ke kuil itu sejak tahun 1978 hingga ia meninggal, demikian juga dengan puteranya Kaisar Akihito sejak naik tahta pada tahun 1989.
Penolakan Kaisar Horohito untuk tidak berkunjung lagi ke kuil Yasukuni disebabkan oleh ketidak-setujuannya dengan ditambahkannya nama-nama 14 orang penjahat perang kelas A (kelas berat) kedalam daftar orang-orang yang akan dihormati di kuil Yasukuni pada tahun 1970. Masyarakat Jepang baru mengetahuinya hal ini (keputusan kaisar Hirohito) melalui suratkabar yang diterbitkan belum lama berselang atas dasar memo (dairy) percakapan antara Kaisar Hirohito dengan kepala rumah tangga kekaisaran Tomohiko Tomita dari tahun 1975-1986.
Apakah pengganti Konichiro Koizumi dibulan September tahun 2006 ini akan meneruskan kunjungannya ke kuil Yasukuni? ini akan menjadi batu ujian hubungan bilateral antara Tiongkok dan Jepang dimasa depannya. Pemerintah Jepang sekarang bersikap curiga dan was- was terhadap kebangkitan Tiongkok. Hingga kini Jepang menentang penghapusan embargo senjata oleh negara Barat terhadap Tiongkok.
Suara-suara untuk mempersenjatai kembali angkatan bersenjata Jepang mulai vokal dikalangan para elit politiknya dari golongan kanan dan ini telah menimbulkan kecurigaan kembali negara Asia lainnya yang pernah menjadi korban agresinya. Kecurigaan ini diperkuat lagi dengan ancaman Jepang untuk menyerang Korea Utara secara dini (pre-emptive strike), ketika Korea Utara sedang melakukan uji coba peluru kendalinya Taepodong baru-baru ini.
Budaya-Tionghoa.Net |Mailing List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa