Budaya-Tionghoa.Net | Dalam beberapa hari ini pers mancanegara dibanjiri oleh ‘breaking news’ sekitar demonstrasi dengan aksi kekerasan di Lhasa, ibukota Daerah Otonomi Tibet, Republik Rakyat Tiongkok. Diberitakan jatuhnya korban di fihak pendemo, yang didemo, maupun petugas keamanan Tiongkok.
|
Bukan saja berita, tetapi dapat dibaca pelbagai ulasan, analisa, komentar, editorial dan ‘talkshows’ mengenai masalah Tibet. Pers di Barat dan pelbagai negeri, menganggap bahwa demo di Tibet tsb adalah sebagai reaksi terhadap politik opresif RRT terhadap Tibet. Bahwa rakyat Tibet berkehendak lepas dari Tiongkok dan mendirikan negara sendiri. Suatu ‘Tibet Merdeka’. Dapat pula kita ikuti konferensi pers Dalai Lama di layar TV. Ia memberikan variannya sendiri mengenai masalah Tibet. Ia tidak mengajukan tuntutan ‘Tibet Merdeka’. Dalam pernyataannya itu Dalai Lama menentang dilakukannya kekerasan. Ia bahkan menyatakan akan mundur sebagai pemimpin pemerintahan Tibet di pengasingan, jika kekerasan tak terkendalikan. Sementara itu diberitakan bahwa terdapat ‘keretakan’ bahkan ‘perpecahan’ dikalangan orang-orang Tibet eksil yang terlibat dengan gerakan ‘Tibet Merdeka’.
Kemudian keluar pernyataan PM RRT Wen Jia Bao yang menegaskan bahwa Tibet adalah bagian dari RRT dan bahwa ‘kerusuhan’ di Lhasa diorganisir dari luar, oleh orang-orang gerakan Tibet yang dipimpin oleh Dhalai Lama.
Sementara negarawan, termasuk Presiden Bush, PM Brown dari Inggris dan pimpinan UNI Eropah menyatakan pandangan kritis mereka terhadap Tiongkok. Mereka mendesak pemerintah Tiongkok jangan melakukan kekerasan terhadap kaum pendemo, selanjutnya supaya menyelesaikan masalah Tibet secara damai. Anggota parlemen senior Amerika Serikat, Nancy Pelosi, memerlukan bertemu dengan Dalai Lama di Dharamsala, India. Di situ Pelosi berseru kepada masyarakat internasional agar mengecam pemerintahan Tiongkok di Tibet.
* * *
Timbul pertanyaan. Ada apa di Tibet? Siapa yang mendemo? Apa tuntutannya? Dari mana timbul kekerasan? Bagaimana sesungguhnya ‘masalah Tibet’. Bagaimana latar belakang sejarahnya? Dsb.
Mengikuti pemberitaan sekitar Tibet yang terus-menerus mengisi media cetak dan elektronik sejak beberapa minggu ke belakang, tampak adanya suatu kampanye internasional yang diregisir rapi disasarkan terhadap Tiongkok. Sementara fihak di Barat memulai kampanye tsb dengan mempersoalkan ‘keabsahan’, ‘benar-tidaknya’ mengadakan Olympic Games di Beijing. Mereka mendesak agar para olahragawan mancanegara jangan hadir pada pesta olahraga internasional di Beijing nanti. Sebagai alasan dikemukakan bahwa di Tiongkok masih terus terjadi pelanggaran HAM. Sebagai reaksi atas kampanye tsb di Belanda misalnya, fihak pimpinan Komite Olympiade Nasional menyatakan sikap tidak mencampur-adukkan olahraga dan politik. Belanda akan tetap mengirimkan olahragawan mereka ke Beijing. Demikian juga sikap negeri-negeri Uni Eropah lainnya.
