Budaya-Tionghoa.Net | Saya tidak akan memperpanjang perdebatan antara penggunaan istilah “Cina” versus istilah “Tionghoa” di forum Budaya Tionghoa ini karena diskusi maupun perdebatan secara tertulis mengenai isu ini sudah terbukti tidak pernah memberi hasil yang signifikan bagi perkembangan diskusi. Dan juga moderator milis telah menyediakan waktu untuk melakukan diskusi secara terbuka . Berikut ini saya sertakan pemikiran saya tentang isu ini yang pernah saya posting beberapa waktu lalu di milis JTM, saya juga menyertakan pemikiran rekan Rinto Jiang yang juga pernah merespon isu yang sama (msg # 17400) di forum Budaya Tionghoa ini, yang mungkin bisa rekan-rekan jadikan bahan pemikiran juga untuk diskusi berikutnya nanti. Pemikiran saya sendiri pernah direspon oleh Pak ZFy di JTM yang walau secara “halus” juga dianggap tidak sah oleh beliau.
|
Hal yang lain yang ingin saya sampaikan adalah mengenai isu yang dilemparkan oleh saya dan rekan Ulysee beberapa waktu lalu, sesungguhnya melampaui dari sekedar perdebatan penggunaan istilah “Cina vs Tionghoa”, tapi lebih jauh kepada penjabaran siapakah yang kita maksud dengan Tionghoa (siapakah yang “berhak” menyandang label anggota komunitasetnis Tionghoa), apa yang kita maksud denganBudaya Tionghoa. Dan lebih jauh lagi, jawaban yang ingin Ulysee peroleh adalah dimanakah letak perbedaan (dan persamaan) antara budaya Tionghoa (Indonesia) dengan budaya Cina / China (Tiongkok).
Peringatan rekan Benny Lin yang diposting beberapa waktu lalu juga merespon hal yang sama, dan kupikir akan terjawabkan disaat kita membahas pertanyaan-pertanyaan kunci itu. Karena itu, moderator dapat menggarisbawahi isu-isu yang akan dibahas dalam diskusi berikutnya nanti, bahwa bukan hanya sekedar perdebatan penggunaan istilah “Cina vs Tionghoa “.
Dibawah ini ada dua tulisan. Yang pertama berjudul “Cina Atau Tionghoa?” yang merupakan tulisan Rinto Jiang. Dan bagian 2 adalah tulisan saya yang berjudul “Fenomena Cina, China dan Tionghoa.
1. Cina atau Tionghoa?
Sebenarnya, diskusi tentang istilah Cina atau Tionghoa ini sudah sering didiskusikan, baik secara terbuka maupun tertutup. Daripada membahas dan menekankan penggunaan kata “Tionghoa” yang dianggap lebih “tinggi” derajatnya daripada kata “Cina”, saya sendiri lebih suka menggunakan sudut pandang bias untuk meneliti masalah ini. Sosialisasi kata “Tionghoa” untuk menggantikan kata “Cina” yang memang dipolitisir untuk maksud menghina di masa lalu nampaknya menjadi jalan satu-satunya untuk mengurangi dan mengimbangi kesalahan sejarah di masa lalu. Namun saya rasa, sosialisasi kata “Tionghoa” ini hanyalah akan menambah dalam politisasi kata “Cina” tadi. Menjadikan sesuatu menjadi dipantangkan itu malah akan menjadikan objek menjadi tidak kebal akan pantangan tadi.
Istilah Cina dan Tionghoa menjadi sensitif di Indonesia karena fenomena khusus yang terjadi di Indonesia yang membedakan Tionghoa di Indonesia lain dan lebih spesifik daripada Tionghoa di negara lainnya. Namun, apakah kita akan terus memelihara dan meneruskan tradisi sensitivitas ini? Perlukah kata “Cina” dihilangkan dari peredaran dan dimuseumkan dalam kosa kata hubungan antar-etnis di Indonesia. Saya pribadi merasa tidak perlu, sengaja menekankan penggunaan kata “Tionghoa” hanya akan menambah polarisasi antara “Cina” dan “Tionghoa”. Di masa depan, “Cina” akan tetap menjadi sebuah kata yang dapat menyebabkan orang yang diejek menjadi senewen dan bad-mood. Coba bandingkan saja dengan kondisi sosial masyarakat di Singapura, Malaysia yang sama-sama menggunakan bahasa Melayu. Di sana, tidak ada masalah Tionghoa vs Cina.
