Tulisan ini di ilhami oleh emailnya dari hopeng saya sdr. Liang U. Pertanyaan: “Apakah salah apabila saya merasa bangga, karena memiliki leluhur orang Tionghoa? Apakah dengan rasa bangga tersebut, berarti saya telah menghianati tanah tempat lahir saya Indonesia ?” Mang Ucup dilahirkan sebagai orang Tionghoa, karena pada saat saya dilahirkan pada tahun 1942 Negara Indonesia belum diproklamasikan, bahkan saya diakui sebagai wong Londo oleh pemerintah Belanda. Sejak 40 tahun saya memiliki WN Jerman, dan sudah 10 tahun bermukim di Belanda. Mantan istri saya yang pertama orang Jerman tulen sedangkan Wied istri saya yang sekarang orang pribumi asli asal Semarang.
Dari pernikahan saya yang pertama saya mendapatkan tiga orang putera dan delapan cucu. Semua putera saya lahir dan besar di Jerman, bahkan hidup di Jerman, tetapi mereka tidak pernah merasakan sebagai orang Jerman tulen. Tanpa adanya keinginan khusus dari saya, mereka memberikan nama Tionghoa kepada semua cucu saya, rupanya di dalam sanubari putera-putera saya; rasa bangga sebagai orang Tionghoa tetap mengalir terus.
Begitu juga dengan diri saya, walaupun lebih dari 40 tahun hidup di Eropa, saya tidak pernah merasa jadi Wong Londo ataupun Wong Jerman. Kemanapun saya pergi; pertama saya merasa tetap sebagai orang Indonesia. Merekapun memperlakukan saya demikian, saya selalu dicap sebagai orang asing – Auslaender, Allochtoner, Foreigner, tidak pernah bisa diakui sebagai Bule tulen.
Walaupun demikian tidak bisa dipungkiri rasa bangga dilahirkan dari ras Tionghoa tetap ada dan ini tidak mungkin akan bisa dihilangkan. Saya mengakui bahwa saya ini termasuk wong Dunguk bin Guoblok, sehingga walaupun dilahirkan dari suku Tionghoa, tetapi kenyataannya tidak menguasai bahasa Mandarin dan juga tidak mengetahui tentang Budaya Tionghoa. Rasa bangga inilah yang mendorong saya untuk bergabung di milis Budaya Tionghoa, karena ingin mempelajari budaya Tionghoa, bahkan kalau bisa sekalian bahasa Mandarin.
Perlu saya tekankan juga disini bahwa paman saya Nio Tiam Seng adalah Pilot Huakiaw pertama yang gugur ketika perang membela Tiongkok melawan Jepang. Bagi mereka yang tertarik gutingan koran dari tahun 1937 yang berjudul “Kabar-kabar dari aviateur baba” masih saya miliki dan bisa saya kirimkan per japri. Begitu juga saya merasa bangga memiliki keponakan seperti Alm. Soe Hok Gie.
Kalau ditanya apakah mang Ucup ini orang Indonesia ataukah orang Tionghoa, maka saya akan jawab orang Indonesia keturunan Tionghoa alias Nonpri. Perbedaan Pri dan Nonpri tidak bisa dipungkiri akan tetap ada terus, dan hal ini selalu di ingatkan terus-menerus oleh berbagai macam media masa, pada saat terjadi kejahatan yang dilakukan oleh pihak Nonpri, maka nama julukan Nonpri lengkap dengan nama Tionghoanya selalu dicantumkan dengan jelas. Tetapi kebalikannya pada saat dimana juara bulu tangkis Nonpri yang memenangkan piala bagi Indonesia, tidak pernah dicantumkan kata Nonpri maupun nama Tionghoa nya mereka, karena mereka telah diakui sebagai Pri tulen. Begitu juga tidak akan bisa dipungkiri luka, rasa sakit dan pedihnya atas kejadian huru-hara Mei 1998 tidak akan bisa terlupakan. Seperti juga bangsa Yahudi dimana mereka mengucapkan: “We can forgive, but not forget!”
Walaupun demikian Tanah Air dan Tempat Lahirku adalah Indonesia, hal ini tidak bisa dipungkiri, maka dari itulah saya selalu merasa kangen dan rindu untuk selalu pulang ke Indonesia Tanah Airku jadi bukannya pulang ke Tiongkok.
Apakah jalan pemikiran maupun pandangan saya ini salah ? Apakah ada sesuatu yang tidak beres di dalam pikiran maupun batin saya ? Mohon pencerahannya.
Nio Tjoe Siang alias Mang Ucup
Email: mang.ucup@…
Homepage: www.mangucup.org