Banyak sudah yang disiarkan dan ditayangkan di TV mengenai apa yang terjadi di Lhasa, dilihat dari kacamata Barat dan fihak yang menyokong tujuan pembentukan ‘Tibet Merdeka’. Maka seyogianya baik juga mencermati apa yang dikemukakan oleh Raidi,(70 th) dilahirkan dalam keluarga tani hamba. Ia seorang tokoh etnis Tibet, Ketua Kehormatan Komite Konsultasi Pembangunan Daerah Otonom Tibet. Raidi telah menyaksikan perubahan-perubahan yang terjadi di Tibet sejak daerah itu tahun 1951 dibebaskan secara damai oleh Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok. Pendirian Republik Rakyat Tiongkok bahwa Tibet adalah bagian dari Tiongkok, diakui oleh PBB dan negeri-negeri yang punya hubungan normal dengan RRT.
Raidi menyatakan, peristiwa di Lhasa itu terjadi bukan kebetulan. Selama belasan tahun ini, Tibet telah mengalami kemajuan paling cepat dan perubahan paling besar sepanjang sejarahnya, begitu pula rakyatnya mendapat keuntungan paling banyak dalam sejarah. Namun, demikian Raidi, kekuatan separatis Dalai Lama tidak ingin menyaksikan kemajuan sosial, perkembangan ekonomi dan persatuan berbagai etnis di Tibet, juga tidak ingin menyaksikan rakyat Tibet menjadi tuanrumah atas negara dan menikmati kehidupan bahagia. Oleh karena itu, mereka berdaya upaya merusak dan mengganggu kestabilan dan perkembangan Tibet bahkan seluruh daerah etnis Tibet.
Dikatakan Raidi, bahwa dalam peristiwa kekerasan itu, para perusuh telah membakar 210 rumah penduduk dan toko, menghancurkan dan membakar 56 mobil, membakar atau membacok sampai mati 13 penduduk yang tak berdosa. Ada cukup fakta, katanya, untuk membuktikan bahwa peristiwa itu diorganisasi, direncanakan, didalangi dan dihasut oleh klik Dalai Lama.
Lanjut Raidi, “Tujuan mereka adalah menimbulkan peristiwa pada masa peka sekarang ini dan sengaja membesarkannya menjadi peristiwa berdarah untuk mengganggu Olimpiade Beijing, serta merusak situasi sosial dan politik yang tenteram dan harmonis. Peristiwa kali ini sekali lagi membuktikan bahwa klik Dalai Lama sesaat pun tidak berhenti melakukan kegiatan separatis dan sabotase.”
Situasi di Lhasa dewasa ini, lanjut Raidi, sudah tenang, dan ketertiban sosial sudah kembali stabil. Namun klik Dalai dan sejumlah tokoh di negara-negara Barat bertindak begitu jauh menyebut tindakan pemukulan, penghancuran, penjarahan dan pembakaran sebagai “demonstrasi damai”, dan menyebut tindakan untuk menangani tindak kekerasan yang dengan serius membahayakan keselamatan jiwa dan harta benda massa rakyat serta ketertiban sosial itu sebagai apa yang disebut “penindasan atas demonstrasi damai”.
Dikatakan oleh Raidi, pernyataan seperti itu disamping menutup mata terhadap duduk perkara yang sebenarnya, juga memutar-balikkan antara hitam dan putih. Raidi mengatakan, saya ingin bertanya: baik negara atau pemerintah mana pun, apakah mereka bisa bersikap acuh tak acuh terhadap peristiwa kriminal kekerasan seperti yang terjadi di Lhasa itu? Jelas, pemerintah mana pun tidak mungkin tidak mempedulikan keselamatan jiwa dan harta benda rakyatnya, tidak mungkin menutup mata terhadap tindakan para perusuh yang merusak ketertiban sosial yang damai dan stabil serta merusak situasi yang tenteram dan bersatu. Dapat dipastikan bahwa negara mana pun tidak mungkin bertoleransi atas tindak kriminal kekerasan itu.” Demikian kata Raidi.
Kini sebagian besar toko di kota Lhasa sudah buka kembali, perguruan tinggi serta sekolah-sekolah menengah dan dasar juga sudah kuliah secara normal. Ketertiban sosial di Lhasa pada pokoknya sudah kembali normal. Demikian Raidi.
* * *
Bila hendak berusaha memahami masalah Tibet, maka perlu sekali mendengar keterangan dan versi fihak Republik Rakyat Tiongkok, khususnya dari salah seorang tokoh terkemuka Tibet, Raidi. Mengingat pemberitaan dan peliputan fihak yang mengecam RRT dan menyokong usaha ‘Tibet Merdeka’ sudah begitu luas dan berlangsung berhari-hari sejak meletusnya konflik
di Lhasa, sudah pada tempatnya, demi mencegah keberat-sebelahan, didengar dan dipertimbangkan baik-baik keterangan dan penjelasan fihak yang membela dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan wilayah Repulik Rakyat Tiongkok, termasuk Tibet.
Itulah sebabnya diatas dikutip agak ekstensif, bagaimana pendirian fihak Republik Rakyat Tiongkok.
Sesudah mendengar lebih lanjut keterangan dan mengikuti dengan secermat mungkin, perkembangan selanjutnya, barulah kiranya mungkin memahami apa yang terjadi di Tibet belakangan ini.
* * *
Dalam pada itu, pertimbangkan segi penting ini.
Bila di suatu bagian, suatu propinsi atau wilayah dari suatu kesatuan suatu negara terjadi konflik dengan pemerintah pusat, sewajarnya masalah ini diselesaikan secara bijaksana dan demokratis. Tidak sedikit negeri dan negara di mancanegara dewasa ini, yang penduduknya terdiri dari pelbagai etnis dan suku bangsa. Gejala ini, bukan saja terdapat di negara dan wilayah Republik Rakyat Tiongkok. Ini juga terdapat misalnya, di Amerika Serikat yang multi-etnik dan multi-ras. Di AS misalnya terdapat tidak sedikit golongam penduduk etnis Hispanik yang berdiam agak memusat di bagian tertentu dari wilayah AS. Bila terjadi konflik antara pusat dengan wilayah tsb, pemecahannya bukanlah mendirikan negara ‘Hispanik Merdeka’ atau ‘Negara New Mexico Merdeka’.
Sama halnya misalnya dengan popinsi Quebec di Canada, atau daerah Baskia di Spanyol, atau di UK dengan Skotlandia atau Irlandia Utara.
Jangan jauh-jauh. Tengok saja negeri kita sendiri. Bila ada soal antara daerah dengan pusat, jelas salah bila jalan keluarnya hendak ditemukan melalui pembentukan PRRI/Permesta. Sebagaimana halnya ketika timbul kasus Aceh dengan Jakarta, pasti keliru bila penyelesaiannya adalah pembentukan negara ‘Aceh Merdeka’, seperti yang dicoba oleh GAM. Demikian pula halnya dengan kasus Maluku yang solusinya hendak ditemukan melalui pembentukan RMS. Atau kasus Papua, yang pasti tidak selesai dengan cara membentuk negara ‘Papua Merdeka’.
Karena cara-cara solusi seperti itu berarti mempromosi separatisme yang tak akan menyelesaikan soal. Sebaliknya membikin soalnya menjadi lebih rumit, berlarut-larut dan penderitaan bagi rakyat, memancing campur tangan asing. Pada akhirya akan berkesudahan dengan bubarnya negara Republik Indonesia. Persis apa yang sejak dulu menjadi tujuan kolonialisme dan imperialisme.
* * *
Dari pandangan ini, dengan sendirinya orang tidak akan bisa membenarkan tuntutan sementara kalangan, bahwa konflik di Tibet, jalan keluarnya adalah pembentukan negara ‘Tibet Merdeka’.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan baik-baik ialah, bahwa selama RRT meliputi wilayah daerah Tibet, yang bernama Daerah Otonom Tibet, dan diakui oleh mancanegara dan PBB, selama itu, orang harus pertama-tama menghormati keutuhan wilayah RRT. Selanjutnya menjauhi diri dari campur tangan langsung dari luar.
*Kolom IBRAHIM ISA *
*Sabtu, 22 Maret 2008*
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa | Facebook Group Tionghoa Bersatu