Photo Ilustrasi : Tibet , by Jee Go
Budaya-Tionghoa.Net| Karena masalah Tibet menjadi sorotan media dunia internasional dan nasional, walaupun sebenarnya tidak menyangkut secara langsung
dengan Indonesia, tetapi Indonesia seperti juga RRT menghadapi masalah yang hampir serupa yaitu gerakan separatisme seperti di Aceh dan Papua di Indonesia.
|
Selain itu banyak berita mengenai Tibet yang dikaitkan dengan pesta olahraga dunia yang ditayangkan di TV dan suratkabar Indonesia, maka saya disini ingin memberikan sedikit tanggapan mengenainya.Yang saya ingin memberikan komentar disini terutama mengenai sikap standard ganda dari media Barat khususnya.
Berbeda dengan pemberitaan mengenai kejadian di Tibet, media Barat hampir tidak ada seruan memboikot Israel atau mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap korban 114 penduduk sipil Palestina termasuk wanita dan anak-anak yang terbunuh oleh aksi tentara Israel pada awal bulan Maret ini di jalur Gaza.
Tidak juga terdengar ada seruan “Free Palestina” seperti seruan “Free Tibet” yang dikampanyekan , juga tidak ada seruan memboikot Israel seperti seruannya untuk memboikot Olympiade di Beijing.
We should not develop anti-Chinese feelings . We must live together side by side. (Dalai Lama) |
Selain itu banyak berita mengenai Tibet yang dikaitkan dengan pesta olahraga dunia yang ditayangkan di TV dan suratkabar Indonesia, maka saya disini ingin memberikan sedikit tanggapan mengenainya.
Tidak ada juga seruan “Free Iraq” atau seruan memboikot Amerika yang mengagresi Iraq sejak 5 tahun yang lalu, dimana telah menbawa kematian sekitar 655,000 orang Iraq, menurut Lancet medical journal pada Oktober 2006. Malah menurut laporan Opinion Research Business dari Inggris, angka korbannya mencapai 1,2 juta orang pada September 2007, (BBC Friday, 14 March 2008).
Media Barat lebih gencar dan bersemangat memberitakan kejadian di Tibet dan mengkritik RRT dengan intensif daripada memberitakan agresi Amerika di Iraq yang genap 5 tahun pada tahun 2008 ini yang membawa bencana kematian ribuan rakyat Iraq. (mengalihkan perhatian ?).
Mengenai latar belakang pemberitaan mengenai Tibet oleh media Barat, sebuah media online Inggris “Spiked” menulis dalam sebuah artikel yang berjudul “Using Tibet to settle scores with China”, ditulis oleh Brendan O’Neill (Monday 17 March 2008) http://www.spiked-online.com/index.php?/site/article/4880/
Disebutkan oleh Brendan O’Neil bahwa Barat hendak menggunakan kesempatan ini (masalah Tibet) untuk mempermalukan dan memojokkan RRT di mata dunia menjelang Olympiade, dan Tibet dijadikan alasan dan tumbalnya (“bogeymen”), dimana obor Olympiade direncanakan akan meliwati Lhasa nantinya. Diharapkan dengan terjadinya peristiwa di Tibet ini maka masyarakat internasional akan memboikot pesta Olympiade ini.
Media Barat berusaha untuk untuk mempolitisasi pesta Olympiade ini dengan alasannya yang paling disukainya adalah masalah pelanggaran HAM oleh RRT.
Barat sepertinya tidak kekurangan bahan untuk dijadikan alasan seperti masalah pelanggaran HAM di Myanmar, Sudan (Darfur), dan lalu sekarang Tibet yang semuanya dikaitan dengan RRT.
Elemen-elemen Barat mengeksploitasi ketidak puasan orang Tibet demi kepentingannya dengan mengomporinya untuk memicu kerusuhan, bukan karena negara dan media Barat itu berbaik hati ingin membela demokrasi dan kebebasan Tibet, tetapi motivasinya disebabkan oleh ketidak sukaan dan keirihatian terhadap RRT seperti yang dikatakan oleh Brendan O’Neill,
Tujuannya sebenarnya bukan untuk “Free Tibet, melainkan untuk mempermalukan RRT. (Elements in the West have effectively encouraged Tibetans to riot, not because they are committed to democracy and liberty, but because they fear and loathe the Chinese. Western encouragement of Tibetan instability may dress itself in the rallying cry of `Free Tibet!’, but its real motivation is to `Humiliate China!’).
Latar belakang ketidak sukaan dan keirihatian Barat terhadap keberhasilan dan kemajuan RRT dipicu juga oleh krisis negara- negara Barat sendiri, seperti krisis ekonomi yang berat yang dialami oleh AS saat kini dan makin sulitnya negara Eropah Barat bersaing dengan negara-negara pengekspor dari Asia, karena kenaikan nilai tukar Euro yang drastis, dan elemen-elemen tertentu di Barat menganggap RRT adalah sebuah ancaman global bagi kepentingannya !
“today’s China-bashing is motivated by Western self-loathing, as well as by spite and envy towards the seemingly successful Chinese…………………………….. There is an unspoken consensus today – amongst Western officials, commentators and radical activists – that China is a global threat which must be put back in its place with a short, sharp dose of humiliation”.
Dengan mendukung dan mendramatisir gerakan setiap kecendrungan gerakan separatisme di RRT, maka elemen-elemen tertentu di Barat berharap bahwa RRT nantinya akan terpecah kesatuan teritorialnya (desintegrasi) seperti di Rusia atau Serbia, dan Tibet diharapkan akan menjadi seperti Kosovo yang memisahkan diri dari Serbia. Kejadian hampir serupa juga di alami oleh Indonesia dengan Timor Timur.
Media Barat mengharapkan secara dramatis dapat mempermalukan RRT di mata dunia yang akan mengutuk dan memboikot seperti pada peristiwa Tienanmen 1989 dahulu.
Tetapi kini Barat dikecewakan harapannya, karena yang diliput oleh video-video amatir atau wisatawan, bukanlah tank tank dari “Chinese communist regime” yang melindas kaum pengunjuk rasa seperti di Tienanmen, melainkan aksi kebrutalan pengunjuk rasa pemuda-pemuda Tibet yang sepertinya terkoordinir membakar dan merusak sejumlah toko dan kendaraan bermotor milik orang Han dan juga orang Hui (muslim) sehingga menyebabkan korban kematian beberapa orang Han dan Hui tersebut.
Tuduhan Dalai Lama “cultural genocide” oleh pemerintah RRT terhadap orang Tibet , sepertinya kontradiktif dengan hasil liputan dan laporan para wisatawan asing itu, tetapi sepertinya Dalai Lama tidak menduga kejadian sedramatis seperti ini dan mengakui terjadi diluar kontrolnya (This movement is beyond our control).
Kejadian aksi kekerasan di Tibet yang menimbulkan kerugian materi dan jiwa itu pada hakikatnya bertentangan dan merugikan citranya sendiri sebagai pemimpin spiritual Budhha Tibet yang selalu mengkampanyekan anti kekerasan.
Dalai Lama sendiri mengakui terjadinya aksi kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya yang menimbulkan kerusakan dan kematian itu , sehingga dia mengancam pengikutnya untuk mengundurkan diri sebagai pemimpin spiritualnya, sekira aksi kekerasan itu dilanjuti oleh pengikutnya lebih lanjut. http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/335758/1/.html
Dalai Lama sebenarnya juga membuat kecewa media Barat , karena ia tidak mendukung gerakan aksi dan seruan memboikot Olympiade, sebaliknya ia tetap mendukung terselenggaranya Olympiade itu.
Selain itu Dalai Lama juga menyatakan bahwa Tibet adalah bagian integral RRT, dan yang diinginkan hanya autonomi dan bukan kemerdekaan Tibet sendiri yang terpisah dari RRT.
Dalai Lama juga menyerukan kepada orang Tibet supaya tidak anti orang Tionghoa dan harus dapat hidup bersama berdampingan (“We should not develop anti-Chinese feelings. We must live together side by side.”).
Dalai Lama juga berkeinginan untuk berunding dan berdialog dengan pemerintah RRT mengenai masa depan Tibet lebih lanjut. Tetapi pemerintah RRT menyatakan bersedia, asal Dalai Lama membuang ide pembentukkan negara Tibet sendiri yang terpisah (Chinese Premier Wen Jiabao said Beijing will only hold talks with the Dalai Lama if he gives up independence ambitions, and also blamed him for the unrest).
Sebenarnya Dalai Lama sudah memenuhi persyaratan ini dan tidak ada halangan untuk memulai dialog lagi , seperti pernyataannya yang menyebutkannya bahwa Tibet adalah tetap merupakan bagian integral dari negara kesatuan RRT.(Tibet’s spiritual leader has consistently denied Chinese charges that he is a separatist, and insists that he only wants a high degree of autonomy for Tibet under Chinese rule).
Sikap yang sebenarnya moderat yang ditunjukkan oleh Dalai Lama ini sudah tentu mengecewakan Barat yang mengharapkan seperti pemimpin Kosovo, Ibrahim Rugova atau pemimpin Georgia, Mikhail Saakashvili yang berpihak pada kepentingan Barat yang menuntut total pemisahan negaranya dari negara kesatuan induknya
Dalai Lama juga didukung oleh Barat, tetapi ia tidak sejalan dengan ide tersembunyi dan kepentingan Barat yang menginginkan berdirinya negara Tibet yang indenpenden, atau memancing RRT melakukan anti kekerasan terhadap warga Tibet yang memprotes.
Kalau benar seperti apa yang dikatakan oleh Dalai Lama bahwa ia tidak dapat mengontrol atau mengakui aksi-aksi yang dilakukan pengikutnya berada diluar wewenangnya, maka apakah wibawa Dalai Lama mulai terkikis dimata pengikutnya, atau ada elemen-elemen luar lainnya yang mengendalikannya ?.
Untuk mengembalikan situasi normal dan berdialog dengan pemerintah RRT, maka Dalai Lama dituntut untuk tidak membiarkan pengikutnya dimanipulasi oleh media Barat atau elemen-elemen lainnya yang bertentangan dengan kepentingan Tibet maupun RRT, yang pada gilirannya sebenarnya dikorbankan untuk kepentingan elemen-elemen tertentu Barat.
Sebaliknya RRT juga dituntut oleh realitas untuk dapat menerima dan berdialog dengan Dalai Lama, atau menunggu sampai Dalai Lama meninggal dunia dan digantikan oleh yang baru, dengan resiko bahwa pemimpin baru Tibet dapat lebih moderat atau mungkin juga lebih radikal dari Dalai Lama yang sekarang.
Kelihatannya elemen-elemen Barat sepertinya sedang mencari pemimpin alternatif lainnya yang lebih radikal untuk menggantikan Dalai Lama, dengan dalih bahwa Dalai Lama sudah tidak didukung oleh orang-orang muda Tibet yang lebih radikal (But his “Middle Way” policy – espousing non-violence and autonomy – has left him facing increasing criticism from younger, more radical exiled Tibetans).
Dan untuk ini Barat dan badan intelijennya seharusnya tidak kekurangan pengalaman dan dukungan medianya untuk mencari pemimpin alternatif yang lebih pro kepentingan Barat dalam usahanya menjadikan RRT seperti Rusia atau Serbia.
Golden Horde , 31757
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
http://www.spiked-online.com/index.php?/site/article/4880/
http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/335758/1/.html