Jadi, melihat beberapa point penting ini, saya sendiri menyarankan untuk:
1. Tidak usah terus memelihara kontroversi dan polarisasi Tionghoa versus Cina. Artinya, tidak usah menekankan bahwa Tionghoa adalah lebih baik daripada Cina atau Cina lebih buruk daripada Tionghoa. Bila tak dapat dilakukan pada generasi kita, lakukan pada generasi mendatang. Tanamkan bahwa Tionghoa dan Cina tak ada bedanya. Bila seseorang mau mengejek, mengucapkan “Tionghoa” juga bisa bernada mengejek. Bandingkan saja dua kalimat ini, “Aduh, Rinto itu memang Tionghoa jahanam” dan “Mas Lim itu Cina dermawan koq”. Nah, ada yang tanya mengapa nama milis menjadi budaya_tionghua tidak menggunakan “budaya_cina”, yah mudah saja jawabannya, karena Tionghoa dan Cina itu sama saja, mengapa harus menggunakan Cina? Demikian pula vice versa (sebaliknya).
2. Mulai dari kita sendiri, yang merasa diejek akan terus merasa diejek dan yang tidak merasa akan tidak merasa. Sebagai analogi, anggap saja Cina sebagai ejekan adalah sebuah penyakit influenza. Flu yang dianggap penyakit kecil di zaman sekarang sulit dibayangkan pernah jadi epidemi di tahun 1918. Sekarang ini, jarang ada orang yang meninggal karena flu (kecuali flu burung). Mengapa? Karena kita sudah punya imun. Melenyapkan virus flu dari bumi ini adalah tidak mungkin, mengapa kita tidak berusaha untuk hidup damai dengan sang virus dengan punya perisai imun? Demikian pula kata Cina, tidak akan mungkin dilenyapkan dari bumi ini, dari kosa kata dalam kamus bahasa Indonesia, jadikanlah sendiri ber-imun, bertelinga tebal untuk tidak merasa Cina adalah ejekan walau digunakan lawan bicara untuk mengejek.
Saya kira, politisasi Tionghoa itu juga sama saja dengan politisasi Cina. Cina tidak bermasalah sampai dipolitisir, nah, mengapa kita harus memelihara masalah tersebut dengan berusaha menggantikan Tionghoa untuk Cina? Sejarah boleh mencatat Cina pernah dikonotasikan merendahkan, namun jangan teruskan konotasi rendah tersebut dengan mengangkat sebuah konotasi tinggi Tionghoa. Biarkan keduanya bersanding bersama. Saya yakin, ini adalah sebuah jalan terbaik untuk pemecahan jangka panjang masalah Cina vs Tionghoa di Indonesia. (Rinto Jiang)
2. Fenomena Cina , China Dan Tionghoa
Aku sendiri terganggu dengan pemakaian kata CHINA ini, aku membacanya kalau masyarakat, terutama non-Tionghoa, sedang ‘kebingungan’ untuk menyebut masyarakat Tionghoa. China itu ibarat masa transisi dari Cina ke Tionghoa, menyebut Cina merasa tidak enak lagi, tapi lidah juga belum sampe ke Tionghoa / Tiongkok.
Munculah istilah ‘aneh’ China ini (dengan lafal bahasa Inggris terselip diantara belantara kata bahasa Indonesia). ‘Fenomena’ ini kutangkap sejak penggunaan Tionghoa mulai dipopulerkan. Aku mendapatkannya bukan hanya di MetroTV, tapi juga di koran lokal di Kalimantan Barat. Kata ‘China’ terutama digunakan untuk merujuk ke Republik Rakyat Tiongkok , karena sampai saat ini, istilah Tiongkok hanya ‘populer’ diinteren masyarakat Tionghoa saja. Sehingga apakah fenomena ‘China’ ini muncul karena belum populernya istilah Republik Rakyat Tiongkok ato Tiongkok? Sampai kapan istilah ‘China’ ini akan terus muncul ditengah perdebatan ‘Cina’ dan ‘Tionghoa’.
Setelah melihat program “Padamu Negeri”, tampak perdebatan tentang penggunaan istilah Cina atau Tionghoa yang belum selesai.
Yang keberatan dengan penggunaan Cina adalah para senior Tionghoa yang direpresentasikan oleh INTI, dan juga sekelompok anak muda Tionghoa yang aktif dalam isu ke-Tionghoa-an yang direpresentasikan oleh JTM. Sedangkan untuk kaum muda Tionghoa ‘kebanyakan’ yang direpresentasikan oleh mahasiswa Binus dan Untar, terlihat ‘netral’.
Memang betul, istilah ‘Cina’ di Indonesia mengambil start yang kelam, dan meninggalkan trauma sangat tidak menyenangkan bagi sekalangan masyarakat Tionghoa yang sempat merasakan proses transisi penggunaan ‘Tionghoa’ ke ‘Cina’, namun proses perjalanan waktu (dan perubahan generasi) telah membuat istilah ‘Cina’ juga mengambil nuansa yang berbeda dibanding saat pertama istilah itu wajib digunakan, nuansa itu muncul dalam generasi Tionghoa saat ini yang secara kasar dicerminkan dari pendapat yang muncul di sekelompok mahasiswa Untar dan Binus yang mewakili kalangan Tionghoa muda pada umumnya (maksudnya yang tidak terlibat aktif dalam isu advokasi ke-Tionghoa-an).
Nuansa itu juga muncul di masyarakat non-Tionghoa. Istilah ‘Cina’ tidak lagi hanya semata-mata menjadi alat yang digunakan untuk merendahkan / menghancurkan secara mental sekelompok masyarakat yang leluhurnya berasal dari Tiongkok, namun sudah menjadi suatu istilah ‘umum’ untuk merujuk ke masyarakat tersebut. Masyarakat non-Tionghoa sudah terbiasa dengan kata ‘Cina’.
Menurutku saat in, kata ‘Cina’ tidak lagi hanya menggambarkan umpatan / hinaan / pelecehan, namun juga menjadi kata yang terlekat makna positif (selain untuk merujuk identitas etnis). Aku mengambil contoh di Kalimantan Barat , dimana jika seorang anak dikatakan seperti anak Cina, maka itu berarti anak yang cantik / manis . Dalam konsep pemikiran masyarakat non-Tionghoa di Kalimantan Barat , orang Cina itu cantik dan tampan (mungkin itu yang menyebabkan kosmetika berpemutih laku keras di indonesia ;P). Juga orang Cina itu dikenal dengan keuletan dalam bekerja, dan menabung.
Cuman ya stereotype orang Cina itu kaya juga ada, namun dalam keseharian, masyarakat non-tionghoa Kalimantan Barat juga bisa melihat orang Cina yang ekonominya menengah ke bawah, dan jumlah itu juga tidaklah sedikit. Ada pengalaman waktu aku masih kuliah di universitas negeri , saat mengumpulkan lembar hasil studi (LHS) ke Tata Usaha. Waktu itu jamannya mahasiswa masih mengetik sendiri hasil ujian ke dalam lembaran itu, sehingga penghitungan rata-rata IPK juga dilakukan secara manual oleh mahasiswa bersangkutan.
Saat aku mengumpulkan, staff Tata Usaha-nya menyeletuk, “Kalo orang Cina, aku percaya dengan penghitungannya, pasti sesuai” . Maksudnya tidak akan berbuat curang dengan menambah rata-rata IPK yang menggunakan pembulatan. Sehingga pencocokan nilai hasil ujian yang tercantum di kartu kehadiran dengan yang diketikkan ke dalam LHS dilakukan dengan cepat oleh staff TU itu.
Karena penggunaan kata ‘Cina’ yang telah terbiasa selama beberapa puluh tahun, penggunaannya dalam percakapan sehari-sehari juga menjadi lumrah sebagai identitas etnis. Kita punya sense yang bisa merasakan kapan saat kita diumpat, ato disindir, ato disapa biasa. Sehingga kita juga tau kapan kita merasa biasa saja atau marah saat disebut sebagai orang Cina. Dalam contoh situasi yang kusebut tadi, tidaklah mungkin kita merasa tersinggung saat disebut sebagai orang Cina. Situasi seperti itu pulalah yang dijelaskan oleh mahasiswa Binus dan Untar.
Memang sebagian besar anak muda Tionghoa sekarang ‘buta sejarah’ tentang diri mereka (termasuk aku dulunya ), namun kupikir kita juga jangan mengesampingkan perkembangan kondisi yang ada sekarang yang menyangkut penggunaan kata ‘Cina’.
Pengalaman Masyarakat Dayak di Kalimantan
Mungkin kita bisa mengambil pengalaman masyarakat Dayak di Kalimantan sebagai pembelajaran. Menurutku, kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak di Kalimantan mengalami tekanan yang hampir sama besarnya dengan masyarakat Tionghoa. Tekanan terhadap identitas Dayak begitu besarnya sampai pada suatu waktu, orang Dayak menjadi malu menyebut dirinya Dayak dan untuk menjadi Dayak.
Orang Dayak yang menjadi muslim akan mengidentifikasikan dirinya sebagai Melayu (‘kasta’ etnis yang lebih bergengsi saat itu, terutama masa kesultanan Melayu di Kalimantan Barat) dan memalingkan muka terhadap komunitas asalnya. Pada tahun 1960an , pemerintah melakukan penghancuran besar-besaran terhadap rumah-rumah panjang orang Dayak, secara terstruktur, aspek-aspek budaya Dayak perlahan dihabisi. .
‘Pembenaran’ yang digunakan saat itu adalah dengan memandang masyarakat Dayak dan budayanya sebagai masyarakat terbelakang, pemuja berhala, pemakan orang, pemenggal kepala, yang harus diperadabkan. Pencitraan dan sterotyping yang negatif menempatkan masyarakat Dayak sebagai warga negara kelas 2. Bahkan di Jawa, istilah Dayak digunakan untuk merujuk ke hal yang kotor, jorok dan bodoh.
Penghinaan yang besar terhadap nama Dayak membuat masyarakat ini mengalami krisis identitas yang parah, melahirkan generasi yang tidak lagi mengenal adat budaya warisan nenek moyangnya. Doraemon menjadi tokoh yang lebih dikenal dibanding Bidik Menggaling (Tokoh legendaris kepahlawanan dalam cerita tradisi lisan salah satu sub-suku masyarakat Dayak di Kal-Bar), Disco lebih populer dibanding tarian komunal Bejonggan. Bidik Menggaling dan Bejonggan adalah kampungan, dan anak muda Dayak merasa malu untuk mengenal atau menarikan tarian tradisi mereka.Krisis identitas Dayak berimplikasi sangat besar terhadap lingkungan alam mereka. Generasi yang tidak lagi mengenal adat budaya Dayak menjadi generasi yang tidak lagi menghargai lingkungan alam sekitar, itu salah satu hal yang memberikan sumbangan terhadap kerusakan hutan kalimantan (maraknya illegal logging, perkebunan skala besar, dll).
Krisis identitas itu kemudian berlanjut dengan munculnya beberapa istilah yang menjadi polemik internal masyarakat itu, karena harus memilih nama yang pantas untuk mereka gunakan sebagai identitas suku mereka, mulai dari kata “Dayak”, “Daya”, “Daya'”, dan “Dajak”. Pertentangan yang sengit mewarnai penggunaan istilah-istilah itu. Kelompok yang memilih ‘Dayak’ berargumen bahwa itulah nama yang sesungguhnya yang telah ada sejak masyarakat itu dikenal, sedangkan kelompok yang memilih “Daya” berargumen bahwa istilah itu akan menghilangkan label-label negatif terhadap mereka, terutama dalam bahasa Indonesia, Daya itu bisa berarti kekuatan, mirip dengan istilah “Daya'” dan “Dajak” (ejaan lama Belanda).
