Budaya-Tionghoa.Net | Ini ada liputan Seminar Sehari Budaya Tionghua yang melibatkan tiga moderator Budaya Tionghoa , Ardian Cangianto , Liao King Hian dan Hendri Yu , di Semarang pada hari minggu, tanggal 17 desember 2006 dari harian Jawa Pos. http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=146831&c=111 (diakses 18 Desember 2006) .
Admin & Moderator
RADAR SEMARANG , Senin, 18 Des 2006
Dari Seminar “Ubah Nasib Buruk Jadi Keberuntungan”
Ubah Nasib, Tak Cukup Hanya Dengan Ruwatan
Minggu (17/12) pagi hingga sore kemarin, ada sebuah seminar sehari dengan tema yang cukup menarik. Seminar yang di adakan oleh Lembaga Study Budaya dan Tradisi Tionghoa (LSB2T) itu bertema ‘rahasia mengubah nasib buruk menjadi keberuntungan’. Lalu apa rahasianya?
ISMU PURUHITO, Semarang
|
Sekitar 200 peserta tampak serius mengikuti seminar sehari yang berlangsung di Palace Restaurant, Thamrin Square Semarang kemarin. Yang menarik, tak hanya etnis tionghoa yang tertarik mengikuti seminar tersebut, tapi juga terselip beberapa peserta dari pribumi. Di antara mereka terlihat dua wanita berjilbab, yang asyik mendengarkan penyaji materi seminar.
Apa yang membuat mereka tertarik mengikuti seminar yang di adakan oleh LSB2T, TITD Tay Kak Sie dam Majelis Konghucu Indonesia ini?
Afiatun, 30, salah seorang peserta seminar asal Ungaran yang mengenakan jilbab tadi, mengaku tertarik mengikuti seminar ini karena dirinya memang suka mempelajari budaya dari berbagai golongan. Tionghoa, adalah salah satu yang kaya akan budaya.
“Di rumah, saya juga banyak mengoleksi buku-buku budaya. Sangat menarik dan memperkaya wawasan kita,” ujar ibu dua anak ini.
Faindy Rasali, ketua panitia menegaskan bahwa seminar ini memang terbuka untuk siapa saja, bukan hanya untuk etnis tionghoa. Menurutnya, seminar tersebut tak membahas masalah agama atau kepercayaan tertentu, tapi sebuah budaya yang banyak mengandung filosofi hidup. “Intinya, kalau ingin hidup enak maka kita harus menjaga moralitas kita selama hidup. Garis nasib bisa saja berubah dari baik menjadi buruk atau sebaliknya, tergantung moralitas kita,” tandasnya.
Ada sedikit kesamaan dalam adat Jawa dan budaya Tionghoa soal ubah mengubah nasib. Dalam kepercayaan Jawa, ada metode ruwatan agar bisa mengubah nasib seseorang. Hampir sama di kalangan tionghoa, ada sebuah upacara bernama Ci Swak, yang tujuannya sama yaitu sebuah usaha untuk mengubah nasib seseorang dari jelek menjadi baik. Biasanya, kalangan tionghoa mengadakan upacara Ci Swak, bila karirnya lambat, selalu mengalami kesialan, usaha selalu merugi, atau sering tertimpa musibah.
Oleh beberapa pakar budaya tionghoa, anggapan bahwa Ci Swak sudah cukup untuk bisa mengubah nasib atau menghilangkan sial dianggap salah kaprah. Menurut Tjeng Santoso, pakar budaya Tionghoa dari TITD Sinar Samudra, melakukan upacara Ci Swak barulah sebagian kecil dari
serangkaian persyaratan yang harus dijalankan oleh seseorang bila ingin mengubah nasib buruk menjadi baik.
Dalam seminar sehari inilah, rahasia mengubah nasib itu diulas. Tampil sebagai pembicara adalah Ardian Cang, pengamat budaya serta ahli filsafat tionghoa, Liao King Hian, yang bertahun-tahun melakukan penelitian dan penelusuran tentang asal-usul marga dan arti nama-nama Tionghoa, serta Hendriawan Yu dan WS Budi Tamtomo, keduanya pakar kitab San Zhi Jing dari Jakarta dan Samarinda.
Ardian Cang memaparkan, bahwa rahasia mengubah nasib buruk menjadi keberuntungan dalam budaya tionghoa tertuang dalam konsep bernama Thian (langit) Tee (bumi) dan Ren (manusia). Langit artinya bahwa manusia sejak lahir sudah mempunyai garis nasib dan rejeki sendiri-sendiri. Bumi artinya garis nasib bisa berubah, apabila tergantung perilaku selama hidup di bumi. Manusia berarti dalam hidup yang terpenting adalah moralitas masing-masing individu.
“Intinya, dalam budaya tionghoa rejeki itu tergantung dari tiga faktor, yaitu garis nasib, perilaku dan moralitas. Ci Swak atau ruwat, adalah bagian dari konsep Ren atau manusia, itu baru 10 % dari konsep mengubah nasib dari buruk menjadi beruntung,” papar Ardian.
Di tambahkan Ardian, apabila garis nasib baik tapi moralitas buruk maka nasib tak akan jadi baik. “Ibarat kita punya perusahaan yang bagus tapi kalau kita tak kerja keras, maka lama-lama perusahaan itu akan bangkrut,” jelasnya.
Sementara Liao King Hian memaparkan bahwa nama sangat penting untuk menentukan keberuntungan seseorang. “Tiap nama mempunyai unsur sendiri-sendiri. Dalam buadaya tionghoa ada ilmu meramal yang disebu Ba Zi. Dalam Ba Zi inilah nama seseorang bisa dilihat unsurnya. Bila unsur terlihat maka akan terlihat nasibnya ke depan,” katanya.
Apabila nasibnya ternyata jelek, maka disarankan untuk mengubah nama, atau mengubah perilaku buruknya selama ini.
Sedangkan Hendriawan Yu dan WS Budi Tamtomo yang meruapakan ahli San Zhi Jing mengatakan bahwa saat ini banyak ajaran leluhur tionghoa yang ditinggalkan generasi muda tionghoa, yang dikarenakan berkembangnya teknologi. San Ji Zing adalah kitab 3 aksara yang sekarang sudah ditinggalkan. Dulu, ajaran ini ditanamkan saat anak-anak belum bisa membaca. Ajaran ini berisi kebaikan manusia, pentingnya pendidikan, bakti pada orangtua, serta hubungan antar sesama. Apabila ajaran ini ditanamkan sejak dini, maka dalam seseorang akan selalu berbuat baik selama hidup dari anak hingga tua. Imbasnya, orang tersebut akan sellau bernasib baik. (*)
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=146831&c=111 (diakses 18 Desember 2006)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua