Saya berharap anak muda di era Reformasi meninggalkan tradisi ‘politik kambing hitam’ yang kerap menyalahkan orang lain atas segala ketidakmampuan diri. Membaca satu alinea artikel dibawah, lagi lagi gue bertanya, betulkah kita Tionghoa sedemikian merananya sehingga tidak bisa berkembang? Di akhir tahun 60-an mungkin. Tapi setelah tahun 1980 an rasanya kita tidak sebegitu terkekangnya . Dan sepuluh tahun terakhir, astaga, kurang bebas bagaimana lagi Tionghoa?
Satu Generasi Tionghoa Terancam Putus Budaya
Akibat terkekang selama lebih dari 32 tahun, satu generasi komunitas Tionghoa terancam putus budaya. Saat ini, sebagian besar generasi muda Tionghoa di Indonesia tidak lagi mampu berkomunikasi dalam bahasa Mandarin dan atau menghasilkan karya seni Tionghoa seperti kaligrafi maupun lagu-lagi klasik China. Kekhawatiran tersebut diungkapkan oleh pelukis kaligrafi China, Abidin Tane (73), di sela-sela makan siang bersama Jin Yang, pelukis asal China, di Jakarta, Rabu (5/12).
Kedatangan Jin Yang, yang juga terkenal dengan teknik melukis warna tebal, adalah untuk memamerkan 80 lukisannya di Jakarta pada 7-11 Desember mendatang. Menurut lelaki yang bernama Tionghoa Chin Lik Hui itu, sekarang ini tinggal generasi berusia lebih dari 60 tahun ke atas yang masih mampu berkomunikasi dalam bahasa Mandarin maupun bisa mempraktikkan kesenian Tionghoa (A10) (HUMANIORA Kompas , Kamis 6 Desember 2007 hlm 12)
Jika kita mau belajar bahasa Mandarin sekarang sudah banyak menjamur. Chinese Centre, untuk belajar kesenian berjibun. Mau belajar lukis, tari, alat musik, barongsai? Apa yang tidak ada dan tidak tersedia ? Apa yang tidak bisa ? Tapi kenapa terus menerus disebut 32 tahun … bla bla bla….. seperti ratapan yang tiada akhirnya. Padahal sudah hampir 10 tahun lewat! Memoria passiona? Sudah waktunya kita sadari, berhenti menyalahkan masa lalu kelabu. Berhenti meratapi yang dulu dulu. Yang penting adalah ke depannya, kita mau apa?
Tidak bisa bahasa Mandarin? Stop menyalahkan Orde Baru, dan silahkan belajar! Bisa kok kalau mau! Ingin bisa kaligrafi? juga tidak usah menekankan kekangan jaman buhul. Saya kenal asuk-asuk yang sudah 20 taon belajar kaligrafi. Berarti mulainya diantara 32 tahun terkekang itu khan. Kok bisa? jadi apanya yang terkekang?
Barangkali minatnya. Kalau anak muda sekarang tidak tertarik belajar kaligrafi, tidak berminat mempelajari batik peranakan dan lebih suka melangsungkan pernikahan cara barat, itu bukan salah 32 tahun terkekang.
Hampir semua suku mengeluhkan hal serupa. Bedanya yang meributkan 32 tahun hanya kita Tionghoa, Yang lain sudah sadar duluan bahwa masalahnya adalah pada minat, minat, minat!
Bagaimana menumbuhkan minat di kalangan anak muda untuk menjaga warisan budaya? Bagaimana supaya minat budaya dapat berkembang ditengah maraknya online gaming, tontonan yang lebih menarik, hiburan yang lebih keren? Itu yang perlu dibahas, 32 tahun sudah lewat dan tidak ada urusannya.
Satu lagi yang saya masih bingung, apakah Tionghoa Indonesia punya kewajiban menjaga warisan budaya China ? Why?? Sementara saya masih krisis Identitas sibuk mencari batas membedakan yang mana budaya Tionghoa dan mana yang merupakan budaya China, dan mana yang menjadi kewajiban saya untuk melestarikannya?
Ulysee