Hanya kemudian pada tahun 1992, saat diselenggarakannya Expo Kebudayaan Dayak di Kalimantan Barat, dimana perwakilan-perwakilan dari seluruh sub-suku masyarakat Dayak pulau Kalimantan (termasuk Sabah dan Sarawak, Malaysia) hadir, dan disaat itulah disepakati untuk menggunakan (kembali) satu istilah ‘Dayak’ untuk merujuk ke masyarakat adat (asli) Kalimantan itu, yang walau saat itu masih melekat kuat stereotyping negatif Dayak.
Seiring dengan lahirnya berbagai NGO yang dibentuk oleh masyarakat Dayak sendiri untuk memperjuangkan hak-hak hidup mereka. Stereotyping Dayak yang terbelakang, jorok, pemakan orang, pemuja berhala, perlahan-lahan luntur. Sekarang ‘Dayak’ menjadi nama identitas yang dibanggakan oleh masyarakatnya, dan juga tidak lagi hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat non-Dayak.
Hal yang aku pelajari dari masyarakat Dayak adalah label-label negatif dari sebuah istilah untuk identitas etnis bisa dilunturkan dengan ‘menunjukkan diri’ siapa kita. Dalam kasus masyarakat Dayak, mereka bisa menunjukkan bahwa mereka tidaklah seperti yang distereotypekan selama ini. Bedanya, istilah ‘Dayak’ tidaklah diwajibkan atau dilegalkan oleh sistim hukum positif di Indonesia.
Selanjutnya . Aku pernah sepesawat dengan sepasang suami istri yang (sepertinya) suaminya itu adalah mantan tentara (yang pasti adalah pegawai negeri) yang memiliki jabatan yang cukup tinggi. Mereka duduk disebelahku. Ngobrol ngalor ngidul, kemudian si Bapak menanyai identitas etnis ku. Walau masih ada rasa ‘deg’, aku mencoba menjawab dengan tegas “Aku orang Cina”. Bapak itu kemudian tersenyum “bagus, kamu harus menjawab dengan tanpa ragu” (Kata ‘Tionghoa’ masih (kembali) baru saat itu, sehingga masih terasa agak tersendat di lidah).
Akhir kata, makna negatif / derogatif sebuah kata yang merujuk ke identitas etnis ternyata dapat dikikis dengan kepercayaan diri masyarakat yang bersangkutan terhadap identitas etnisnya, yang juga dicerminkan dari sikap perbuatan masyarakat tersebut (melalui kegiatan-kegiatan advokatif seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dayak).
Aku pribadi ingin makna derogatif yang melekat pada kata ‘Cina’ dapat dihilangkan, karena katakanlah Tionghoa menjadi istilah yang harus dipakai untuk merujuk ke masyarakat kita (sudah ada peraturannya kan?), namun siapa yang bisa menjamin bahwa saat seorang non-Tionghoa marah, maka dia tidak akan kembali menggunakan istilah “Cina Loe!”.
Sehingga saat ini, aku lebih seperti seekor bunglon, Tionghoa kugunakan saat berbicara dengan saudara-saudaraku yang lebih memilih istilah Tionghoa. Dan menggunakan kata Cina, saat berbicara dengan sahabat-sahabatku yang lidahnya telah terbiasa menggunakan kata ‘Cina’. Dengan menggunakan kata ‘Cina’ dengan netral, aku mengharapkan dapat mengikis kenegatifan yang tergantung dalam kata itu, membuatnya sama dengan nama untuk etnis lainnya, seperti Dayak, Batak, dll.
Lagipula, kalau melongok ke negara tetangga, Malaysia, kata ‘Cina’ disana digunakan secara netral (aku tidak tahu sejarah penggunaan istilah ‘Cina’ di Malaysia). Sejak kecil saat nonton TV malaysia, terutama saat Imlek, maka ucapan yang muncul di televisi adalah “Selamat Tahun Baru Cina”, sampai sekarang.
Tabik, Julia
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua