Budaya-Tionghoa.Net| Sebetulnya ada banyak topik budaya Tionghoa yang bisa dibahas-bahas, dengan seru, tetapi sehat dan bermanfaat dan tidak menjadi debat kusir,kalau mau.
Misalnya saya pernah bertanya, mengapa setelah jaman Chiang Kaishek, hampir tidak ada lagi orang Tionghoa yang berkumis!? Ini pertanyaan aspek budaya yang serius, tetapi tidak ada yang berminat membahasnya kecuali menjawab dengan guyonan saja. Barangkali karena sama-sama tidak tahu apa jawabannya. Mungkin karena selama ini tidak pernah sadar akan adanya fenomena budaya Tionghoa yang seperti itu, yaitu bahwa orang Tionghoa kontemporer boleh dibilang merupakan satu-satunya etnis di dunia yang punya budaya tidak memelihara kumis! Okay lah, kalau soal kumis sulit dijawab, pertanyaan saya berikutnya adalah bagaimana status judi dalam budaya Tionghoa? Mudah-mudahan ini lebih mudah dijawab.
|
Apakah judi itu sesuatu yang terlarang atau haram dalam budaya Tionghoa? Atau sesuatu yang biasa-biasa saja, terlarang tidak, dianjurkan juga tidak? Atau barangkali itu sesuatu tradisi amusement activity dalam budaya Tionghoa yang terhormat dan dianjurkan?
Dalam suatu ceramah agama Islam yang saya hadiri kira-kira 5 tahun yang lalu, ustadz yang bertindak sebagai penceramah menjelaskan pentingnya toleransi antar agama. Jangan menyerang agama lain, dengan mencari-cari kesalahan praktek ritual agama lain itu kalau dibandingkan ke ritual agama kita sendiri, katanya, karena prinsip Islam adalah agamaku agamaku, agamamu agamamu.
Jadi mirip kasus-kasus yang sering dibahas di forum ini tentang sebaiknya Tionghoa yang Kristen tidak usah mengkritik Tionghoa yang Konghucu sebagai memyembah berhala, karena sistem nilainya berbeda. Yang berhala bagi orang Nasrani dan Islam, belum tentu berhala bagi penganut Konghucu atau Hindu, misalnya.
Kembali ke ceramah Islam yang saya hadiri, uniknya, untuk memperkuat substansi ceramahnya tentang perlunya kita saling menghormati praktek ritual agama lain, sang ustadz tadi mengambil contoh kebiasaan berjudi di kalangan orang Tionghoa.
Ustadz itu mengkritik kelakuan sementara aktivis Islam yang suka over-acting menggerebek tempat-tempat berjudi, dengan alasan membela Islam. Padahal, kata ustadz tersebut, yang berjudi di tempat-tempat itu belum tentu orang Islam, di mana belum tentu agama orang yang berjudi itu melarang perjudian seperti halnya Islam mengharamkan judi.
Sebagai contoh, kata ustadz itu lebih lanjut, orang Tionghoa tidak mengharamkan perjudian, bahkan berjudi adalah aktivitas budaya orang Tionghoa yang terhormat. Kalau ada kematian di kalangan Tionghoa, misalnya, sudah sangat lazim orang yang sanseng (bertakziah) lalu membuka meja judi. Begitu terhormatnya berjudi dalam budaya Tionghoa, sampai-sampai, kata sang ustadz lagi, orang Tionghoa itu mempunyai dewa judi, yaitu sianjin atau toapekong yang ‘mengayomi’ kegiatan perjudian! Unik daripada uniknya, kebetulan ustadz yang saya bicarakan ini seorang dari suku Tionghoa!!
Ada beberapa tempat lain lagi di luar Indonesia di mana judi bukan barang terlarang. Setidak-tidaknya menurut hukum. Di Australia, misalnya, kasino ada di tiap kota dan saya sering mendatanginya. Bukan untuk berjudi, hanya nonton saja, karena kalau bertaruh, saya ini selalu kalahan. Jangankan bertaruh dengan orang-orang sebanyak satu meja judi. Hompimpa bertiga atau bahkan suitan berdua saja pun, saya selalu kalah! He he he… Di samping itu, kasino di Australia umumnya, di Melbourne misalnya, merupakan tempat mewah yang sangat nyaman untuk didatangi, walau bukan untuk berjudi.
Nah, mendatangi kasino-kasino di Australia, justru yang membuat saya sangat terkesan adalah bahwa mayoritas pengunjungnya adalah orang Tionghoa! Jauh melebihi jumlah pengunjung etnis Latin, Anglo Saxon atau Eropa lainnya. Jadi barangkali memang benar bahwa perjudian adalah aktivitas kebudayaan etnis Tionghoa yang terhormat, karena di seluruh pelosok dunia orang Tionghoa sangat intensif berjudi.
Tetapi… belum tentu juga perjudian adalah fenomena budaya Tionghoa yang terhormat?
Saya pernah baca suatu cerita yang aslinya cerita bersambung (feuilleton) di koran Sin Po pada tahun 1936, berjudul “Liong Boen Ho Kiat”. Ceritanya berlangsung di jaman Kaisar Beng Sin Cong (Ming Shenzong Wanli 明神宗 萬曆), kaisar paling lama memerintah (1572-1620) dalam dinasti Beng (Ming), tetapi juga kaisar yang paling menyebabkan kemunduran dinastinya. Di cerita yang diterjemahkan OKT dalam bahasa Melayu-Tionghoa ini, digambarkan bagaimana jahatnya akibat dari perjudian, yang dalam bahasa Melayu tahun 1930-an itu disebut sebagai “maen top”, dan penjudinya disebut “pentopan”
Berjudi memang digambarkan sebagai aktivitas yang bukan sesuatu yang terlarang:
“… Pada harian taon baroe, orang semoea dapet koetika akan mengaso, tempo jang senggang diliwatken oleh masing-masing dengan tjara apa sadja jang iaorang soeka, antaranja adalah dengen berkoempoel di medja djoedi, maen dadoe atawa maen kartoe …”
Tetapi sekaligus berjudi juga digambarkan sebagai suatu aktvititas yang merugikan, terutama karena sifat addictive-nya dan kencenderungan kriminalitasnya:
“… Yoe Tjin Lok djoega soeka maen top. Itoe hari ia adoe peroentoengannja di roemahnja tee-hong atawa kepala kampoeng jang bernama Tjo Tjeng. Apa tjilaka bagi ia, ia ada begitoe sial dangkalan aken kalah abis-abisan, hingga ia djadi sangat djengkel, sedeng ia masi ketagian dan ingin sekali bisa maen teroes agar ia bisa tarik poelang kekalahannja dan djadi menang. Satoe pentopan paling gampang loepa daratan atawa mata gelap, demikian dengen Yoe Tjin Lok, jang hatinja tida tjoekoep keras. Ia poelang ka roemah madjikannja, aken tjoeri saroepa barang koeno, jaitu pek-giok koei, koemala jang poetih bersi dan mentereng tjahajanja. Ia bawa ini pada Tjo Tjeng, boeat digade …”
Jadi… silahkan liatwi sicu yang menguasai aspek budaya Tionghoa di milis ini, untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya fenomena ‘maen top’ atau berjudi ini dari sudut pandang ketionghoaan.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa