(Disampaikan dalam Seminar Memperingati Tragedi Mei 1998 yang diselenggarakan ICAA di Los Angeles, 13 Mei 2006 dan ICA Net di San Francisco, 14 Mei 2006)
Oleh : Benny G. Setiono , Diposkan oleh Danarhadi ke Mailinglis Budaya-Tionghoa no 37313
Budaya-Tionghoa.Net| Tanpa terasa tahun ini kita memperingati Tragedi Mei 1998 yang ke delapan kalinya. Namun sampai saat ini seperti kasus- kasus lainnya seperti Peristiwa G30S, Malari, Tanjung Priok, Talangsari, Marsinah, Udin, Trisakti, Semanggi, Kalimantan Barat, Ambon, Poso, Munir, dsb.nya tragedi ini masih diselimuti awan misterius. Memang ada beberapa kasus yang telah dibawa ke Pengadilan namun ternyata yang disidangkan hanya oknum-oknum yang dikorbankan tanpa mengungkap siapa yang menjadi otak atau dalang yang sesungguhnya.
Tindakan anarkis dan kekerasan kali ini merupakan puncak dariberbagai kekerasan anti Tionghoa yang terjadi di Indonesia sejakzaman penjajahan Belanda sampai di masa Republik.Ribuan toko dan rumah tinggal milik orang-orang Tionghoa habis dijarah dan dibakar. Demikian juga ribuan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat hangus dan menjadi bangkai karena dibakar gerombolan anarkis. Demikian juga sejumlah shopping mall dan pertokoan antara lain GlodokPlaza, Supermarket Hero dan supermarket Tops, Yogya Department store,Supermall Karawaci dan City hotel berikut pusat pertokoan Glodok.
Yang paling tragis adalah terjadinya perkosaan massal terhadappuluhan kalau tidak ratusan perempuan Tionghoa yang dilakukan secarabrutal.Akibat aksi kekerasan ini ribuan warga Tionghoa yang merasa trauma dan ketakutan dengan berbagai jalan berusaha menyelamatkandiri dengan meninggalkan seluruh harta bendanya untuk mengungsi ke berbagai tempat yang dianggapnya aman antara lain ke Bali, Menado, Kalimantan Barat, Singapore, Malaysia, Hongkong, Australia, Eropa bahkan ke Amerika Serikat. Penyelamatan diri inilah yang dihembus-
hembuskan oleh sebagian orang sebagai “eksodus” dan tindakan anasional.
Padahal tindakan menyelamatkan diri adalah hak palinghakiki dari setiap machluk yang diciptakan Tuhan.Sementara itu ratusan rakyat kecil yang terdiri dari anak-anak,remaja dan ibu-ibu rumah tangga yang berhasil diprovokasi, menyerbuberbagai mall, antara lain Yogya Department Store di Klender danSuper Mall Karawaci. Mereka kemudian disuruh menjarah apa saja yangditemukan.Namun apa yang terjadi? Pintu pertokoan tersebut kemudiandikunci dari luar dan dibakar oleh para provokator. Diperkirakanlebih dari seribu orang yang tewas akibat dibakar hidup-hidup tersebut.
Jumlah seluruh kerugian diperkirakan paling sedikit Rp.2,5 triliunatau $US 238 juta. Tigabelas pasar, 2.479 ruko, 40 mall dengan 1.604 toko, 45 bengkel, 387 kantor, 9 SPBU, 8 bus dan kendaraan umum lainnya, 1.119 mobil, 821 sepeda motor dan 1.026 rumah tinggal habisdirusak, dijarah dan dibakar selama berlangsung aksi anarkis tersebut. [1][1]
Yang sangat disesalkan adalah sikap pihak keamanan yaitu Kapolda Metro Jaya Mayjen Hamami Nata dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsuddin yang tidak berbuat suatu apapun untuk mencegah dan mengatasi aksi-aksi anarkis tersebut. Demikian juga Jenderal Wiranto sebagai Panglima ABRI hanya bersikap wait and see.
Peristiwa ini sangat memprihatinkan dan memalukan serta merusak citra seluruh bangsa Indonesia di dunia Internasional. Dengan adanya kemajuan teknologi di bidang komunikasi, seluruh kejadian dengan kasat mata dapat disaksikan secara langsung oleh jutaan pemirsa TV di seluruh dunia. Terjadi protes-protes dan demonstrasi di muka Kedutaan atau Perwakilan Republik Indonesia di berbagai negara, antara lain di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Australia, Hongkong, Taipei, dan Beijing. Untuk meredamnya Presiden B.J. Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) di bawah pimpinan Marzuki Darusman, SH dari Komnas HAM.
Namun seperti kasus-kasus sebelumnya, hasil kerjaTGPF ini yang berupa rekomendasi dan telah diserahkan kepada Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tidak pernah ditindak lanjuti dan
hilang begitu saja bagaikan debu ditiup angin.Pada 6 Maret 2003, Komnas HAM telah membentuk tim Ad Hoc Penyelidikan Perisitiwa Kerusuhan Mei 1998 di bawah pimpinan Salahuddin Wahid,juga dari Komnas HAM yang telah menyelesaikan tugasnya dengan menyerahkan seluruh hasil penyelidikannya yaitu berupa rekomendasi dan Berita Acara (BAP) yang bersifat pro justicia kepada pihak
penyidik yaitu Kejaksaan Agung. Rekomendasi Komnas HAM mengajukan nama Jenderal Wiranto dan Mayjen Sjafrie Sjamsyudin yang layakdicurigai untuk dimintai pertanggung-jawabannya. Namum hingga saatini tidak ada kabar beritanya apakah hasil penyelidikan tersebut akanditindak lanjuti sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM atau mungkin akan dipetieskan saja. Apa sebenarnya yang menyebabkan timbulnya berbagai aksi kekerasan terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia? Untuk menjawabnya baiklah kita buka lembaran sejarah kita.
***
Hubungan Tionghoa dengan pribumi di masa sebelum kemerdekaan Sebelum kedatangan orang-orang kulit putih ke Nusantara, pendatang-pendatang dari Tiongkok hidup damai dengan penduduk setempat. Mereka hidup membaur dengan saling membawa budaya masing-masing. Orang Tionghoa hidup dengan berdagang, bertani dan menjadi tukang. Mereka tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan dari Kaisar membawa perempuan keluar dari daratan Tiongkok, disamping berbahayanya pelayaran di masa itu.[2][2] Mereka menikah dengan
perempuan pribumi setempat atau membeli budak untuk dijadikan gundik, sehingga lahirlah keturunan campuran yang biasa disebut peranakan atau babah.
Setelah Belanda (VOC ) dibawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen (1587- 1629) menguasai Jayakarta atau Sunda Kelapa yang lalu dirubah namanya menjadi Batavia, ia segera membangun koloninya tersebut dengan bantuan orang-orang Tionghoa dibawah pimpinan Souw Beng Kong yang dibujuk dan diberi janji-janji untuk pindah dari Banten. Coen segera menjalankan politik monopoli di segala bidang perdagangan dan melakukan blokade atas pelabuhan Banten. Sejak itu jung-jung dari Tiongkok dilarang merapat ke pelabuhan Banten. Sebaliknya Coen berusaha mendatangkan sebanyak mungkin tenaga dari daratan Tiongkok untuk dijadikan kuli, tukang dan pedagang eceran demi memajukan koloni dan perdagangannya. Pelaut Belanda tidak segan-segan merompaki jung-jung Tionghoa secara terang-terangan dan menahan awak kapalnya untuk kemudian dipaksa bekerja di Batavia. Pada masa itulah terjadi gelombang kedatangan orang Tionghoa secara besar-besaran ke tanah Jawa yang pada umumnya berasal dari provinsi Hokkian di bagian tenggara Tiongkok, Jumlah orang Tionghoa naik dengan pesat, dari 3.101 orang pada 1682 menjadi 10.574 orang pada 1739.[3][3]
Namun migrasi perempuan Tiongkok ke Asia Tenggara baru dimulai pertengahan abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Migrasi perempuan Tiongkok dimungkinkan bertalian dengan adanya fasilitas penggunaan kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang-orang Tionghoa, baik laki-laki maupun perempuan meningkat dengan pesat.[4] [4] Pada permulaan abad ke-19 jumlah penduduk Tionghoa di Batavia saja hampir 100.000 orang, padahal seluruh penduduk pulau Jawa diperkirakan hanya 5 juta orang.[5][5] Akibat dibukanya kembali perdagangan Tiongkok dengan Asia Tenggara oleh Kaisar dari Dinasti Ch’ing dan berhasilnya pasukan Ch’ing mengamankan Selat Taiwan serta dimulainya liberalisasi di bidang ekonomi oleh pemerintah Hindia Belanda dengan diizinkannya pihak swasta membuka perkebunan dan pertambangan, telah mendorong mengalirnya para imigran dengan deras dari daratan Tiongkok, terutama dari provinsi Fujian/Hokkian dan Guangdong/Kwangtung.
Dengan terjunnya pihak swasta di sektor perkebunan dan pertambangan dan semakin stabilnya keamanan, jumlah penduduk di Jawa meningkat dengan pesat. Demikian juga dengan imigran-imigran dari negara lain seperti dari Arab, India (Keling), Jepang dan terutama orang-orang Tionghoa dari bagian selatan Tiongkok membanjiri Hindia Belanda yang menjadi tanah harapan mereka. Jumlah kedatangan jung-jung dari Tiongkok meningkat pesat. Dari tiga atau empat buah menjadi lebih dari dua puluh buah dalam setahun. Belum lagi para imigran gelap yang
diturunkan di kepulauan Seribu, di Teluk Jakarta atau di berbagai tempat di pesisir utara Pulau Jawa.[6][6]
Menurut laporan Kolonial Verslag 1895, pada akhir 1893 di seluruh Hindia Belanda ada 443.945 orang Tionghoa, 290.448 orang di antaranya laki-laki. Di pulau Jawa saja terdapat 248.484 orang Tionghoa dan 235.222 orang di antaranya laki-laki.[7][7]
Selanjutnya berdasarkan hasil sensus pada 1930 seperti dinyatakan dalam Volkstelling 1930, deel VII, Chineezen an andere Vreemde Oosterlingen in Nederlandsch Indie terbitan Departement van
Economische zaken, Batavia 1935, hal.88, data orang Tionghoa di Hindia Belanda adalah sebagai berikut:
- Hokkian 309.253 [Lelaki] 245.728 [Perempuan]
- Hakka 124.905 [Lelaki] 75.831[Perempuan]
- Teo Chew 63.423[Lelaki] 24.389 [Perempuan]
- Kongfu 97.740 [Lelaki] 38.390 [Perempuan]
- Lain-lain 123.941[Lelaki] 64.468 [Perempuan] [8][8]
Orang-orang Tionghoa ini hidup menyebar ke seluruh pulau Jawa, baik ke daerah pedalaman maupun di sepanjang pesisir utara. Tujuan utama mereka hanya mencari kehidupan baru dengan memasuki semua bidang perdagangan dan hidup damai dengan penduduk setempat. Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn (1653-1711) dalam masa jabatannya,1704-1709, mengungkapkan dalam uraian dan gambaran tentang wilayah Timur Laut pantai utara pulau Jawa (1700-1703), bahwa sejak 1683 jumlah orang Tionghoa yang terdapat di daerah tersebut tumbuh dengan pesat. Begitu mereka diizinkan untuk bermukim di wilayah kekuasaan kerajaan Mataram, mereka langsung membuktikan diri mereka sebagai orang-orang yang dapat bekerja keras. Bahkan di dalam pandangannnya, orang-orang Jawa yang baik hati telah menjadi lebih pandai dan rajin, sebagai akibat kontak-kontak yang sering mereka
lakukan dengan para pendatang baru itu.
Di sepanjang pesisir utara, tidak terdapat sebuah sungai, pelabuhan, teluk ataupun anak sungai yang masih dapat dipergunakan untuk pelayaran, di mana tidak terdapat sebuah pos bea cukai (gerbang tol) yang penjaganya pasti seorang Tionghoa. Sunan Amangkurat II, yang memerintah dari 1677-1703 menikmati penghasilan kira-kira 50.000 ronde realen- uang real yang bulat-bulat-dari pajak-pajak seperti itu.
Disamping itu mereka pun diberi hak untuk membuka rumah judi, pelacuran dan kelak tempat menghisap candu oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena perbuatan segelintir orang Tionghoa yang telah melakukan kolusi dengan para Sultan dan Pangeran Jawa dan penguasa Belanda inilah, mulai timbul rasa kurang senang orang-orang Jawa kepada orang Tionghoa dan menjadi benih sentimen-sentimen dan aksi- aksi kekerasan di kemudian hari..
Orang-orang Tionghoa tetap bermukim di perantauan sampai beberapa keturunan tanpa pernah kembali ke negeri asalnya. Mereka membaurkan diri baik dalam soal bahasa, makanan, pakaian maupun agama. Mereka masuk menjadi Islam dan menolak memakan daging babi dan memungut seluruh ada-istiadat penduduk asli. Banyak dari mereka yang memeluk agama Islam sebagai akibat peristiwa Pembantaian 1740 dan juga untuk menghindari pajak kepala yang khusus dikenakan kepada orang-orang Tionghoa.
Karena jumlah orang Tionghoa yang memeluk Islam semakin banyak, maka VOC memisahkan mereka dari masyarakat Tionghoa yang bukan muslim dan menyerahkan pengurusan dan pengawasan mereka kepada seorang kapiten Tionghoa yang diangkat dari kalangan mereka sendiri. Tetapi jabatan mayor atau kapiten dalam masyarakat muslim Tionghoa di Batavia dihapuskan pada 1827,[9][9] setelah mereka menjadi sulit dibedakan lagi dari penduduk asli yang beragama Islam. Sejak itu istilah “peranakan” hanya digunakan bagi orang Tionghoa yang lahir di Jawa.[10][10]
Banyak dari para imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia pada abad ke –17 terutama orang-orang Hokkian sebagai pelarian, menghindari serbuan bangsa Manchu. Mereka datang ke Indonesia dengan tetap mempergunakan gaya rambut seperti pada zaman dinasti Ming. Namun pada masa-masa kemudian, para imigran Tionghoa yang datang dari Tiongkok ntelah menggunakan gaya rambut pada zaman dinasti Ch’ing, yaitu dengan mencukur bersih rambut di kepala, kecuali sisa di bagian belakang kepala yang dibiarkan tumbuh panjang dan dikepang (tauchang). Hal ini
dikarenakan gaya rambut tersebut memang wajib digunakan di seluruh daratan Tiongkok, ketika dinasti Ch’ing telah berhasil menegakkan pengendalian sepenuhnya terhadap orang-orang Han.
Timbulnya istilah “Cina kunciran” yang berkonotasi penghinaan, khusus merujuk kepada orang-orang Tionghoa pendatang baru. Hal ini berlawanan dengan golongan peranakan yang telah berasimilasi sampai tingkat tertentu ke dalam masyarakat Jawa asli. Kemudian pejoratif sebutan Cina (berasal dari bahasa Belanda Ch’ina untuk Tiongkok) tersebut berlanjut dan berkembang terhadap seluruh etnis Tionghoa sehingga timbulnya gerakan kebangkitan dan berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan pada 1900 dan Chung Hua Ming Kuo atau Republik Tiongkok pada 1911. Kata Chung Hua dalam dialek Hokkian adalah Tiong Hoa.[11][11] Pada saat berlangsungnya Perang Jawa (Perang Diponegoro) 1825-1830, gaya rambut orang Tionghoa ini kembali menjadi suatu masalah ketika Pangeran Diponegoro memerintahkan semua orang Tionghoa yang ingin bergabung menjadi muslim, harus disunat dan memotong kuncir mereka. [12][12]
Pengaruh kebudayaan Tionghoa. Kebudayaan Tionghoa kemudian membaur dan beradaptasi dengan kebudayaan setempat baik bahasa,kesenian, tarian, pengobatan, cara berpakaian, kuliner dan sebagainya. Terdapat cukup banyak bukti yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti kesenian gambang kromong, cokek, topeng Betawi, Lenong atau di bidang kuliner seperti tahu, kecap, taoge, bakmi, bakso, bihun dan di bidang pakaian seperti kebaya encim, baju koko, oto, angkin dan sebagainya. Malahan naga, binatang legenda Tiongkok juga beradaptasimenjadi naga Jawa, bedanya naga Jawa memakai mahkota.
Demikian juga mesjid-mesjid dan surau-surau di Indonesia pasti digantungi bedug seperti yang terdapat di klenteng-klenteng di Tiongkok. Bedanya bedug di Indonesia dipukul dengan tongkat seperti memukul tambur, sedangkan bedug dan genta di Tiongkok dipukul dengan mendorong sebatang kayu balok yang digantung di muka bedug tersebut. Bedug hanya dijumpai di mesjid-mesjid di Indonesia. Di negara-negara Arab dan Timur Tengah lainnya tak akan kita jumpai bedug-bedug yang digantung di samping mesjid.[13][13]
Arsitektur mesjid-mesjid di Jawa sangat dipengaruhi kebudayaan Tiongkok yang bergaya pagoda dan beratap susun, berbeda dengan arsitektur mesjid-mesjid di Timur Tengah yang beratap dome (bulat) Contohnya mesjid semacam ini sampai saat ini dapat kita jumpai di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa (pantura). Pendatang-pendatang Tionghoa juga mengajarkan cara menanam padi di
sawah yang dibajak dan diairi yang hasilnya lebih maksimal dibandingkan menanam padi di huma yang dipelajari penduduk pribumi dari orang-orang India. Demikian juga mereka mengajarkan penduduk setempat cara berkebun tebu dan cara membuat gula. Mereka juga mengembangkan budi daya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum untuk dijadikan bahan pewarna.
Sejak 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak yang dibuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Dari kacang hijau dan kedelai mereka menghasilkan taoge, tauco dan kecap. Mereka juga mengajarkan pembuatan bata dan genting sebagai pengganti batu dan rumbia untuk membangun rumah. Demikian juga mereka mengajarkan menjahit baju dan menyamak kulit untuk keperluan busana. Di bidang pengobatan, pengaruh kebudayaan Tionghoa sangat kental. Seperti kita ketahui, jamu yang sangat terkenal, yang menjadi pusaka peninggalan dari kraton-kraton Jawa sangat mirip dengan obat-obatan Tionghoa. Jamu merupakan ramuan yang menggunakan bahan-bahan dari dedaunan, rempah-rempah dan akar-akaran. Cara penyajiannya dengan
merebus daun-daunan obat atau menumbuk dan menggilingnya, identik dengan obat-obatan Tionghoa yang telah berusia ribuan tahun.
Pengobatan dengan jamu-jamuan ini hanya berasal dari Jawa dan Madura, tidak berasal dari kepulauan lain di Nusantara. Belum lagi permainan pencak silat, permainan judi dan kebiasaan membakar petasan atau mercon pada masa bulan Ramadhan dan menyambut Idul Fitri atau pada upacara-upacara perkawinan atau khitanan dan sebagainya, yang dilakukan umat Islam di pedesaan di pulau Jawa, jelas merupakan tradisi yang dipengaruhi tradisi Tionghoa yang membawa kebiasaan ini dari daratan Tiongkok, tempat asal petasan tersebut. Masih banyak lagi contoh-contoh pengaruh budaya Tionghoa dalam kehidupan kita sehari-hari yang tentunya tidak dapat kita tuliskan satu-persatu di makalah ini. Demikianlah sekilas keadaan masyarakat Tionghoa di masa sebelum kedatangan orang-orang kulit putih dan di masa penjajahan Belanda baik di bawah VOC maupun di bawah pemerintahan Hindia-Belanda.
Pembantaian 1740, aksi kekerasan anti Tionghoa di masa VOC Ketika orang-orang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada 23 Juni 1596 berhasil mendarat di pelabuhan Banten, ternyata orang Portugis telah lama mempunyai kantor dagang di sana. Ketika tiba di Nusantara orang-orang Belanda dan kemudian Inggris menjumpai pemukiman-pemukiman Tionghoa di kebanyakan Bandar di Asia Tenggara seperti di Hoi An, Patani, Banten, Phnom Penh, dan Manila. Pada 1642 di Hoi An terdapat 45.000 orang Tionghoa dan pada 1600 di Banten ada 3.000 orang Tionghoa.[14][14]
Terbukti dalam sejarah bahwa kedatangan Belanda ini mengubah peta poltik di seluruh Nusantara. Salah satu “jasa” Belanda adalah berusaha menyatukan seluruh wilayah Nusantara ke dalam genggamannya, yang pada ujungnya melahirkan gerakan kebangkitan nasional di kemudian hari.
Dengan kedatangan Belanda, hubungan orang-orang Tionghoa yang begitu harmonis dengan penduduk setempat, berangsur-angsur mulai menjadi renggang. Belanda memandang hubungan harmonis antara etnis Tionghoa dan penduduk setempat sebagai “duri” dan suatu bahaya bagi niat mereka menguasai Nusantara.
Belanda kemudian mulai menjalankan politik devide et impera atau pecah belah dan mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang bertujuan memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Antara lain dengan “mengekslusifkan” tempat tinggal mereka melalui “wijkenstelsel dan “passenstelsel”. Demikian juga cara berpakaian orang-orang Tionghoa diatur oleh pihak penguasa kolonial. Ketika itu orang Tionghoa dilarang memakai pakaian model Eropa (Barat) atau memakai pakaian Jawa atau pribumi lainnya. Bagi yang melanggar diancam hukuman denda atau kurungan penjara. Kebijaksanaan memisahkan kelompok-kelompok ini menguatkan sikap acuh tak acuh di antara kelompok-kelompok, dan bagi Belanda lebih mudah untuk mengendalikan orang Tionghoa dari pakaiannya, tempat pemukimannya dan tanda-tanda yang mudah dikenali yang ada pada mereka. Sampai akhir abad ke-19 orang Tionghoa di Hindia Belanda dilarang memakai pakaian model Eropa, yaitu jas dan celana pantalon.
Pasal 128 Regeeringreglement 1854 memerintahkan para gubernur jenderal mengatur sekolah untuk anak-anak negeri, namun tidak termasuk anak-anak Tionghoa, sehingga mereka tidak dapat diterima baik di Europeesche School maupun Inlandsche School. Jadi bagi anak- anak Tionghoa tidak disediakan sekolah sama sekali. Sebaliknya segelintir orang-orang Tionghoa dijadikan alat pemerintah Hindia-Belanda untuk memeras rakyat dengan menjadikan mereka pachter pajak, pachter judi, pachter madat dan pachter gadai. Semua ini semakin menguatkan kesan buruk, kebencian dan sentimen anti Tionghoa sebagian orang Jawa terhadap orang Tionghoa.
Pada 1854, pemerintah Hindia-Belanda melakukan politik segregasi dengan membagi-bagi penduduk menjadi tiga kelompok. Yang pertama kelompok orang Eropa termasuk ke dalamnya orang-orang Indo Eropa. Yang kedua kedua kelompok Vreemde Ooosterlingen atau Orang Timur Asing yang terdiri dari orang Tionghoa, Arab dan orang Asia lainnya. Yang ketiga kelompok inlander atau pribumi. Peraturan ini dimuat dalam Staatsblad No. 2, Jo.1 Pasal 131. Jo.61 Wet op de staats inrichting van NederlandschIndie atau Indische Staats regeling (IS) tahun 1855.
Ketiga kelompok ini tunduk kepada sejumlah buku undang-undang yang berbeda dan diadili di pengadilan yang berbeda-beda pula. Tetapi khusus untuk masalah perdagangan, sejak awal VOC, bagi orang Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang Belanda, sepanjang hukum itu masih dapat diterapkan. Selain dari masalah perdagangan terutama dalam masalah kriminal, status orang Tionghoa disamakan dengan golongan inlander dan perkaranya diadili di landraad atau politieroll. Dengan diberlakukannya undang-undang ini lengkap sudah politik pecah belah dan adu domba pemerintah Hindia-Belanda terhadap penduduk Nusantara terutama di Pulau Jawa.
Aksi kekerasan pertama terhadap orang-orang Tionghoa di Nusantara adalah Peristiwa Pembunuhan Orang-orang Tionghoa (Chinezenmoord) 1740. Dalam aksi kekerasan yang berlangsung selama dua minggu tersebut, hampir 10.000 orang Tionghoa tewas, dibunuh secara kejam oleh tentara Belanda dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya, para kelasi kapal, para gelandangan, orang-orang Sepoy (India), para tukang dan budak. Pembunuhan yang terjadi di masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier ini bertujuan mengeliminasi orang-orang Tionghoa yang jumlahnya dianggap telah membahayakan posisi orang-orang Belanda. Demikian juga orang-orang Tionghoa ini dianggap telah mendominasi perdagangan dan perkebunan serta pabrik gula yang banyak berdiri di seputar Batavia.
Pada 1740 terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa di dalam tembok kota Batavia, sedangkan seluruh jumlah orang Tionghoa termasuk yang berada di luar tembok kota diperkirakan berjumlah tidak kurang dari 15.000 orang. Jumlah tersebut merupakan 17% dari seluruh jumlah penduduk di daerah tersebut. Ada kemungkinan jumlah orang Tionghoa sebenarnya jauh lebih besar, karena berdasarkan sensus yang diadakan pada 1778, sebesar 26% dari jumlah penduduk yang berada di luar tembok kota adalah orang-orang Tionghoa. Sedangkan pada masa pemerintahan Inggris (1811-1816) jumlah orang Tionghoa merupakan 24% dari seluruh jumlah penduduk yang berdiam di dalam dan di luar tembok kota.
Namun suatu hal yang jelas sangat berbeda dengan apa yang terjadi dengan Peristiwa Mei 1998 adalah tindakan pihak VOC yang dengan segera mengambil tindakan dengan memecat dan kemudian menangkap Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier di Capetown, Afrika Selatan dalam perjalanannya pulang ke Belanda. Ia kemudian dibawa kembali ke Batavia dan dimasukkan ke penjara Robijn di benteng Batavia. Pemeriksaan Valckenier berlangsung berbelit-belit dan berkepanjangan sampai hampir sepuluh tahun lamanya. Akhirnya ia meninggal dunia pada 1751 dan pemeriksaan terhadap dirinya dihentikan.
Massacre yang dipimpin VOC di Batavia terhadap orang-orang Tionghoa ini, merupakan lembaran hitam yang mencoreng muka pemerintah Belanda dan merupakan kejadian pertama dalam sejarah orang Tionghoa di perantauan. Namun ternyata pada 1762, pembunuhan terhadap orang Tionghoa perantauan terjadi kembali. Sekali ini, penguasa Spanyol di Manila membantai ribuan orang “sangley”. Perlu diketahui sampai pertengahan abad ke-19, orang-orang Spanyol menyebut orang Tionghoa dengan sebutan sangley bukan “Cina”, yang diduga berasal dari dari kata “sengli” yang dalam bahasa Hokkian berarti dagang. Mungkin karena kebanyakan perantau Tionghoa pada masa itu adalah pedagang- pedagang yang berasal dari provinsi Hokkian, untuk gampangnya orang- orang Spanyol menyebut orang –orang Tionghoa sangley.[15][15]
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita bahwa pada 17 April 2006, aksi kekerasan meletup di Honiara, ibukota Kepulauan Salomon, sehari setelah anggota parlemen memilih Snyder Rini sebagai perdana menteri. Akibat kerusuhan tersebut sekitar 150 keluarga Tionghoa kehilangan rumah dan tempat usahanya karena dijarah dan dirusak/dibakar massa. Pemerintah RRT segera mengirim pesawat charter China Southern Airline dari Guangzhou untuk mengangkut 300 warganya kembali ke Tiongkok. Sebaliknya pemerintah Taiwan tidak berbuat apa-apa untuk membantu
warga Tionghoa setempat yang menjadi korban aksi kekerasan tersebut, padahal Taiwanlah yang mendapat pengakuan diplomatic dari kepulauan Salomon. Aksi kekerasan tersebut terjadi karena warga setempat menuduh warga asal Tiongkok dan Taiwan menyuap anggota parlemen untuk mempengaruhi hasil pemilihan perdana menteri, namun warga Tiongkok maupun Taiwan menolak tuduhan tersebut.[16][16]
Setelah peristiwa pembunuhan di Batavia sekelompok orang Tionghoa yang sakit hati dan dendam di bawah pimpinan Que Panjang atau Sie Panjang (Oei Panko) menuju Jawa Tengah dan bersekutu dengan sejumlah Pangeran Jawa untuk melakukan perlawanan terhadap VOC.
Aksi kekerasan anti Tionghoa semasa Perang Jawa Pada 23 September 1825 yang merupakan masa awal Perang Jawa, sebuah pasukan berkuda di bawah pimpinan Raden Ayu Yudakusuma, puteri Sultan Hamengku Buwono I menyerbu Ngawi sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur yang terletak di tepi Bengawan Solo. Tanpa memperdulikan jerit dan tangisan perempuan dan anak-anak yang sangat memilukan, seluruh anggota masyarakat Tionghoa yang terdapat di Ngawi, habis dibantai. Tubuh-tubuh yang telah terpotong-potong dibiarkan bergelimpangan di muka pintu, di jalanan dan di rumah-rumah yang penuh lumuran darah.
Pembantaian di Ngawi tersebut ternyata bukan satu-satunya kejadian pada masa permulaan Perang Jawa. Di seluruh Jawa Tengah dan di sepanjang Bengawan Solo, pembantaian orang-orang Tionghoa terjadi berulang-ulang.
Apa yang menyebabkan pembantaian orang-orang Jawa Tengah terhadap orang-orang Tionghoa? Padahal mereka sebelumnya hidup damai dan rukun serta saling membantu dengan penduduk Jawa tempat mereka tinggal? Pemimpin pasukan yang melakukan pembantaian di Ngawi, Raden Ayu Yudakusuma, istri Bupati Wieasari yang sering sakit-sakitan, sebelumnya mempunyai hubungan yang baik dengan orang-orang Tionghoa Jawa Timur yang sering meminjaminya uang. Demikian juga banyak orang-orang peranakan Tionghoa, ikut berjuang bersama-sama pasukan Pangeran Diponegoro, terutama dalam menyediakan kebutuhan mereka akan uang perak, senjata, candu dan lain-lainnya. Malahan banyak orang Tionghoa yang ikut bertempur bahu-membahu melawan Belanda.
Hubungan orang-orang Tionghoa dengan penduduk setempat di Jawa yang telah berjalan selama ratusan tahun, ternyata mengalami banyak perkembangan.Migrasi orang-orang Tionghoa yang mengalir dengan deras setelah Belanda membuka pintu demi kepentingan ekonomi kolonial yang sedang dibangunnya, memasuki segala bidang kehidupan di Jawa. Peranan orang-orang Tionghoa muslim yang semakin besar di sejumlah kesultanan Islam yang ikut dibentuknya, yang kemudian berkembang menjadi kerajaan Mataram, menimbulkan dampak semakin tergantungnya para raja dan pejabat lainnya kepada mereka. Terutama dalam pekerjaan memungut pajak untuk menjalankan roda pemerintahan dan memenuhi kebutuhan pribadinya.
Orang-orang Tionghoa juga telah memberikan sumbangan yang besar dalam pengembangan ketrampilan dan teknologi militer. Pada 1636 ketika Pangeran Pekik dari Surabaya menaklukkan Giri, banyak laporan yang dibuat orang-orang Jawa bahwa raja pendeta dari Giri mendapat bantuan dari 200 orang Tionghoa penembak cepat yang dipimpin oleh seorang
anak angkatnya, Tionghoa muslim bernama Endrasena. Orang-orang Tionghoa di Gresik yang telah berabad-abad bermukim di sana membangun pusat persenjataan dan memproduksi meriam kuningan berukuran besar dan panjang, kaliber 18 pon. Demikian juga senjata- senjata api dan mesiu.
Ketika terjadi pemberontakan Pangeran Trunajaya dari Madura, ia dibantu oleh seorang komandan bangsa Tionghoa yang ahli senjata api. Pada masa itu para sultan, pangeran dan pejabat kesultanan banyak yang mengambil perempuan peranakan Tionghoa yang cantik-cantik dan berkulit putih bersih untuk dijadikan selirnya. Karena para sultan selalu kekurangan uang, maka mereka lalu meminjamnya dari para rentenir Tionghoa yang dengan senang hati akan selalu membantunya. Demikian juga tanah-tanah milik kesultanan banyak yang mereka sewakan kepada orang-orang Tionghoa yang dengan rajin akan mengolah sebaik-baiknya.
Orang-orang Tionghoa juga dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai, pasar dan lain-lainnya. Orang-orang Tionghoa ini berlomba-lomba melakukan penawaran untuk mendapatkan konsesi pemungutan pajak. Oleh karena semakin banyak yang ingin terjun di bidang yang dianggap basah ini, sudah tentu semakin mahal pula yang harus dibayarkan kepada para sultan tersebut. Malahan karena semakin ketatnya persaingan di antara mereka, kadang-kadang mereka harus membayar sampai dua atau tiga kali lebih besar dari yang seharusnya mereka bayar.
Akibatnya para Bandar ini mencari jalan untuk memungut pajak yang sebesar-besarnya dengan cara yang lebih kejam kepada penduduk, terutama para pedagang Tionghoa sendiri yang kadang-kadang harus membayar sampai tiga kali lebih banyak dari yang harus dibayar orang Jawa. Sementara itu para Bandar pajak ini mendapatkan perlindungan hukum dari para Sultan atau pemerintah Hindia-Belanda, sehingga kedudukan mereka baru dapat diganti setelah ada persetujuan dari pihak kompeni.
Demikian juga pemerintah Hindia-Belanda maupun Inggris yang melihat begitu efektifnya orang-orang Tionghoa dalam membantu para sultan Jawa dalam memungut pajak, melakukan hal yang sama di daerah-daerah yang telah dikuasainya. Malahan mereka juga menunjuk segelintir orang Tionghoa menjadi pachter candu dengan mengijinkan mereka membuka berbagai tempat pengisapan candu yang impornya dimonopoli mereka. Rumah-rumah judi yang pengelolaannya dilakukan oleh orang-orang Tionghoa, juga menjadi sumber penghasilan yang besar, bukan saja bagi pemerintah, tetapi juga bagi kantung para pejabat setempat. Demikian juga dengan rumah pelacuran (bordil) yang menyediakan perempuan-perempuan segar dan cantik untuk para pangeran dan pejabat kompeni Belanda.
Hal ini tentu saja banyak menimbulkan ekses negatif yang berpotensi besar timbulnya konflik di antara penduduk Jawa dengan orang-orang Tionghoa, para bandar pemungut pajak tersebut. Menjelang Perang Jawa terjadilah penjarahan dan pembakaran gerbang-gerbang tol tempat pemungutan pajak di berbagai tempat, yang dilakukan para bandit setempat, bahkan banyak petugas gerbang tersebut yang dibunuh. Sebagai akibatnya para penjaga gerbang tol itu mengorganisasi diri dengan membentuk pasukan pengawal yang terdiri dari orang-orang Jawa, untuk menjaga keselamatan mereka yang mengakibatkan makin meningkatnya sentimen politik terhadap orang Tionghoa.
Dari sinilah mulai tumbuh “rasa benci” orang-orang Jawa,terutama orang-orang Jawa Tengah di pedalaman kepada orang-orang Tionghoa yang dianggapnya sebagai pemeras dan pembawa sial dan kesengsaraan. Padahal mereka hanya menjadi alat dari kekuasaan yang ada. Baik dari para sultan Jawa maupun dari pemerintah Belanda maupun Inggris. Banyaknya orang Tionghoa yang masuk Islam selain karena alasan praktis,menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat dan mendekatkan diri dengan kultur Jawa, sebenarnya lebih banyak disebabkan pertimbangan ekonomi, yaitu untuk menghindari “pajak konde” dan pajak kepala yang dikenakan pemerintah Belanda kepada orang-orang Tionghoa.
Dengan masuk Islam mereka terbebas dari pajak-pajak yang dirasa sangat memberatkannya. Pada awal Perang Jawa, orang Tionghoa banyak yang ingin bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro, maka sang Pangeran mengeluarkan instruksi agar mereka masuk Islam terlebih dahulu dengan disunat dan memotong kuncirnya. Pembantaian terhadap orang Tionghoa pada awal Perang Jawa telah menimbulkan kekecewaan dan prasangka yang mendalam pada diri orang- orang Tionghoa terhadap orang Jawa. Sikap takut dan curiga orang- orang Tionghoa ini dibalas dengan sikap yang sama oleh orang-orang Jawa. Pangeran Diponegoro juga bersikap sama dengan melarang para komandannya melakukan hubungan yang akrab dengan orang-orang Tionghoa. Ia juga melarang mereka mengambil gadis-gadis peranakan Tionghoa menjadi gundiknya, karena ia berpendapat bahwa hubungan dengan gadis-gadis Tionghoa hanya akan membawa sial dan malapetaka.
Sikap Diponegoro ini disebabkan oleh pengalamannya sendiri ketika menghadapi kekalahan pertempuran di Gowok, di luar Surakarta pada 15 Oktober 1826. Sesuai dengan apa yang ditulisnya sendiri di dalam Babad Dipanegara, ia telah terjebak dan “dihancurkan” oleh kecantikan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di daerah Panjang dan kemudian dijadikan tukang pijitnya. Demikian juga ia menyalahkan kekalahan iparnya Sasradilaga, dalam pertempuran di pesisir utara, di daerah Lasem karena melanggar perintahnya dengan menggauli seorang perempuan Tionghoa di Lasem.[17][17]
Kenyataan bahwa komandan-komandan pasukannya banyak yang menggauli gadis-gadis Tionghoa sebagai hiburan dan penggunaan candu secara bebas di antara prajuritnya, telah menimbulkan anggapan Pangeran Diponegoro bahwa kalahnya dia dalam pertempuran dengan Belanda disebabkan orang-orang Tionghoa yang membawa sial dan malapetaka. Pandangannya yang keliru dan bersifat rasis inilah yang seolah-olah menjadi “mitos” bahwa orang-orang Tionghoa hanya membawa sial, yang sampai sekarang masih dihembus-hembuskan oleh kalangan tertentu, dengan maksud memojokkan etnis Tionghoa di Indonesia.[18][18]
Aksi kekerasan anti Tionghoa di masa pemerintahan Hindia-Belanda Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai Tirto Adhi Soerjo pada awalnya sebenarnya bukan bertujuan untuk melawan pedagang Tionghoa yang dianggap pesaing utama para pedagang Islam.[19][19] SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) dan berkembang dengan pesat sehingga anggotanya mencapai setengah juta orang. Dalam perkembangannya SI menjadi organisasi yang paling militan pada masa itu dalam berjuang melawan penjajah Belanda. Untuk mengalihkan konflik, pemerintah kolonial Belanda melakukan politik adu domba dan berusaha membenturkan kepentingan pedagang- pedagang Islam yang dipelopori para pedagang Arab dengan pedagang Tionghoa yang menjadi saingan utamanya. Persaingan antara pedagang batik dan rokok kretek Arab dengan pedagang-pedagang Tionghoa sengaja dihembus-hembuskan pemerintah kolonial Belanda dengan para penasehatnya dari Biro Umum Bumiputera. Terjadilah sejumlah bentrokan kecil antara kedua kelompok pedagang tersebut yang mencapai puncaknya pada Kamis malam 31 Oktober 1918 di kota Kudus yang terkenal dengan Peristiwa Peroesoehan di Koedoes.
Pada malam itu semua rumah dan toko milik orang Tionghoa di kotaKudus habis dijarah dan dibakar oleh ribuan massa Sarekat Islam yang datang dari Mayong, Jepara, Pati, Demak dan daerah sekitarnya. Korban meninggal dunia ada 16 orang yang terdiri dari orang-orang Tionghoa dan para perusuh. Korban yang luka-luka mencapai ratusan orang yaitu kaum perusuh yang diserang polisi. Ada 3 mayat orang Tionghoa yang bertumpuk di kamar mandi, ada mayat yang sudah menjadi arang dan tertimbun puing-puing rumah yang habis terbakar. Ada mayat gadis yang masuk kedalam bak mandi namun karena rumahnya terbakar matang terebus. Ada 40 rumah/toko yang habis dijarah dan dibakar dan sebuah klenteng dirusak. Selain itu sejumlah pabrik rokok dan batik habis dijarah dan dirusak.
Perisitiwa kerusuhan ini diawali dengan perkelahian antara sejumlah pemuda Tionghoa yang sedang melakukan prosesi arak-arakan gotong Toapekong dengan sejumlah pemuda SI. Prosesi ini di selenggarakan sebagai upaya menangkal wabah penyakit influenza yang menyerang kota Kudus dan telah meminta korban jiwa Karena wabah penyakit ini dikuatirkan akan meminta lebih banyak korban, masyarakat Tionghoa di Kudus yang masih percaya akan kebiasaan yang berbau tahayul lalu mengadakan upacara gotong Toapekong untuk menghentikan wabah tersebut. Namun ada sekelompok haji yang menjadi pengusaha pabrik rokok kretek yang selama ini merasa dirugikan, karena kalah bersaing dengan para
pengusaha Tionghoa. Mereka menggunakan kesempatan ini menghasut para pengurus dan anggota SI setempat dengan melakukan sejumlah provokasi.
Ketika berlangsung prosesi, kelompok tersebut lalu mengganggu dan mengejek para peserta upacara itu. Ternyata para pemuda Tionghoa tersebut terpancing dan terjadi perkelahian yang kemudian berhasil dilerai. Namun pada keesokan malamnya terjadilah kerusuhan tersebut. Yang paling disesalkan masyarakat Tionghoa Kudus, pihak keamananBelanda tidak segera menghentikan kerusuhan itu dan setelah jatuh banyak korban baru meminta bantuan polisi dari Semarang. Ratusan perusuh yang ditangkap, namun hanya 69 orang saja yang diajukan ke pengadilan. Pada 25 Pebruari 1919 dibacakan vonis hakimyang menjatuhkan hukuman terberat 15 tahun dan teringan 9 bulan, beberapa orang dinyatakan bebas karena terbukti tidak bersalah. Peristiwa kerusuhan di Kudus yang merupakan puncak dari berbagai kerusuhan kecil yang dimulai di Surabaya dan Solo pada 1912, adalah awal dari rangkaian kerusuhan rasial anti Tionghoa yang berlangsung selama abad ke-20.
Peristiwa kerusuhan Kudus membuktikan keberhasilan pemerintah kolonial Belanda dalam mengadu domba etnis Tionghoa dengan golongan pribumi. Pembauran dan integrasi orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Jawa yang selama ratusan tahun berjalan dengan harmonis berhasil dirusak Belanda dengan menjalankan politik segregasi di segala bidang, baik politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaan. Namun terlepas dari semuanya, pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya menegakkan “law and order” masih mau menyeret para pelaku dan dalangnya ke pengadilan. Masa sebelum Perang Dunia II biasa disebut zaman “normal” karena pemerintah Hindia-Belanda dianggap berhasil menegakkan hukum dan menjaga kemanan sehingga penduduk merasa aman dari berbagai tindakan kejahatan (kriminal).
Namun situasi ini berubah sepenuhnya pada saat tentara Jepang mendarat di Jawa. Tentara Belanda yang mengundurkan diri dari kota- kota besar mendobrak dan menjarah toko-toko P&D yang ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Perbuatan ini telah mendorong rakyat yang hidup serba kekurangan untuk meniru tindakan para anggota militer
Belanda tersebut. Maka terjadilah berbagai aksi perampokan dan penjarahan toko-toko dan rumah-rumah orang Tionghoa yang ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Kerugian paling banyak dialami orang- orang Tionghoa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ratusan pabrik milik orang Tionghoa dihancurkan pasukan Belanda yang sedang mengundurkan diri. Dari 130 pabrik gula yang berada di pulau Jawa pada 1940, hanya 32 yang selamat dari perusakan.
Untuk mengantisipasi serangan pasukan Jepang, beberapa bulansebelumnya, perusahaan-perusahaan Belanda telah memindahkanpersediaan barangnya ke kota-kota kecil di pedalaman. Hal ini juga dilakukan pengusaha-pengusaha Tionghoa di Batavia. Di Jawa Barat kota- kota kecil seperti Cibadak, Sindanglaya, dan Bogor telah menjadipilihan para pengusaha Tionghoa. Evakuasi mencapai puncaknya ketikapemerintah Hindia-Belanda memerintahkan agar para pengusaha Tionghoa menyingkir dari kota-kota besar.
Ternyata kebijaksanaan ini keliru, karena ketika pasukan Jepang mendarat di Jawa dan Sumatera, suasana menjadi chaos dan terjadi penggedoran dan penjarahan terhadap semua pabrik dan gudang milik Belanda dan Tionghoa oleh orang-orang Indonesia. Aksi penjarahan tersebut hanya berlangsung beberapa hari karena berhasil diredampasukan Jepang yang bertindak tegas terhadap para penjarah tersebutdan hukuman mati dijatuhkan kepada mereka yang terlibat dalamkerusuhan bersenjata.
Kerugian yang diderita para pengusaha Tionghoa diperkirakan berjumlah 100 juta gulden. Tjung See Gan seorang importir dan grosir tekstil terbesar yang memindahkan stok barangnya ke Cibadak menderita kerugian 370.000 gulden. Demikian juga dengan Hioe Nyan Yoeng,pengusaha tekstil terkemuka lainnya menderita kerugian 280.000 gulden. Tan Hoan Kie, pemilik toko De Zon, department store terbesar yang memindahkan stok barangnya ke Sukabumi, mengalami nasib yang sama dengan kedua orang tersebut. Daerah Pintu Kecil, pusat perdagangan pengusaha Tionghoa dan grosir tekstil menderita kerugian terbesar, diperkirakan jumlah kerugian mencapai dua juta gulden. Demikian juga di daerah Jembatan Lima, sembilan dari sepuluh toko dijarah habis. Daerah Tanjung Priok juga mengalami nasib yang sama. Di daerah pedalaman, beras dijarah habis dari gudang-gudang penggilingan beras. Di daerah Krawang, 70-80% pengusaha Tionghoa menjadi korban penjarahan.[20][20]
Aksi kekerasan anti Tionghoa di masa Perang Kemerdekaan Pada 1 Maret 1945, Saiko Syikikan (Panglima Tertinggi Tentara Jepang ke-16 untuk Jawa dan Sematera) Letjen Kumakichi Harada mengumumkan pembentukan Dokoritu Zunbi Tyoosa Kai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang susunananggotanya diumumkan pada 29 April 1945 dibawah pimpinan Dr. KRTRadjiman Wedioningrat. Ternyata terdapat empat orang Tionghoa yangdiangkat menjadi menjadi anggota yaitu: Liem Koen Hian, Oei TjongHauw, Oei Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Mereka ini termasuk parafounding fathers yang merancang konsitusi atau UUD 1945 sebagaipersiapan dalam menghadapi proklamasi kemerdekaan.Kemudian pada 7Agustus 1945 di Jakarta diumumkan terbentuknya Dokuritu Zunbi Inkaiatau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpinIr.Soekarno sebagai ketua dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Ketua.Drs. Yap Tjwan Bing dipilih menjadi anggota mewakili etnis Tionghoa.
Di dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan dan Ir.Soekarno diangkat menjadi Presiden pertama RI dan Drs. Moh. Hattasebagai wakil Presiden. Tentara Kerajaan Belanda kemudian berusaha kembali ke Indonesia dengan mendompleng tentara sekutu dan mendirikan pemerintahan NICA(Netherlandsch Indies Civil Administration) dibawah pimpinan Letnan
Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook. Setelah melalui berbagai perundingan yang menghasilkan berbagai perjanjian yang merugikanRepublik antara lain Perjanjian Linggajati dan Perjanjian Renville,
pada 20 Juli 1947 tengah malam, Belanda melancarkan agresi militer atau “aksi polisionil” yang pertama. Dimulailah periode revolusibersenjata melawan Belanda dalam mempertahankan Republik dan mengusirpenjajah Belanda untuk selama-lamanya dari bumi Indonesia. Pasukan-pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk mendudukiJawa Barat dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan ujung timurJawa. Demikian juga daerah sekitar Semarang diamankan.
Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, tambang-tambang dan kilang minyak serta tambang batu bara di sekitar Palembang dan Padang diduduki. DI Jakarta pasukan Belanda menduduki kantor-kantor Republik Indonesia dan menangkap anggota-anggota delegasi yang sedang berunding dengan Belanda. Pasukan Republik dalam keadaan bingung dan panik akibat aksi
polisionil Belanda yang tiba-tiba segera bergerak mundur ke pedalaman dan melakukan taktik bumi hangus serta menghancurkan segala apa yang dapat dihancurkan. Namun dalam keadaan kacau dan tidak terkendali terjadi ekses terhadap orang-orang Tionghoa.
Di berbagai tempat di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur terjadi perampokan, penjarahan dan pembakaran rumah-rumah, toko, bengkel, perusahaan, pabrik, dan berbagai harta benda milik orang Tionghoa. Malahan di beberapa tempat terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa yang tak berdosa dengan tuduhan menjadi agen atau mata-mata NICA. Di Medan terjadi gelombang pembunuhan, perampokan dan penjarahan yang dilakukan para gangster dan kriminal yang bekerja sama dengan oknum- oknum organsasi pemuda, malahan dengan oknum TKR. Aksi kekerasan anti Tionghoa di Jawa Barat terjadi pada 3 Juni 1946 jauh sebelum aksi polisionil yang pertama. Terjadi pembunuhan besar- besaran terhadap orang-orang Tionghoa yang berdiam di daerah sebelah barat sungai Tangerang (Cisedane).Ratusan orang Tionghoa yang tidak berdosa dibantai dengan kejam, mayatnya ditumpuk dan hartanya dijarah lalu rumahnya dibakar. The New York Times edisi 6 Juni 1946 melaporkan 600 orang Tionghoa yang dituduh bekerja sama dengan Belanda dibunuh dan desanya dibakar. Pembunuhan massal tersebut belum berhenti sampai pada 8 Juni.[21][21]
Pada 3 Juni 1946, di desa Panggang (Cilongok), Lim Tjiaw Hie yang telah berusia 71 tahun, Lim Tjoen Nio seorang gadis berusia 20 tahun dan Lim Tiang Tjeng seorang anak berusia 3 tahun dibakar hidup-hidup.Menurut laporan, sejak tanggal 1 sampai 5 Juni terjadi 28 kasus pembakaran di sekitar Tangerang dimana orang-orang Tionghoa dibakar hidup-hidup. Dengan cepat aksi pembunuhan di Tangerang menyebar ke berbagai tempat. Antara lain kawasan Mauk, Serpong dan Krawang. Di daerah Mauk malah laki-laki Tionghoa diminta membuka celananya untuk kemudian disunat secara paksa. Demikian juga perempuan Tionghoa banyak yang diperkosa secara brutal.[22][22]
Dalam keadaan stress, orang-orang Tionghoa mengamati dan mencatat dengan cermat seluruh kejadian yang menakutkan, termasuk perempuandan anak-anak yang dibakar hidup-hidup.
Menurut laporan yang diterima Palang Merah Jang Seng Ie Jakarta, 653orang Tionghoa telah dibunuh di daerah Tangerang dan sekitarnya, termasuk 136 perempuan dan 36 anak-anak. 1.268 rumah dibakar habisdan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan ada 25.000 orang pengungsi di Jakarta yang datang dari daerah tersebut. Sebagian ada yang ditampung di gedung perkumpulan Sin Ming Hui, di Molenvliet West (Jl. Gajah Mada No.188).
Peristiwa keji tersebut menimbulkan kegeraman di kalangan banyak orang. Masyarakat Tionghoa lalu mengumumkan 11 Juni 1946 sebagai hari Duka Cita.Pada hari itu seluruh orang Tionghoa menyatakan ikut berkabung dengan menutup semua toko dan perusahaan miliknya dansepanjang hari hanya berdiam di rumah.[23][23] Di Bagan Siapi-api lain lagi. Di kota yang terletak di pantai timur Sumatera yang penduduknya hampir seluruhnya nelayan Tionghoa, pada September 1946 diserang orang-orang Indonesia. Sebelum penyerangan tersebut, para nelayan sering diganggu para perompak yang mendapat bantuan anggota Angkatan Laut Republik. Pada 18 September 1946, sekitar 4.000 orang anggota pasukan Angkatan Laut Republik, dibantu 450 orang tentara menyerbu pemukiman Tionghoa di Bagan Siapi-api. Polisi juga dengan cepat mengambil bagian dalam serangan tersebut. Menghadapi serangan yang tiba-tiba, 200 orang Tionghoa meninggal dunia, namun mereka yang selamat melakukan perlawanan dengan menggunakan senjata seadanya.
Karena serangan tersebut gagal, mereka berusaha mengisolasi kota Bagan Siapi-api sehingga sekitar 14.000 penduduk Tionghoa menghadapi bahaya kelaparan. Tetapi banyak juga yang berhasil melarikan diri dan menurut Departemen Sosial Inggris, tidak kurang dari 2.000 orang menjadi pengungsi di Malaka. Menghadapi perlawanan tersebut, pihak penyerbu terpaksa mengundurkan diri ke pedalaman sambil melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa yang ditemuinya. Di Bangko 20 orang Tionghoa dibunuh, di Mentaga 40 orang, Di Telok Poelau 34 orang, di Djembra 75 orang. Selanjutnya pada Januari 1947, di Palembang 250 orang Tionghoa yang tidak berdosa dibunuh dan kerugian yang diderita diperkirakan 20 juta gulden.[24][24]
Selanjutnya untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai para korban selama terjadi penjarahan, perampokan, perkosaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa sebagai ekses aksi polisionil pada Juli 1947 bisa dilihat laporan yang dikeluarkan Chung Hua Tsung Hui Batavia pada 15 September 1947 untuk Liga Bangsa- Bangsa, yaitu Memorandum, Outlining Acts And Inhumanity PerpetratedBy Indonesian Bands, On Innocent Chinese Before And After The Dutch Police Action Was Enforced On July, 21, 1947.
Dalam Memorandum tersebut dengan jelas dan rinci dilaporkan jumlah korban sebagai akibat penjarahan, pembakaran, pembunuhan dan perkosaan terhadap penduduk Tionghoa di daerah-daerah dan kota sebagai berikut:
1. Krawang dan Cikampek. 2. Sukabumi dan Cibadak. 3. Ceracas dan Cilimus. 4. Jatitujuh. 5. Majalengka. 6. Cikijing, Talaga dan sekitarnya. 7. Maja. 8. Rajagaluh. 9. Prapatan. 10. Indramayu. 11.
Kuningan. 12. Ciawigebang dan daerah sekitarnya. 13. Kadipaten, Jatiwangi, Jamblang dan Arjawinangun. 14. Jalaksana. 15. Pekalongan. 16. Tegal. 17. Purwokerto. 18. Sukateja. 19. Wangon. 20. Purbalingga. 21. Bobotsari. 22. Cilacap. 23. Gombong. 24. Karanganyar. 25. Salatiga. 26. Lumajang. 27. Jember. 28. Ambulu, Keselir Kulon, Tanjong Rejo dan Wuluhan. 29. Manglis dan Panti. 30. Kencong, Dembulsari, Gumukmas, dan Puger. 31. Jangawah, Kemuning, Gajasan, Mengaran dan Jatiroto. 32. Mjang, Simpalan, Tempuran, dan Mumbusari.33. Kalisat, Ledokombo, Sukowono, Sumberjambe. 34. Rambipuji,Nogosari, Rawatamtu, Picoro, Gugut, Kaliwining, Curamalang, dan Rambogudono. 35. Tanggul, Bangsalsarie, Petung, dan Sekar. 36. Wirolegi dan Aryoso. 37. Malang. 38. Kutobeda dan Buring. 39.Singosari. 40. Lawang.
Pembakaran,penjarahan,pemerkosaan dan pembunuhan terus berlangsung di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera hingga akhir 1949. Kejadian yang hebat terjadi di kawasan Jawa Timur, terutama sejak para tahanan penjara Kalisosok, Surabaya dilepaskan dan dipersenjatai serta direkrut ke dalam sejumlah satuan pasukan. Mereka ini dipersilahkan melakukan apa saja asal membantu pengosongan kota guna mendukung politik bumi hangus yang dipilih pihak Republik. Beberapa daerah di mana mayoritas Tionghoa jadi korban aksi penjarahan dan pembunuhan ini antara lain adalah daerah Kertosono, Nganjuk, Caruban, Madiun, Blitar, Tulungagung, Kediri, Wlingi dan Malang.
Kebanyakan pembunuhan dilakukan dengan cara menggiring semua orang Tionghoa keluar kota dengan mengatakan bahwa kota harus dikosongkan. Orang Tionghoa yang mengungsi biasa membawa semua anggota keluarga berikut harta bendanya. Begitu sampai di luar kota, rombongan dipisahkan antara laki-laki dengan perempuan dan anak-anak. Laki-laki dewasa dibagi dalam kelompok-kelompok lalu digiring ke hutan-hutan dan pegunungan. Mereka lalu diminta membuat lubang yang kemudian ditumpuki kayu. Keesokan harinya orang-orang Tionghoa tersebut
diminta berkumpul di dalam lubang tersebut untuk kemudian ditembaki. Harta mereka yang kebanyakan emas dan permata yang dijahit diujungbaju diambili. Semua yang diperoleh lalu dikumpulkan dan dibagi di antara para pembunuh. Mayat-mayat yang berserakan kemudian ditimbun dengan tanah.[25][25]
Demikianlah rangkaian penjarahan,pembakaran,penganiayaan,perkosaan dan pembunuhan yang dialami orang-orang Tionghoa sebagai ekses revolusi kemerdekaan tahun 1946-1949. Memang revolusi memerlukan pengorbanan, tetapi apa yang diderita etnis Tionghoa bukanlah pengorbanan tetapi kekonyolan yang sia-sia. Kalau kita perhatikan dengan seksama, tampak dengan jelas bahwa Belanda melakukan politikadu domba dengan mengorbankan orang-orang Tionghoa. Karena dalam setiap gerakan pasukan Belanda, apabila akan memasuki suatu daerah atau kota, sebelum tiba di sasaran mereka akan menghentikan gerakannya dan beristirahat terlebih dahulu, memberikan kesempatan kepada laskar-laskar dan gerombolan-gerombolan liar untuk menjarah dan membakar toko-toko dan rumah-rumah orang-orang Tionghoa, bahkan menyiksa dan membunuhnya.
Malahan di Sukabumi pasukan Belanda melakukan pemberitahuan terlebih dahulu dengan menyebarkan pamflet. Tindakan penjarahan dan pembakaran ini bukan saja usaha Belanda untuk mengadu domba pribumi Indonesia dengan orang Tionghoa, tetapi lebih dari itu merupakan suatu grand strategi Belanda untuk menghancurkan reputasi Republik Indonesia di mata Internasional. Dengan segera Belanda menyiarkan seluruh kejadianyang menimpa orang Tionghoa dengan tujuan memojokkan Republik yang dianggap barbar dan belum layak untuk merdeka. Sungguh sangat disayangkan para pemimpin Republik kurang waspada dan secara naïf memakan umpan yang disodorkan Belanda sehingga terjadi tindakan yang sangat merugikan reputasi Indonesia di mata dunia dan menyebabkan etnis Tionghoa harus menanggung semua penderitaannya.
Sebenarnya sebelum kedatangan pasukan Belanda, orang Tionghoa yang berdiam di daerah Republik tidak mengalami gangguan, walaupun penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mataberlangsung dari waktu ke waktu. Baru ketika menghadapi kedatangan pasukan Belanda, penjarahan dan pembakaran dilakukan oleh pasukanIndonesia. Hal ini sebagai ekses taktik bumi hangus yang dijalankanoleh TRI yang dipelopori Divisi Siliwangi. Seharusnya hanya bangunan- bangunan vital saja yang harus dihancurkan, namun dalam
pelaksanaannya terjadi banyak ekses dan penyelewengan yang dilakukanoknum-oknum TRI yang diikuti laskar-laskar liar yang sukardikendalikan. Justeru bangunan-bangunan pabrik, toko dan rumah milikorang Tionghoa yang tidak berdosa yang menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran.
Aksi kekerasan anti Tionghoa di masa Demokrasi Parlementer (1950- 1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada 17 Agustus 1950, saat memperingati hari ulang tahun Proklamasi
Kemerdekaan, Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung 23 Agustus-2 Nopember di Den Haag dibubarkan dan dideklarasikan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang selesai disusun pada 24 Juli. UUDS ini berlaku sampai dilaksanakannnya pemilihan umum yang akan menyusun UUD baru. UUDS 1950 disusun oleh Panitia Bersama yang terdiri dari 14 orang dan dibentuk oleh Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan Pimpinan DPR-RIS. Salah seorang anggotanya adalah Siauw GiokTjhan. Ternyata UUDS ini berhasil mengakomodasi seluruh jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang sangat esensial. Antara lainPancasila dimasukkan kembali ke dalam Mukadimah UUDS tersebut. Pasal 33 UUD-1945 yang dihapus oleh UUD-RIS, dihidupkan kembali dalam Pasal 38 UUDS. Hak-hak asasi manusia yang dalam UUD-1945 tidak dinyatakansecara jelas, dalam UUDS dicantumkan dengan mengambil oper seluruhUniversal Declaration of Human Rights PBB yang telah disahkan olehSidang Umum PBB pada 10 Desember 1948. Bentuk negara adalah negarakesatuan menggantikan negara federal UUD-RIS. Juga dinyatakan dalamUUDS bahwa sistim pemerintahan (kabinet) adalah parlementer yangtidak bertanggung jawab kepada presiden melainkan kepada parlemen.Sehingga sebenarnya kekuasaan tidak berada di tangan PresidenSoekarno.
Suatu hal yang sangat penting adalah dihapusnya Pasal 6 ayat 1 UUD-45 (pasal yang sangat rasialis) yang menyatakan presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli. Ketentuan ini tidak disinggung sedikit pun dalam UUDS. Syukur dalam amandemen UUD-1945 ke-3 yang dilakukan MPR pada 21 Nopember 2001, pasal ini juga telah dirubah menjadi presiden dan wakil presiden adalah orang Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Selama berlakunya UUDS-1950 sampai dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD-1945 oleh Presiden Soekarno, nyaris tidak terjadi aksi kekerasan anti Tionghoa yang berarti. Yang terjadi adalah aksi-aksi kekacauan yang dilakukan gerombolan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat–Jawa Tengah, Kahar Muzakkar di SulawesiSelatan dan Daud Beureu’eh di Aceh. Disamping itu juga terjadi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di bawah pimpinan Dr.Soumoukil. Kartosuwiryo akhirnya berhasil tertangkap dalam sebuahoperasi militer di hutan di Jawa Barat dan pada sidang MahkamahAngkatan Darat Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura (Mahadper) pada16 Agustus 1962 dijatuhi hukuman mati. Demikian juga dengan Dr.Soumoukil yang berhasi ditangkap dan kemudian dijatuhi hukuman matioleh Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sementara KaharMuzakkar tertembak mati dalam sebuah operasi militer di hutanSulawesi Selatan.
Kekacauan lain adalah pemberontakan PRRI/PERMESTA yang dimulai pada15 Pebruari 1958 dengan diprokamirkannya Pemerintah RevolusionerRepublik Indonesia (PRRI) oleh Kolonel Ahmad Husein. Sebelumnya pada2 Maret 1957 Saleh Sahade membacakan piagam Perjuangan Semesta Alam(PERMESTA). Pada 17 Pebruari 1958 PERMESTA menggabungkan diri denganPRRI. Pemberontakan tersebut hanya bertahan beberapa bulan. Padapertengahan 1958 praktis pemberontakan tersebut berhasil dipatahkanwalaupun seluruh kekuatan para pemberontak baru berhasil dihancurkanpada 1961.
Karena keterlibatan Taiwan dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA, pada Agustus 1958, kegiatan Kuomintang dilarang di seluruh Indonesia. Seluruh pimpinannya ditangkap atau melarikan diri ke luar negeri. Semua sekolah Kuomintang di seluruh Indonesia ditutup dan gedungnya dijadikan sekolah negeri. Demikian juga seluruh perusahaan milik orang-orang Kuomintang diambil alih militer. Presiden Soekarno secara de fakto baru benar-benar memegang kekuasaan sejak 5 Juli 1959 dengan membentuk kabinet gotong royong dan menerapkan doktrin Demokrasi Terpimpin.
Tanpa terduga sebelumnya, Presiden Soekarno pada November 1959 dengan tiba-tiba menandatangani Peraturan Pemerintah N0.10 atau yang lebih terkenal dengan sebutan PP-10.Peraturan ini berisi larangan bagiorang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luaribukota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang berlaku sejak 1 Januari 1960.
Sudah tentu peraturan yang rasialis ini sangat mengejutkan dan menggoncangkan sendi-sendi kehidupan orang Tionghoa di Indonesia, karena pada masa itu Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga terjadi kesimpang siuran dalam menentukan yang mana asing dan mana WNI. Para penguasa militer di daerah-daerah dengan seenaknya mengusir bukan saja orang-orang Tionghoa asing tetapi juga orang-orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraantahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia.
Sebenarnya PP-10 ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan Kabinet Djuanda yang dijabat Rachmat Moeljomiseno, seorang tokoh NU yang pernah aktif di KENSI. Peraturan tersebut dikeluarkan pada Mei 1959, berisi larangan bagi orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Ketika peraturan ini diterbitkan, Siauw Giok Tjhan segera menentangnya di DPR. Ia menyatakan bahwa peraturan semacam ini tidak bisa dikeluarkan oleh seorang menteri, melainkan harus merupakan sebuah undang-undang yang disahkan DPR. Siauw Giok Tjhan menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa mempunyai usaha yang legal di daerah- daerah pedalaman yang otomatis mendapatkan perlindungan hukum internasional yang harus dipatuhi pemerintah Indonesia. Ia juga memperingatkan kalau sampai orang-orang Tionghoa tersebut diusir dari tempat kediaman dan usahanya di daerah pedalaman, akan menimbulkan
kemunduran ekonomi Indonesia. Keahlian dan pengalaman yang dimiliki orang-orang Tionghoa yang telah beberapa generasi lamanya akanmerusak dan melumpuhkan jaringan distribusi di daerah pedalaman.
Rupanya peraturan ini sengaja dikeluarkan pada saat Presiden Soekarno sedang berada di luar negeri. Ketika kembali dari lawatannya ke luar negeri dan mengetahui adanya peraturan tersebut, Presiden Soekarno sangat marah kepada Rachmat Moeljomiseno, sehingga dalam kabinet yang dibentuk setelah 5 Juli 1959 ia tidak diikut-sertakan. Apa yang sesungguhnya menjadi alasan sehingga Presiden Soekarno akhirnya menandatangani peraturan tersebut tetap menjadi tanda tanya dan kontroversi. Ada yang berpendapat bahwa Presiden Soekarno
mendapat tekanan dari militer dan partai-partai Islam. Pada umumnya perdagangan eceran di daerah pedalaman didominasi para pedagang Tionghoa yang telah mempunyai pengalaman dan jaringan beberapa generasi. Sudah tentu hal ini sangat merugikan para pedagangIslam yang baru bermunculan. Para pedagang Islam yang pada umumnya berkiblat ke NU dan Masjumi merasa sulit bersaing dengan pedagang Tionghoa. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut mereka merasadiuntungkan.
Orang Tionghoa dianggap semuanya berstatus dwikewarganegaraan atauasing, sehingga oleh pihak militer mereka dipaksa meninggalkan tempat kediamannya. Bukan hanya para pedagang tetapi yang tidak berdagang pun diusir. Tindakan paling buruk dilakukan pihak militer di Jawa Barat dibawah pimpinan Kolonel Kosasih. Berbagai insiden menyedihkan terjadi, seperti di Cimahi pada Juli 1960, seorang perempuan Tionghoa mati tertembak karena ia bersama keluarganya mencoba bertahan dan tidak mau meninggalkan tempat kediamannya.Pelaksanaan PP-10 ini menimbulkan ketegangan hubungan diplomatik RI- RRT. Melalui Duta Besar Huang Chen dan Radio Peking, pemerintah RRTmenyampaikan protes-protesnya dan menyatakan kesediaannya menampungkorban PP-10 dengan mengirimkan beberapa kapalnya dan mengangkut mereka untuk ditempatkan di berbagai tempat di Tiongkok. Pada saatitu timbul keguncangan dan demam repatriasi di kalangan masyarakatTionghoa. Pada awalnya bukan hanya mereka yang menjadi korban PP-10,tetapi banyak juga pemuda dan pelajar Tionghoa yang menyambut dengangembira dan dengan penuhsemangat berbekal keranjang-keranjang rotandan peti-peti besar berisi berbagai macam keperluan, berbondong- bondong berangkat ke tanah harapan. Ada juga orang-orang Tionghoa
yang memilih pindah ke Singapore, Serawak, Eropa, Amerika, Brasil dan negara-negara lainnya untuk mencari kehidupan baru di sana.
Pada masa itu lebih dari 136.000 orang Tionghoa yang meninggalkan Indonesia untuk bermukim kembali di Tiongkok. Tetapi kondisi dan sistim masyarakat di tempat baru serta kebiasaan di tempat lama di Indonesia, ditambah lagi dengan kendala bahasa ternyata menimbulkan banyak kesengsaraan. Merasa tidak betah, akhirnya mereka berusaha ke luar dari daratan Tiongkok untuk dapat bermukim di Hongkong, Macau dan negara lainnya. Berbagai cerita yang penuh penderitaan di daratan Tiongkok menyebabkan menurunnya minat orang-orang Tionghoa untuk kembali ke Tiongkok, sehingga pada akhir 1960-an, gelombang tersebut surut sama sekali. Satu-satunya aksi kekerasan anarkis yang terjadi dimasa Demokrasi Terpimpin adalah peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Jawa Barat.
Peristiwa ini meminta korban harta benda orang Tionghoa yang cukup besar. Peristiwa ini diawali di Cirebon pada akhir Maret 1963. Terjadi perkelahian di Pengadilan Negeri Cirebon antara pemuda-pemuda Tionghoa dengan pemuda-pemuda pribumi. Hal ini terjadi karena Pengadilan menjatuhkan vonis bebas kepada putera Dr. Murad (seorang aktivis PSI) yang menjadi tertuduh dalam kecelakaan lalu lintas di jalan raya Gronggong, di pinggiran Cirebon. Dalam kecelakaan tersebut putera Dr. Murad menabrak seorang pemuda Tionghoa yang kemudian meninggal dunia.
Rupanya vonis hakim yang membebaskan tertuduh tidak memuaskan keluarga korban dan teman-temannya, lalu terjadi terjadi perkelahian di halaman pengadilan antara pemuda-pemuda tersebut dengan sekelompok pemuda pribumi. Pada saat pulang dari pengadilan para pemuda pribumimulai melakukan perusakan terhadap toko-toko milik Tionghoa dengan cara melemparinya dengan batu. Sebuah mobil di muka toko Medan, dijalan Pasuketan dibakar massa menyebabkan terjadi kepanikan dikalangan masyarakat Tionghoa Cirebon. Namun kejadian tersebut dapat segera diatasi dan tidak berlanjut, hanya saja pada 5-6 Mei sempatmenjalar ke Tegal.
Tetapi anehnya baru pada 10 Mei 1963, aksi kerusuhan anti Tionghoa tersebut menjalar ke Bandung. Kerusuhan tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan seorang mahasiswa pribumi karena terjadi senggolan sepeda motor. Kemudian dipelopori mahasiswa ITB dan mahasiswa Universitas Padjadjaran, dimulailah aksi perusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik orang Tionghoa di Bandung.
Kerusuhan dimulai dari daerah Tegallega. Ratusan toko, rumah tinggal dan kendaraan milik Tionghoa menjadi korban perusakan para pemuda anarkis. Malahan kabarnya terdapat korban jiwa dalam aksi kerusuhan itu. Ironis sekali salah seorang yang menjadi korban adalah Drs. Yap Tjwan Bing, mantan anggota PPKI yang turut mengesahkan UUD 1945, anggota DPR-RI fraksi PNI, anggota Dewan Pimpinan Pusat PNI, anggota Dewan Kurator ITB dan anggota Panitia Ujian Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.
Sebuah mobil baru milik Yap Tjwan Bing habis dibakar massa pemuda, demikian juga bungalownya di Lembang di rusak. Kejadian inilah yang menyebabkan Yap Tjwan Bing dan keluarganya meninggalkan Indonesia untuk menetap di Belanda dan kemudian pindah ke Amerika Serikat, karena istrinya menjadi trauma dan kuatir apabila kejadian serupa terulang kembali, rumahnya yang terletak di jalan Cipaganti 32 akan menjadi sasaran. Padahal salah seorang anaknya menderita lumpuh akibat terkena penyakit polio.[26][26]
Dari Bandung aksi kekerasan anti Tionghoa menjalar ke kota-kota sekelilingnya antara lain Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Bogor, danSukabumi. Yang terparah disamping Bandung adalah Cianjur dan Sukabumi. Peristiwa di Tegal telah menimbulkan kerugian materiil sebesar 650juta, sedangkan Peristiwa 10 Mei di Bandung telah mengakibatkan kerugian pada 500 buah toko, ratusan rumah tinggal, 63 mobil habis dibakar dan puluhan kendaraan lainnya dirusak. Di Sukabumi 98 kendaraan bermotor habis dibakar, terdiri dari 52 truk, 20 oplet, 12 sedan, 7 bus, 4 jeep, 1 pick-up dan 2 sepeda
motor. Di samping itu 2 becak dibakar para pengemudinya. Kerusakan lainnya 4 pabrik di bakar (1 pabrik kertas, 1 pabrik tenun, 1 pabrik aci atau tapioka dan I pabrik teh). Selanjutnya 40 toko bersama isinya habis dijarah dan dibakar, 16 rumah tinggal hancur dilemparimassa anarkis.Kerugian lainnya 120 ton aci habis dibakar. Di Cianjur 137 kendaraan bermotor habis dibakar, terdiri dari 28 truk, 57 oplet, 30 sedan, 3 bus, 4 mobil tangki minyak, 4 pick-up dan 11 sepeda motor. Kendaraan lainnya yang menjadi korban, 35 becak dan 167 sepeda hangus dibakar.Jumlah toko yang dirusak 316 sedangkan barang-barang isi toko tersebut habis dibakar. Disamping itu 114rumah dan 2 gedung bioskop dirusak. Sebuah pabrik teh dibakar. Diluar kota Ciamis selain sebuah pabrik soun di Cisaga, 2 pabrik aci dibakar yaitu di kampung Cijambu, Banjar dan di kampung Panumbangan. [27][27]
Peristiwa ini menimbulkan banyak reaksi.PKI dan kelompok kiri lainnya dengan segera mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah peristiwa rasialis kontra revolusioner yang didalangi oleh sisa-sisa Masjumi dan PSI. Demikian juga Baperki mempunyai pandangan yang sama. Sebaliknya LPKB di bawah pimpinan Sindhunata mengeluarkan selebaran berisi pernyataan bahwa peristiwa ini disebabkan oleh prilaku orang Tionghoa yang ekslusif dan suka pamer kemewahan. Sudah tentu para pemimpin Baperki memprotes para pimpinan LPKB yang dianggap secara provokatif mengipasi kemarahan massa.
Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah kunjungan Liu Shao Chi, Presiden RRT yang bertujuan mempererat hubungan kedua negara. Kunjungan ini adalah kunjungan kepala negara RRT yang pertama ke Indonesia. Anggota Baperki dan Partindo dikirim ke Cirebon untuk menolong korban kerusuhan dan menyelidiki sebab-sebab kejadian tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa kerusuhan ini direkayasa oleh para aktivis PSI dan Masjumi. Mereka menggunakan isi pidato Presiden Soekarno sebagai sinyal bahwa orang Tionghoa adalah musuh golongan Islam. Di dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno mengucapkan terima kasih kepada pemerintah RRT yang telah membantu pemerintah Indonesia dalam menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA.[28][28]
Akibat kerusuhan tersebut beberapa aktivis mahasiswa yang kebanyakan anggota GemSos ditahan polisi. Antara lain, Siswono Yudohusodo, Muslimin Nasution, Abdul Qoyum, Deddy Kurnia, dan Suripto yang harus mendekam di penjara selama 2 tahun lamanya.[29][29]
Aksi kekerasan anti Tionghoa di masa Orde Baru
Selaras dengan aksi penumpasan G30S/PKI maka dimulailah kampanye anti “Cina” (Sinophobia) baik yang ditujukan kepada pemerintah RRT yang secara aktif melalui Radio Peking dan kantor berita Hsinhua menyerang rezim militer Soeharto-Nasution, maupun kepada orang-orang Tionghoa di Indonesia. Kampanyei anti Tionghoa ini disponsori oleh kekuatan asing terutama Inggris dan Amerika Serikat. Pada masa itu Perang Vietnam sebagai manifestasi perang dingin antara kubu negara-negara kapitalis Barat dibawah pimpinan Amerika Serikat dan Inggris dengan kubu negara- negara sosialis Eropa Timur dan Asia dibawah pimpinan Uni Soviet dan RRT sedang mencapai puncaknya. Terjadi tarik-menarik kedua kekuatan tersebut hampir di seluruh belahan dunia. Tidak ada satu pun negara di permukaan bumi yang terhindar dari pengaruh perang dingin. Jadi dapat disimpulkan bahwa kampanye dan kerusuhan-kerusuhan anti Tionghoa yang terjadi setelah G30S. ditimbulkan oleh faktor-faktor eksternal dan internal. Pemerintah Amerika dan terutama peemrintah Inggris merencanakan dan mensponsori kampanye dan aski-aksi
antiTionghoa yang seolah-olah mendapatkan “dukungan” dari kegiatan Radio Peking dan kantor berita Hsinhua. Di dalam negeri sendiri agen- agen CIA dan MI-6 mendapatkan dukungan dari LPKB dan perwira-perwira AD dan pimpinan partai politik yang anti Tionghoa dengan memojokkan Baperki serta mengkondisikan terjadinya aksi-aksi anti Tionghoa.
Setelah PKI dibubarkan dan Presiden Soekarno dikurangi kekuasaannya dengan membentuk kabinet baru, ternyata masalah kesulitan ekonomi, terutama masalah inflasi tidak dapat diperbaiki dengan segera. Namun untuk menampung aspirasi dan menjaga mobilitas para mahasiswa, pemuda dan pelajar yang tergabung dalam KAPPI/KAMI/Laskar Ampera ARH, harus dicari “kambing hitam”.
Dalam kalkulasi Soeharto, kekuatan para mahasiswa dan pemuda merupakan kekuatan yang ampuh dan masih dibutuhkan dalam menyelesaikan tahap akhir rencananya, merebut kursi presiden dari Soekarno. Maka hal yang paling mudah adalah dengan menimpakan segala kesalahan ini kepada orang-orang Tionghopa, baik WNI mau pun WNA yang dituduh menjadi pengacau dan parasit ekonomi. Orang-orang Tionghoa dituduh menjadi kolone kelima, tukang timbun dan sama sekali tidak pernah peduli dengan kepentingan rakyat.Orang-orang Tionghoa dituduh mempunyai loyalitas ganda dan selalu berusaha mentrasfer uangnya ke luar negeri.
Pemilihan etnis Tionghoa untuk dijadikan kambing hitam dengan pertimbangan bahwa mereka adalah golongan yang secara politis sangat lemah, tanpa perlindungan dan mudah dipermainkan. Dalam melakukan operasi-operasi penangkapan dan pengejaran terhadap pimpinan, kader dan anggota PKI dan ormas-ormasnya yang dituduh terlibat G30S, pihak militer juga melakukan penangkapan terhadap orang-orang Tionghoa dengan tuduhan yang sama. Puluhan ribu orang Tionghoa di seluruh Indonesia baik yang menjadi pengurus atau anggota PKI, Pemuda Rakyat, CGMI, Baperki, PPI, IPPI, Perhimi, Chung Hua Tsung Hui, Chiao Chung maupun hanya simpatisan saja atau bukan, kalau dituduh berindikasi PKI langsung “diciduk” (ditangkap) pihak militer. Sebenarnya tujuan utamanya adalah untukmemeras uangnya. Namun bagi yang tidak mempunyai uang, banyak juga yang ditahan sampai bertahun-tahun lamanya, malahan ada yang ikut dibuang ke pulau Buru bahkan ribuan orang Tionghoa ikut dibunuh.[30] [30]
Seluruh sekolah-sekolah dan universitas-universitas Baperki ditutup dan disita.Demikian juga seluruh sekolah-sekolah Tionghoa dan gedung- gedung perkumpulan yayasan-yayasan Tionghoa diduduki pihak militer. [31][31] Dalam perkembangannya ternyata banyak di antaranya telah berubah menjadi ruko dan gedung perkantoran.
Disamping itu setelah Peristiwa G30S intensitas kerusuhan anti Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah dan mobil-mobil milik orang Tionghoa terjadi di mana-mana. Kampanye dan berbagai aksi anti Tionghoa, ditambah tindakan represif penguasa militer inilah yang menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan dan menjadi salah satu sebab mengapa orang-orang Tionghoa selama tiga puluh dua tahun mati-matian berusaha menghindari wilayah politik, dan memusatkan seluruh perhatian dan kegiatannya hanya di bidang bisnis.
Aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa terjadi antara lain di Makassar pada 10 Nopember 1965. Pada awalnya terjadi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan pemuda anggota HMI dan Ansor yang ditujukan ke konsulat RRT, tetapi aksi-aksi anarkis kemudian berlanjut ke pertokoan dan pemukiman orang Tionghoa. Massa demonstran mengamuk dan kemudian menjarah, merusak dan membakar berbagai toko, rumah dan mobil milik orang-orang Tionghoa. Menurut nota protes Kedubes RRT, lebih dari 2.000 toko dan rumah milik Tionghoa mengalami kerusakan dan hampir seribu keluarga bangkrut.
Kerusuhan berikutnya terjadi di Medan pada 10 Desember 1965, Konsulat RRT dihujani batu, jendela-jendelanya hancur dan 3 orang stafnya mengalami luka-luka. Di tengah aksi tersebut pihak keamanan melepaskan tembakan ke arah massa demonstran. Hal ini menimbulkan kemarahan massa yang mengira pihak konsulat lah yang melakukan penembakan tersebut. Massa demonstran dipimpin gerombolan Pemuda Pancasila kemudian mengamuk ke seluruh kota Medan. Mereka menjarah toko-toko dan kios-kios milik orang-orang Tionghoa dan melukai atau membunuh siapa saja yang berani melawan. Di jalan-jalan raya orang- orang Tionghoa diseret turun dari becak, mobil dan sepeda motor, kemudian ditikam dengan pisau dan sangkur. Diperkirakan sebanyak 2.000 orang menjadi korban.
Pada 8 Mei 1966, Pangdam Aceh, Brigjen Ishak Djuarsa mengumumkan agar seluruh orang Tionghoa WNA meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Akibatnya lebih dari 15.000 pengungsi Tionghoa WNA menuju kota Medan dan sekitarnya. Mereka tinggal di gudang-gudang tembakau, klenteng dan bekas sekolah-sekolah Tionghoa. Di kota Medan sendiri tembok- tembok penuh coret-coret anti Tionghoa antara lain “Orang-orang Cina pulang ” dan “Sekali Cina Tetap Cina”. Pada Agustus 1966 KAPPI dan KAMI Sumatera Utara menuntut agar sebelum akhir tahun semua warga negara RRT diusir dari Sumatera Utara. Malahan KAPPI Sumatera Utara kemudian mengeluarkan pernyataan agar mengusir seluruh orang Tionghoa dari Indonesia atau KAPPI sendiri yang akan bertindak. Dalam suatu rapat umum mahasiswa pada 15 Oktober 1966, Pangdam Sumatera Utara Brigjen Sobiran Mochtar menyatakan bahwa demonstrasi- demonstrasi anti Tionghoa tidak cukup untuk mematahkan dominasi orang Tionghoa dalam perekonomian setempat. Para mahasiswa harus memelopori menolak membeli atau menjual barang kepada orang Tionghoa dan secara aktif mengawasi toko-toko milik Tionghoa agar orang enggan belanja ke sana.
Selanjutnya pada akhir Oktober dan Nopember 1967 dalam rangka penumpasan Pasukan Gerakan Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan RakyaKalimantan Utara (PARAKU), terjadi aksi kekerasan anti Tionghoa di Kalimantan Barat. Orang-orang Tionghoa yang berdiam di pedalaman Kalimantan Barat atas hasil rekayasa pasukan RPKAD, diburu dan dibunuhi orang Dayak. Ratusan orang Tionghoa menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah dan harta bendanya di daerah pedalaman yang telah ratusan tahun turun-temurun dihuninya, menuju kota-kota pesisir Kalimantan Barat seperti Singkawang dan Pontianak.
Setelah terjadi peristiwa aksi kekerasan anti Tionghoa di Kalimantan Barat, selaras dengan kebijaksanaan pemerintah dalam menghadapi masalah Tionghoa dan bekunya hubungan diplomatik dengan RRT. Kegiatan anti Tionghoa relatif menurun. Namun pada Januari 1968, terjadi suatu insiden di Glodok, Jakarta. Seorang kopral RPKAD yang berusaha “memeras” seorang pedagang Tionghoa terlibat perkelahian dengan beberapa orang pemuda Tionghoa. Dalam perkelahian itu, kopral tersebut bersama temannya seorang anggota garnisun dipukuli sekelompok pemuda Tionghoa yang membela temannya sesama pedagang.
Beberapa hari kemudian, pada 25 Januari, dua peleton anggota RPKAD menyerbu Glodok untuk melakukan pembalasan. Karena tidak dapat menemukan pemuda-pemuda yang terlibat dalam aksi pemukulan kepada teman mereka, maka dengan menggunakan rantai sepeda dan pisau komando, para anggota RPKAD tersebut dengan ngawur menyerang setiap orang Tionghoa yang mereka temui. Empat puluh orang Tionghoa menderita luka-luka dan beberapa toko dirusak ketika terjadi aksi kekerasan anti Tionghoa tersebut.
Pada 21 Oktober 1968, di Surabaya terjadi kerusuhan anti Tionghoa sebagai ekses dari suatu demonstrasi KAPPI untuk memprotes digantungnya dua orang KKO di Singapura. Pada 17 Oktober 1968, kedua orang KKO tersebut menjalani hukum gantung di penjara Changi, karena tertangkap basah ketika melakukan aksi sabotase di Orchard Road – Singapura pada masa konfrontasi dengan Malaysia.
Pemerintah Singapura dibawah pimpinan Perdana Menteri Lee Kuan Yew tidak menghiraukan permintaan Presiden Soeharto yang mengirim Brigjen Tjokropranolo untuk melakukan pendekatan, agar membatalkan hukuman gantung tersebut. Sungguh luar biasa, demonstrasi untuk memprotes hukum gantung dua orang KKO berubah menjadi aksi kekerasan anti Tionghoa. Mobil, sepeda motor dan becak dihentikan kemudian dibalikkan dan dibakar. Demikian juga toko-toko dan rumah-rumah milik orang Tionghoa diserbu dan isinya dijarah. Seluruh perabot rumah tangga dilemparkan ke tengah jalan, kemudian dibakar. Di kawasan Pandaan yang merupakan lintasan jalan Surabaya-Malang, massa melakukan sweeping. Semua mobil yang dikendarai orang Tionghoa dihentikan. Pengemudinya diminta keluar dan dipukuli, kemudian mobilnya dicemplungkan ke sungai. Aksi perusakan berjalan sehari penuh dan jam malam terpaksa diberlakukan. Korban akibat perusakan tersebut diperkirakan 98 mobil, 176 sepeda motor/scooter, 4 bemo dan 660 sepeda dirusak atau dibakar. Demikian juga 444 toko, 9 pabrik dan 71 rumah tinggal beserta isinya dirusak dan dijarah.
Pada Minggu 5 Agustus 1973, masyarakat Tionghoa yang telah merasa tenang dengan meredanya aksi-aksi anti Tionghoa, tiba-tiba dikejutkan dengan terjadinya huru-hara anti Tionghoa di Bandung. Aksi penjarahan dan perusakan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik orang-orang Tionghoa tersebut dipicu oleh sebuah kecelakaan lalu lintas kecil dimana sebuah VW yang sedang lewat di jalan Astana Anyar, di muka bioskop Siliwangi disenggol gerobak yang dikendarai Asep bin Tosim. Tiga orang pemuda Tionghoa turun dari VW tersebut dan terjadi perkelahian yang mengakibatkan Asep terluka ringan dan dibawa ke rumah sakit. Melihat kejadian tersebut beberapa orang menjadi marah dan mengeroyok ketiga pemuda tersebut. Namun ketiganya berhasil menyelamatkan diri, hanya mobilnya hancur dirusak massa.Kemudian beredar isu bahwa Asep ditusuk dan meninggal dunia. Kebetulan hari itu sedang disiapkan demonstrasi para tukang becak untuk menentang diberlakukannya daerah bebas becak di kota Bandung. Massa tukang becak kemudian diprovokasi dan dialihkan melakukan aksi-aksi anarkis anti Tionghoa.
Aksi penjarahan dan perusakan yang dimulai pukul 4 sore baru berakhir pukul 1 dini hari. Sebagai akibat aksi tersebut lebih dari 1.500 toko dan rumah milik etnis Tionghoa, terutama di pusat kota antara lain di Jalan Braga, Asia Afrika, Sudirman, A. Yani, Kopo dan lainnya habis dijarah dan dirusak para perusuh. Demikian juga ratusan kendaraan bermotor habis dibakar atau dirusak. Kerusuhan kembali terjadi pada waktu meletusnya Peristiwa Malari atau Lima Belas Januari 1974. Demonstrasi anti Jepang pada saat kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka berhasil diprovokasi sehingga berubah menjadi aksi penjarahan dan perusakan terhadap toko-toko dan kendaraan milik orang Tionghoa di daerah Glodok dan mencapai puncaknya dengan aksi penjarahan dan pembakaran pertokoan proyek Senen.
Setelah Peristiwa Malari ’74 yang meminta korban cukup banyak etnis Tionghoa yang tidak berdosa, beberapa orang mantan pimpinan LPKB merasa kuatir melihat perkembangan situasi di mana gap antara yang kaya dan miskin di Indonesia semakin dalam dan menjurus ke arah rasialisme. Dengan dukungan Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin pada Agustus 1974 mereka mendirikan Badan Pembinaan Kesatuan Bangsa (BPKB) yang kemudian pada 18 Oktober 1977 berubah menjadi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom-PKB). Badan yang Ketua Umumnya K. Sindhunata dengan dibantu oleh Junus Jahya dan Kwik Kian Gie mendapatkan pengakuan resmi dari Menteri Dalam Negeri yang menjadi pelindungnya pada 31 Desember 1977.
Walaupun telah terbentuk Bakom-PKB,namun karena kebijaksanaan pemerintah Orde Baru terutama di bidang ekonomi yang diterapkan terhadap etnis Tionghoa dan KKN yang semakin subur berkembang, sentimen rasialisme dan benih-benih anti Tionghoa ternyata masih saja hidup di dalam hati sebagian rakyat Indonesia yang mudah diprovokasi menjadi aksi-aksi anarkis. Hal ini terbukti dengan terjadinya peristiwa huru-hara anti Tionghoa di Solo, Boyolali, Salatiga, Semarang yang kemudian menjalar ke Kudus dan beberapa kota kecil lainnya. Malahan aksi-aksi perusakan toko- toko milik orang Tionghoa juga menjalar ke beberapa kota di Jawa Timur antara lain Ngawi, Madiun dan Jombang.
Peristiwa penjarahan, perusakan dan pembakaran toko-toko dan kendaraan milik Tionghoa di Solo yang berlangsung pada 22-23 Nopember 1980, dipicu hanya oleh sebuah perkelahian antara 3 siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) dengan seorang pemuda Tionghoa. Ratusan pelajar dengan mengendarai sepeda motor bercampur-baur dengan menggunakan seragam sekolah secara terbalik sehingga identitasnya tidak bisa dikenali lagi. Mereka menyerang semua toko dan bangunan milik orang Tionghoa dengan cara melemparinya dengan bongkahan batu yang telah dipersiapkannya terlebih dahulu.
Aksi anarkis yang berlangsung beberapa hari lamanya, dimulai dari daerah Coyudan kemudian menjalar ke daerah-daerah lainnya dan ditunggangi para “gali” (gang anak liar) yang menjarah toko-toko tersebut. Dengan cepat kerusuhan menjalar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, Banyubiru, Candi dan Semarang. Di kota-kota ini para perusuh melempari semua rumah dan toko Tionghoa. Beberapa pemuda Tionghoa yang dijumpai diludahi dan dipukuli massa. Aksi penjarahan, perusakan dan pembakaran yang paling parah terjadi di Semarang mulai tanggal 25
Nopember 1980. Kerugian dari aksi kerusuhan ini puluhan milyar, antara lain 15 pabrik besar kecil dirusak atau dibakar. Kerugian
terbesar diderita PT Arta Electronics yang konon berjumlah 1,2 milyar dan PT Standard Battery sebesar 600 juta.
Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi membuktikan bahwa konsep pembangunan yang digembar-gemborkan rezim Orde Baru ternyata membawa kesengsaraan tidak terhingga kepada seluruh rakyat Indonesia. Hanya segelintir penguasa bersama kroninya, sekelompok konglomerat hitam yang menikmati kue pembangunan. Seluruh hasil pembangunan ternyata hanya fatamorgana yang dihasilkan melalui utang dan penjarahan kekayaan alam negara. Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan rezim Orde Baru, negara telah dibuat bangkrut dengan meninggalkan utang yang luar biasa besarnya.[32][32]
Beberapa tahun menjelang terjadinya krisis moneter yang menimpa Indonesia, muncul rasa ketidakpuasan di kalangan masyarakat luas terhadap kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang dianggap hanya menguntungkan keluarga Presiden Soeharto dengan kroninya segelintir konglomerat Tionghoa. Situasi ini dengan mudah digunakan oleh para provokator untuk melakukan aksi-aksi anarkis anti Tionghoa. Pemicu aksi tersebut tidak masuk akal, antara lain insiden seorang pemuda Tionghoa yang tidak waras disuruh menyobek kitab suci Al-Qur’an (Pekalongan) atau seorang perempuan Tionghoa yang merasa terganggu dan marah-marah kepada sekelompok pemuda pemukul bedug untuk membangunkan umat Islam melakukan saur (Rengasdengklok), bahkan
seorang santri yang mengalami penganiayaan oleh anggota kepolisian (Tasikmalaya) menyebabkan terjadinya aksi-aksi anarkis tersebut. Aksi- aksi tersebut kemudian berkembang bukan hanya ditujukan kepada etnis Tionghoa tetapi juga kepada gereja-gereja Kristen dan Katolik. Malahan di beberapa tempat kelenteng-kelenteng dan vihara-vihara Buddha turut dijadikan sasaran perusakan. Aksi-aksi tersebut antara lain terjadi di Purwakarta (31 Oktober – 2 Nopember 1995), Pekalongan (24 Nopember 1995), Situbondo ( 10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26= Desember 1996), Sanggau Ledo (30 Desember 1995-2 Januari 1996), Tanah Abang (28 Januari 1997), Rengasdengklok (27 Januari-31 Januari 1997) dan Banjarmasin (23 Mei 1997).
Pada 27 Juli 1996,kantor DPP PDI di jalan Diponegoro diserbu gerombolan yang mengaku pendukung PDI Kongres Medan dibawah pimpinan Buttu Hutapea cs. Aksi tersebut telah menyebabkan terjadinya kerusuhan yang mengakibatkan puluhan bangunan perkantoran, toko dan kendaraan bermotor sepanjang jalan Salemba dan Kramat Raya habis dirusak atau dibakar massa yang mengamuk. Sudah tentu kembali etnis Tionghoa yang menjadi korban. Setelah terjadinya krisis moneter berbagai kerusuhan dan aksi-aksi rasialis anti Tionghoa masih terjadi antara lain di Makassar (15 September 1997) dan setelah lengsernya Presiden Soeharto di Kebumen (7 September 1998). Puncak aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa seperti telah disampaikan di halaman pertama makalah ini adalah Peristiwa 13-15 Mei 1998.
Satu-satunya aksi anarkis yang meminta korban tokot-roko milik Tionghoa di era reformasi adalah pada saat Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999 (September 1999) memilih K.H. Abdurrachman Wahid menjadi Presiden. Pemilihan presiden baru untuk menggantikan Presiden B.J. Habibie mengalami berbagai rekayasa. Megawati sebagai calon presiden dari partai pemenang Pemilu mengalami hambatan dari partai-partai Islam, terutama dari koalisi Poros Tengah pimpinan Amien Rais dengan alasan gender, agama dan sebagainya. Para pengikut PDIP/ Megawati yang merasa dizalimi mengamuk dan melakukan aksi-aksi anarkis di Bali dan Solo. Ratusan toko milik orang Tionghoa hancur, malahan Pasar Besar Solo yang sangat terkenal dan menjadi salah satu icon kota Solo habis dibakar massa yang menjadi brutal dan sulit dikendalikan.
