Budaya-Tionghoa.Net| Banyaknya korban tewas di Aceh, yang mencapai 100 ribuan, telah menjadi heboh yang mendunia. Collin Powell pun, yang pernah menjadi panglima tentara terkuat di dunia, dengan pengalaman perang di berbagai tempat di belahan bumi ini, sempat terlongong-longong melihat begitu banyak mayat di Aceh.
|
Bondan Winarno, Pemred “Sinar Harapan”, menceritakan dalam perjalanan kapal TNI-AL, KRI Teluk Peleng, di route Medan-Meulaboh, dua kali melihat ratusan mayat hanyut di laut. Pertama offshore Banda Aceh / Lhok Nga. Kedua di offshore Meulaboh, tetapi kapal LST itu tidak berdaya apa-apa untuk memungut mayat-mayat itu (dan menanganinya).
Relawan dari berbagai penjuru dunia, termasuk anggota palang-merah dan tentara yang terlatih, nyaris tak berdaya menangani mayat dalam jumlah yang besar itu. Kalau mereka bisa menguburkan 1000 mayat sehari (suatu kapasitas kerja yang besar sekali), untuk Banda Aceh saja dua minggu pun kerja besar itu belum akan selesai.
Tidak heran kalau pemandangan mayat dikeruk dengan excavator lalu diuruk massal sempat terlihat.
Bahkan wacana untuk membakar saja mayat-mayat itu bersama reruntuhan rumah yang menimbuni mereka, sempat mencuat. Ini terjadi di Aceh, tersebar di daerah yang cukup luas, jauh melebihi luasnya propinsi-propinsi di Jawa.
Sekarang coba kita flashback sebentar, mengingat-ingat issue, yang juga pernah disinggung di milis ini (walau secara OOT), tentang pembantaian massal tahun 1966 yang konon terjadi dibeberapa tempat di Jawa Timur yang katanya mencapai 600 ribu orang. Setelah sekitar 10-20 tahun rumor itu beredar, angka 600 ribu itu, entah bagaimana caranya, menggelembung menjadi katanya 1 juta. Lalu akhir-akhir ini menggelembung lagi menjadi katanya 1,5 juta. Okay, janganlah kita pikirkan yang 1 juta dan 1,5 juta itu, kita pegang saja angka minimal yang 600 ribu.
Coba kita bandingkan luasnya Jawa Timur dengan Aceh. Coba kita bandingkan kehebohan tentang hanyutnya mayat yang katanya sempat terlihat di sungai-sungai Jawa Timur ketika itu, dengan hanyutnya mayat di laut yang dilihat sampai 100 kilometer lepas pantai Aceh oleh kapal-kapal yang lewat di situ.
Coba kita bandingkan kehebohan penanganan mayat yang sempat terdengar terjadi di Jawa Timur ketika itu, dengan apa yang ditangani para relawan seluruh dunia di berbagai tempat Aceh.
Kalau kita bandingkan 100 ribu dengan 600 ribu, seharusnya kehebohan di Jawa Timur ketika itu 6 kali lebih dahsyat dari kehebohan di Aceh sekarang ini.
Tentu saja pembandingan itu harus memperhitungkan perbedaan situasi dan kondisi antara keduanya.
Liputan pemberitaan (media coverage) misalnya. Kecanggihan teknologi media antara 1966 dengan sekarang sudah jauh berbeda. Begitu pula pembatasan terhadap pemberitaan di masa Orde Baru sangat mencekik.
Tetapi di lain segi, justru karena pembatasan media itu, di jaman Soeharto desas-desus menjadi sangat ampuh, tersebar cepat dan dipercaya orang.
Kasus pembunuhan peragawati Ditje misalnya, desas-desus segera merebak ketika itu, dan sampai sekarang, puluhan tahun setelah kasus itu, orang masih meyakini bahwa Ditje dibunuh atas suruhan Tutut yang cemburu karena Ditje itu selingkuhan suaminya, Indra Rukmana. Begitu pula, adanya mayat korban pembantaian 1966 bergelimpangan di berbagai tempat, juga merupakan desas-desus yang lumayan heboh ketika itu.
Pada aspek situasional dan kondisional lainnya, penanganan mayat di Aceh bebas ditangani oleh semua orang dari seluruh dunia, dan nyatanya ribuan orang datang menolong. Dan ditunjang semua prasarana dan sarana yang dapat dikerahkan.
Sebaliknya, penanganan mayat pada kasus 1966 ketika itu hanya dapat ditangani oleh keluarga dekat si korban saja, para petani sederhana yang tidak terlatih menghadapi bencana. Secara politis tidak mungkin ada relawan membantu mereka, begitu pula sarana kerja yang dapat mereka pergunakan, excavator misalnya, boleh dikatakan nihil.
Sehingga kapasitas kerja penanganan mayat ketika itu sangat jauh lebih rendah. Kalau keluarga dekat korban pembantaian ini mampu menangani 600 mayat per hari, suatu angka yang sudah sangat ditinggi-tinggikan (50 mayat per jam, kerja 12 jam/hari), toh masih diperlukan waktu 3 tahun untuk menangani 600 ribu mayat! Itu pun kalau mereka berkerja tiap hari, tidak ada hari libur, tidak berkerja lain. Artinya ada pihak-pihak lain lagi yang mencukupi gaji dan sandang-pangan mereka, yang nyatanya tidak ada yang demikian itu di jaman tersebut.
Nah, kalau perbandingan antara kedua magnitude kehebohan penanganan mayat itu, sekarang kita cernakan dengan kepala dingin, akal sehat, dan tanpa prejudice, rasanya untuk angka jumlah korban pembantaian tahun 1966, angka 10.000 (sepuluh ribu) pun sudah terlalu tinggi. Mungkin kalau 6000 (enam ribu), seperseratus dari angka 600 ribu itu, yah itu masuk akal lah…
Wasalam.