Budaya-Tionghoa.Net | Berawal di tahun 2007. Saya mendapat undangan seminar di Singapura. Saya memberikan film dokumenter Capgome kepada saudara Victor Yue. Dan beberapa tahun lalu saya sempat bilang sama Jean de Bernadi kalau Tatung atau Tangsin yang di Singkawang berbeda dengan riset yang dia lakukan di Malaysia , Singapura atau Taiwan. Tetapi dia kurang tertarik. Di tahun 2006, saya juga sempat memberi tahu Margareth Chan mengenai hal yang sama , tetapi dia juga tidak tertarik.
|
Lantas saat Victor Yue , seorang sesepuh dari “tangsin hunter” , melihat film tersebut langsung terperanjat dan segera mengontak Margareth , bercerita , dan kemudian memberikan filmnya. Tapi sayang sekali Margaret tidak mau pergi ke Singkawang, sampai saya harus memaksa dia untuk datang. Akhirnya bersama Victor dan rekan-rekannya , semua berdelapan berangkat ke Singkawang.
Anggota team yang akhirnya datang ke Singkawang adalah :
- Margaret Chan , peneliti dari Singapore Management University.
- Arthur Tong ,peneliti budaya dari National University of Singapore
- Timothy Pwee dari National Library
- Arron Cho , seorang peneliti yang punya koleksi kertas jimat bejibun
- Victor Yu, gembongnya dan peneliti soal tangsin, bio
- Ronnie Pinsler , orang Barat yang jg punya koleksi poto tangsin dan kelenteng yang berlimpah. Dia meneliti Taoisme.
Kemudian saya mencari orang Singkawang untuk menjadi tour guide. Kami mendapatkan Rudi Dustika Teja. Tidak berapa lama Hendy Lie juga mengirim email yang isinya dia ingin membantu kegiatan kami selama di Singkawang. Selain itu kami juga membutuhkan orang Pontianak untuk menghubungkan kami ke Singkawang. Jadilah kami bertemu dengan bang Joni dan ko A Liong dan juga Julie , yang kemudian membantu kami dalam mencari hotel , sewa mobil dan hal lainnya. Kami kemudian menginap di hotel Prapatan.
Day 2 , 19 Febuari 2008
Pak Amrin, yang juga pemilik mobil rental datang jemput saya di airport tepat jam 12 siang. Dari situ saya bersama istri langsung berangkat ke hotel. Ternyata mereka , Victor Yue dan yang lainnya benar2 sesuai dgn gelarnya, grup pemburu tangsin dan kelenteng. Satu hari di Pontianak sudah memburu seorang tangsin tua di Pontianak dan juga dua kelenteng disana.
Arron sesuai dgn gelarnya pemburu kertas jimat, dia juga mendapat beberapa hal yang menarik dari kertas jimat yang ada di banyak rumah Pontianak. Arthur yang lagi membuat disertasi, dia juga menyimpan berbagai pertanyaan dan perihal seputar Kwan Im di Pontianak.
Sayangnya saya salah perhitungan kapasitas kendaraan, jadi bisa dibilang tidak bisa menampung semua pasukan plus perbekalan di satu kijang kapsul. Kami beruntung ada pak Jack yang datang ke Pontianak dan ia bersedia menampung Margaret, Ronny disatu mobil plus sebagian perlengkapan tempur.Habis kumpul2 dan koordinasi rencana perang, kita semua makan di satu restoran. Dan menunggu Rudi datang ke hotel. Dari situ langsung tancap gas ke Singkawang, perjalanan yang penuh dengan kebut2an mengejar waktu.Sewaktu mau masuk ke Singkawang, kita semua berhenti di Yam Tong atau Yan Ding. Ketemu sama mbak Eugenie yang sedang menunggu disana. Dari situ kita ketemu satu keluarga tangsin yang 3 generasi jadi tangsin. Ada satu barang yang menarik perhatian para pemburu, adn membuat mereka menjadi tertarik adalah sebuah kipas yang ditulisi bahasa Arab.
Habis dari situ kita menyaksikan ritual pengundangan dewa dan jaelangkung. Kemudian kita langsung tancap gas ke Singkawang. Disana sedang ada even pawai lampion. Rudi bertanya apa mau berhenti sejenak menonton acara pawai kepada kami. Saya tahu itu “genk pemburu tangsin” dan kelenteng mana mau berhenti menonton lampion ? Dianggap membuang waktu saja. Dan memang benar.
Jadi langsung kita tancap gas ke hotel. Nah sampai dihotel sempat tarik urat gara2 kamar yg dibooking 3 malah jadi sisa 2. Jadi perhitungan kamar 3 di restu 1 di mahkota jadi berubah lagi. Untung saja ada pak Hidayat yg kasih kita 1 kamar lagi di hotel restu. Ada cerita menarik sewaktu kami berada di Yam Tong. Eugine mengatakan kepada saya bahwa dia merasa merinding kalau dekat dengan Tatung waktu dalam kondisi trance. Saya menyarankan kepada Eugine untuk tidak memikirkan hal tersebut . Nantinya juga akan terbiasa.
Day 2 , 20 Febuari 2008
Rudi sudah berjanji dengan temannya yang bernama William untuk mengajak kita bertemu di satu shentan [bio kecil]. Dewa utamanya adalah Hei Lei Jiangjun. Disana kami berkenalan dengan Fang Jingjang, seorang tangsin yang sudah berusia 54 tahun dan menjadi tangsin sejak berusia 14 tahun. Kami kemudian berbicara panjang lebar
Disaat itu saya juga melihat ada hal yang unik. Guci penangkap dan pengurung setan.Ini mengingatkan saya tentang aliran Maoshan. Uniknya itu guci tidak dilempar kelaut atau sungai tapi dibiarkan begitu saja. Selain guci , ada mangkok yang juga untuk menyimpan setan yang lebih jinak dari setan yang ada diguci. So , para setannya dikurung sampe “kiamat” atau sampai gucinya rusak ? begitu?. Ada juga altar Datuk Sungkung[?] yang katanya , seorang Dayak.
Dari situ kami menuju ke MABT untuk bertemu pak Wijaya untuk bertanya soal sejarah Tatung , sejarah Singkawang. Kemudian kami ke tempat dewa jendral Petir Hitam atau Hei Lei Jiangjun. Disana kita bisa melihat persiapan Fang untuk trance. Saat itu ada rombongan tangsing lain lewa dan tangsin itu berhenti saling memberi hormat.
Perjalanan berikutnya ke Kelenteng Besar , Fude Ci. Ada kemungkinan kelenteng itu sudah dibangun sejak tahun 1800. Sayang waktu itu kami ada keterbatasan waktu untuk menelusuri lebih jauh sejarah kelenteng tersebut. Tidak sempat melihat “bian” atau papan tulisan yang biasanya terlampir tahun pembuatan.Kemudian kami ke tempat panitia Capgome dan berkenalan dengan Hendy , Nusantio , yang banyak membantu kami. Kami juga berkenalan dengan bapak Chin Miaofuk yang menjadi ketua panitia. Disana kita di foto untuk kartu pers. Sejak kapan saya menjadi wartawan ? Habis itu kita ketempat walikota Singkawang, bapak Hasan Karman. Margareth Chan mewawancarai walikota dan setelah itu giliran dia yang di wawancarai oleh wartawan RRI.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 31229