Masalah Tionghoa adalah bagian dari masalah nasional Setelah dengan jujur mempelajari sejarah , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah Tionghoa adalah bagian dari masalah nasional yang diwarisi oleh penjajah Belanda. Kebijaksanaan politik segregasi penjajah Belanda, mengakibatkan bangsa Indonesia terkotak-kotak. Ingat apa yang dilakukan oleh Van Mook dan KMB yang menghasilkan negara federal ciptaan mereka yang ingin memecah-belah bangsa Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Kebiasaan dan kebijaksanaan raja-raja Jawa yang diteruskan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk memelihara segelintir orang Tionghoa yang dijadikan kroninya untuk memeras rakyat ternyata ditiru dan diterapkan oleh rezim Orde Baru yang juga memelihara segelintir oknum Tionghoa untuk dijadikan kaki-tangannya dalam menumpuk kekayaan. Hal ini dilakukan mulai dari pemegang puncak kekuasaan bersama keluarganya sampai ke tingkat paling bawah, lurah dan Rt/Rw. Sistim upeti yang menjadi tradisi raja-raja Jawa diterapkan, sehingga gaji pegawai negeri tidak pernah dicukupi dan mereka diberi kesempatan
untuk melakukan korupsi asal memberikan upeti kepada atasannya. Berbagai kemudahan, HPH, Perbankan dsb.nya diberikan kepada segelintir konglomerat Tionghoa, malahan sampai detik terakhir kekuasaannya mereka diberikan kesempatan untuk merampok negara dengan mengucurkan ratusan trilyun dana BLBI.
Rangkaian aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa yang dimulai dari zaman VOC/Hindia-Belanda sampai mencapai puncaknya dengan terjadinya tragedi 13-15 Mei 1998 adalah warisan sejarah yang harus diselesaikan bukan saja oleh etnis Tionghoa, tetapi juga oleh seluruh komponen bangsa, termasuk seluruh kekuatan politik yang ada di Indonesia. Baik yang berada di eksekutif, legislatif maupun yudikatif dengan seluruh aparat dan birokrasinya dari pusat sampai ke tingkat Rt/Rw. Kita tidak bisa berilusi bahwa etnis Tionghoa bisa berjuang dan menyelesaikan masalah Tionghoa sendirian tanpa menceburkan diri ke dalam mainstream bangsa dan bersama-sama komponen bangsa lainnya ikut menciptakan masyarakat baru Indonesia seperti yang kita cita-citakan. Untuk menjadi bangsa yang modern dan berperadaban tinggi kita harus membangun negara kita menjadi negara yang demokratis, egaliter, menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia serta bersih dari segala bentuk KKN dan diskriminasi. Seluruh warga negara tanpa memandang asal-usul ras, etnis, agama, kepercayaan, gender, fisik dsb.nya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Untuk itu baik UUD maupun seluruh Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dsb.nya harus bersih dari unsur-unsur diskriminasi.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita harus bersikap? Apakah kita akan menerima saja keadaan yang penuh ketidak-pastian bagi hari depan anak cucu kita atau kita menginginkan perubahan? Jawabannya ada di dalam lubuk hati masing-masing.
———————————————————————-
————————————-
[1][1] Damar Harsono “May Riots Still Burns Into Victim’s Minds” dalam The Jakarta Post, Mei 14,2002.
[2][2] Major William Thorn, The Conquest Of Java, 1815, reprinted 1993 by Periplus Edition (HK) Ltd. Hal.242-244.
[3][3] Adolf Heuken SJ.”Tempat-tempat bersejarah di Jakarta”,Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1997,Hal. 173-174.
[4][4] G.William Skinner, “The Chinese of Java in Colloquium on Overseas Chinese”, dalam Mely G.Tan (ed), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, PT Gramedia, Jakarta 1979, Hal.1.
[5][5] Menurut Scott Merilles, BATAVIA in Nineteenth Century Photographs, Archipelago Press, Singapore 2000, Hal.15, penduduk Batavia dan sekitarnya pada Desember 1866 berjumlah 530.018 orang terdiri dari Eropa 6.253 orang, Pribumi 472.301 orang, Tionghoa 50.583 orang dan lain-lain 881 orang. Sedangkan pada Desember 1895, penduduk Batavia dan sekitarnya berjumlah 1.268.043 orang terdiri dari Eropa 12.429 orang,Pribumi 1.169.678 orang,Tionghoa 82.510 orang dan lainnya 3.426 orang. Angka-angka ini diperoleh dari Regeering Almanak voor Nederlandsch-Indie, Batavia Landdrukkerij 1868 dan 1900.
[6][6] Sejak 1920 sampai 1930 jumlah imigran Tionghoa yang datang ke Hindia Belanda rata-rata lebih dari 40.000 orang setahun. Pada 1921jumlahnya kurang lebih 43.000 orang dan pada 1928, kira-kira 41.000orang.Jumlah rata-rata sejak 1900 sampai 1930 lebih dari 28.000orang. Sedangkan pada 1932 berjumlah 12.000 orang, 1933 berjumlah 9.000 orang, 1934 berjumlah 12.000 orang, 1935 berjumlah 15.000 orang, 1936 berjumlah 19.000 orang, 1937 berjumlah 31.000 orang dan 1938 berjumlah 20.000 orang.Yang datang pada 1938 terdiri antara lain 3.000 orang anak laki-laki berusia di bawah 12 tahun, 8.000 orang berusia di atas 12 tahun, 2000 orang anak perempuan berusia di bawah 12 tahun dan 6.000 orang berusia di atas 12 tahun. Lihat : Victor Purcell, “The Chinese in Southeast Asia”, Second Edition, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1981, Hal.465.
[7][7] Pada 1875 di Jawa terdapat 8.383 orang Arab dan 14.573 orangTimur Asing lainnya bukan Tionghoa.Lihat James R.Rush,”Opium to Java, Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860- 1910″,Cornell University Press, 1990, catatan kaki hal.14.
[8][8] Nio Joe Lan, “Riwajat 40 Taon T.H.H.K.Batavia”, Tiong Hoa HweKoan Batavia, Batavia, 1940,Hal.10.
[9][9] Menurut Dr. De Haan,kapiten Tionghoa peranakan Islam terakhirdi Batavia bernama Muhammad Japar. Ia meninggal pada 1827 dan padatahun berikutnya penguasa Belanda di Batavia telah mengakhiri bentukan masyarakat Islam Tionghoa di Jakarta dengan menyatukannya dalam golongan masyarakat Tionghoa.Lihat Amen Budiman, “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia”. Tanjung Sari, Semarang,1979.Hal.34
[10][10] Onghokham,”Kapitalisme Cina di Hindia-Belanda” dalam Yoshihara Kunio,” Konglomerat Oei Tiong Ham, Kerajaan Bisnis Pertamadi Asia Tenggara”, PT.Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,1991, Hal. 84-85.
[11][11] Benny G.Setiono “Tionghoa Dalam Pusaran Politik “,ELKASA,Jakarta, 2003. Hal. 55-58.
[12][12] Amen Budiman “Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia” Tanjung Sari, Semarang, 1979,Hal.32-35.
[13][13] Menurut Amen Budiman, “Sangat menarik juga untuk dicatat ikhwal penggantungan bedug-bedug besar di serambi mesjid-mesjid di= tanah Jawa, terutama sekali di daerah pesisir utara tanah Jawa, oleh karena bukan mustahil ikhwal ini pun merupakan pengaruh dari arsitektur Tiongkok, di mana kita bisa menjumpai adanya begug-bedug yang tergantung di serambi klenteng.” Lihat Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia,Tanjung Sari, Semarang 1979,Hal. 40. Menurut catatran kaki, ini adalah informasi tertulis dari Ny.Michele Blusse.Lebih lanjut periksa: Welch, Holmes, The Buddhist Revival in China, 1968. Hal.249.
[14][14] Lynn Pan, “The Encyclopedia of the Chinese Overseas”,
Archipelago Press, Landmark Books,Singapore, 1998,Hal.51.
[15][15] Ketika pemerintah Indonesia menginvasi Timor Portugis, pada 7 Desember 1975 pasukan Indonesia berusaha meduduki Dili dengan melakukan penembakan di di jalan-jalan raya secara membabi buta kepada siapa saja yang ditemuinya sambil melakukan penjarahan toko- toko milik orang Tionghoa dan penduduk sipil lainnya. Pasukan Indonesia yang menjarah dan membunuh orang-orang Tionghoa tersebut berdalih bahwa mereka adalah pelarian G30S/PKI dari Indonesia yang menyelamatkan diri dan mengkonsolidasikan diri di daerah jajahan Portugis itu. Pembunuhan tersebut berlanjut sampai satu minggu lamanya. Menurut laporan seorang pastor Katolok, diperkirakan 2.000 orang penduduk Dili tewas akibat pembunuhan yang dilakukan pasukan Indonesia tersebut, 700 orang di antaranya orang Tionghoa. Lihat : Adam Schwarz, “A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990s”, Allen & Unwin Pty.Ltd.,Australia,1994.Hal.204.
[16][16] Harian “Suara Pembaruan”, 24 April 2006.Hal.7 dan
Harian “Kompas”,25 April 2006.Hal.9
[17][17] Dr. Peter Carey, “Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755- 1825 “, Pustaka Azet, Jakarta 1986.
[18][18] Benny G.Setiono Op cit.Hal. 171-177.
[19][19] Pengantar pendirian SDI yang disampaikan Tirto Adhi Soerjo menyatakan antara lain, untuk mendapatkan perubahan kedudukan kaum pedagang kita bangsa Islam di Hindia wajib satu badan yang anggota- anggotanya adalah para saudagar supaya ilmu sarwat bisa dilakukan dengan sepertinya dan supaya lidi yang mudah dipatahkan itu tidak mudah dipatahkan, karena dipersatukan sehingga menjadi teguh. Lidi digabungkan jadi satu menjadi teguh karena tali pengikat, yaitu persarikatan saudagar-saudagar yang mempunyai badan hukum yang diakui dan dilindungi undang-undang negeri. Antara saudagar Islam satu dengan yang lain tentu sudah ada yang membikin kerukunan dalam suatu hal, tetapi kerukunan ini terbikin di bawah tangan,jadi tidak kekal dan mudah bubar. Lihat Pramoedya Ananta Toer, “Sang Pemula”, Hasta Mitra, Jakarta, 1985. Hal.120-121.
[20][20] Twang Peck Yang,”The Chinese Business Elite in Indonesia and the Transition to Independence 1940-1950″, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1998. Hal.70-72.
[21][21] Victor Purcell. “The Chinese in Southeast Asia”, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1981, Second Edition, Hal.474.
[22][22] Aksi penjagalan,pemerkosaan dan pengusiran warga Tionghoa di kawasan Bandung Selatan,Tangerang, Mauk dan sekitarnya yang konon mencapai ribuan korban jiwa ini terjadi sepanjang Mei hingga Juli 1946. Untuk melihat detil pembantaian ini bisa dilihat Star Weekly No 23 Tahon ke 1 Edisi 9 Juni 1946; Star Weekly No 24 Tahon ke 1 Edisi 16 Juni 1946; Star Weekly No 25 Tahon ke 1 Edisi 23 Juni 1946 dan Star Weekly No 26 Tahon ke 1 Edisi 30 Juni 1946.
[23][23] Lihat iklan seruan hari duka cita dalam Star Weekly No.23 Tahon k1, Edisi 9 Juni 1946. Hal.9.
[24][24] Chung Hua Tsung Hui (Federation Of Chinese Associations) in Batavia, MEMORANDUM, Outlining Acts Of Violence And Inhumanity Perpetrated By Indonesia Bands On Innocent Chinese Before And After The Dutch Police Action Was Enforced On July 21,1947, Batavia, 15 September 1947, Hal.6.
[25][25] Kisah ini dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah anak korban yang salah satu di antaranya dengan ilmu silat yang dikuasainya berhasil melompat dan melarikan diri ke hutan. Sumber Dokumen Stanley, Hasil Wawancara Dengan Sejumlah Keluarga dan Korban Pembunuhan Anti Tionghoa di Malang, Blitar dan Nganjuk pada Desember 1986 dan Agustus 1987. Di beberapa daerah dengan mudah bisa ditemukan kuburan massal para korban. Salah satunya adalah sebuah kuburan masaal yang berlokasi di pinggir hutan di Desa Donomulyo, Kecamatan Bagor, sekitar 9,5 Km sebelah barat Nganjuk. Di kuburan massal ini dikuburkan 1.250 orang korban. Proses penggalian dan pencarian jenasah para korban pembunuhan massal yang terjadi
sepanjang 1946-akhir 1949 ini dilakukan oleh berbagai cabang Chung Hua Tsung Hui di sejumlah kota pada 1951.
[26][26] Yap Tjwan Bing,”Meretas Jalan Kemerdekaan,Otobiografi seorang Pejuang Kemerdekaan”, PT Gramedia, Jakarta 1988. Hal.79.
[27][27] Harian “Warta Bhakti”, 26 Mei 1963.
[28][28] Siauw Giok Tjhan,”Lima Jaman,Perwujudan Integrasi Wajar”, Yayasan Teratai, Jakarta, Jakarta-Amsterdam, 1981,Hal.324-325.
[29][29] Budi Setiawanto,Andi Jauhari,Rahmad Nasution dan Unggul Tri Ratomo, “Menguak Tabir Perjuangan Suripto”,Aksara Karunia, Jakarta, 2001,Hal.22.
[30][30] Menurut majalah Life dan Far Eastern Economic Review beratus- ratus ribu orang Tionghoa telah dibunuh.Robert Shaplen menyebut angka kira-kira 20.000 orang mati.Sebaliknya kantor berita Hsinhua menyatakan beratus-ratus orang Tionghoa yang mati selama 6 bulan setelah G30S. Namun menurut Charles Coppel jumlah orang Tionghoa yang terbunuh hampir tidak mungkin melebihi dua ribu orang. Lihat ; Charles Coppel, “Tionghoa Indonesia Dalam Krisis”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1994 Hal.124-125.
[31][31] Seluruh sekolah Tionghoa di Indonesia yang ditutup berjumlah 629 buah dengan jumlah murid 272.782 orang dan jumlah guru 6.478 orang.
[32][32] Dalam suatu pengumuman yang dikeluarkan Menko Bidang Perekonomian pemerintahan Megawati Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dinyatakan bahwa seluruh utang dalam negeri dan luar negeri pemerintah berjumlah lebih dari Rp 1.400 trilyun ataus setara dengan $ US 140 milyar.