Budaya-Tionghoa.Net | Kota Semarang punya penganan lumpia hasil olahan kuliner pasangan Tionghoa babah dan perempuan Jawa. Tak ketinggalan Batavia pada satu masa, yakni tahun 1920-an, memiliki ikon dunia kuliner, yakni Waroeng Shanghai tempat ” Koffie en tee berkwaliteit tinggi dari Hindia Ollanda en dari lain benoa”. Lokasi warung itu kini bernama Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Legenda Waroeng Shanghai berawal pada tahun 1900-an ketika Babah Chan Mo Sang (generasi kedua keturunan imigran dari Shanghai) membangun kedai sederhana di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa. Babah Chan dibantu sang istri, Siti Zaenab, perempuan Betawi.
|
Perlahan tetapi pasti, Waroeng Shanghai dari sebuah cha guan (kedai teh) berkembang menjadi tempat dansa-dansi, cukur rambut, hingga menjahit baju para pelaut yang turun ke darat di Betawi tempo doeloe. Pengembangan usaha itu sejalan dengan keahlian Babah Chan, yakni membuat kursi tukang cukur rambut dan taw chang yang diklaim memiliki “kwaliteit kelas Nederland”. Pada masa lalu, di kawasan Sunda Kelapa hingga Petongkangan dekat Pasar Perniagaan梜awasan pecinan梞emang menjadi pusat kegiatan perdagangan dan hilir mudik pelaut.
Tian Li Tang, sesepuh pedagang di Pancoran, menjelaskan, di kawasan itu memang banyak hotel murah tempat bermalam awak kapal. Sementara bongkar muat barang dahulu sekali dilakukan di Petongkangan (tempat tongkang bersandar), yang kini hanya memiliki alur sempit. Warung makan pun tumbuh di kawasan itu. Waroeng Shanghai menjadi ikon, terutama pada tahun 1920-an, ketika perekonomian dunia mulai membaik selepas Perang Dunia I (1914-1918).
Kala itu bisnis gula mengembang sedemikian rupa, menghasilkan hartawan besar seperti Oei Tiong Ham di Semarang (konglomerat pertama di Asia Tenggara) dan di Medan dikenal pengusaha perkebunan dan perkeretaapian Majoor
Tjong A Fie, seorang hartawan nan dermawan. Indahnya “zaman normaal” terutama diwarnai dengan keberadaan kedai makan seperti Waroeng Shanghai di Batavia. Buka hingga pagi Sebuah jurnal tahun 1920 menulis tentang Waroeng Shanghai yang sedemikian ramai.
Pasalnya, Chan Mo Sang dan Siti Zaenab memiliki sentuhan pribadi, yakni akrab dengan para pelanggan sebagaimana ditulis, ” Makan enak en ati goembira adala kita orang berdoea ampoenja pengarepan sadjojoernya ati kita orang” (makan enak dan hati senang para pelanggan adalah harapan kita berdua). Lebih lanjut dicatat bahwa semakin malam banyak pelaut mampir dan berdansa di warung itu lalu berdansa sampai pagi. Ekspresi yang digunakan dalam ejaan Melayu Pasar menyatakan ” Soeasana di Soenda Kelapa djadi soenggoe soenggoe soemringah tiap malemnja, ati kerasa berkiber kiber di bawak tidoer”.
Masa itu, para sing-song girl atau penyanyi dari Tiongkok turut mewarnai gemerlapnya dunia hiburan di Betawi. Mereka menyanyi, menari, membuat suasana meriah hingga pagi menjelang. Pasangan Chan Mo Sang-Siti Zaenab pun menikmati buah keberhasilan usaha warung mereka dengan berlibur bersama ke Shanghai, Tiongkok.
Namun, selepas tahun 1930-an nama Waroeng Shanghai mulai menghilang. Selanjutnya, pada dekade 1940-an Waroeng Shanghai tamat riwayatnya. Suasana khas bangunan kayu semipermanen Waroeng Shanghai berusaha dihidupkan kembali oleh Anhar Setijadibrata, pemilik jaringan Tugu Hotel. Anhar, yang membangun kembali Waroeng Shanghai di Malang dan Jakarta pada tahun 1980-an, menemukan bekas bangunan kayu dan perabot Waroeng Shanghai di suatu sudut Pintu Besar Selatan di rumah keluarga salah satu keturunan pasangan Chan Mo Sang dan Siti Zaenab.
Ikon seni kuliner Betawi masa lampau hasil kerja keras pasangan Tionghoa-Betawi itu dicoba diusung kembali oleh Anhar di satu sudut Jalan Sabang dan Jalan Kebun Sirih. Mampukah tempat yang dinamai Waroeng Shanghai Blues 1920
itu membuka kembali kenangan salah satu periode terindah sejarah kota Jakarta?
Iwan Santosa via Danardono Hadinoto , 22145 , 30 Oktober 2006
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua