MASA KLASIK (700 – 220 SM)
(i) Latar belakang awal, Lao Zi dan Tao Te Cing
Kini kita meninggalkan jaman legenda dan memasuki masa sejarah. Kita tiba pada masa seribu tahun setelah Yu, di mana pada masa itu Tiongkok dikuasai oleh Dinasti Zhou. Saat itu, kaisar tidak lagi merangkap sebagai seorang shaman, melainkan ia mendelegasikan tugasnya pada sekelompok orang yang digaji oleh kerajaan. Kaisar hanya hadir pada dua upacara keagamaan terpenting saja, yakni Upacara Mulai Bercocok Tanam Musim Semi dan Upacara Berterima kasih MusimGugur.
Dinasti Zhou menganut sistim feodal, yakni orang-orang yang pernah berjasa pada raja diberi gelar kebangsawanan secara turun temurun serta tanah-tanah kekuasaan. Jadi timbullah para bangsawan yang memerintah wilayah-wilayan mereka sendiri, namun tetap bertanggung jawab pada kaisar. Para bangsawan tersebut bertugas sebagai kepanjangan tangan kaisar di wilayah mereka dan bertugas untuk menahan serangan suku barbar di perbatasan. Selama kaisar merupakan pemimpin yang cakap dan
kuat, sistim feodal ini dapat berjalan lancar. Pada tahun 770 SM, Dinasti Zhou terpecah menjadi banyak negara-negara feodal yang saling berperang, di mana masing-masing negeri feodal tersebut sebelumnya telah dikuasai para bangsawan secara turun temurun.
Periode Peperangan ini disebut Periode Musim Semi dan Rontok (770 – 476 SM) dan selanjutnya disebut dengan Masa Perang Antar Negeri (475-221 SM), tatkala negara-negara terkuat tinggal tersisa tujuh negara. Para Periode Musim Semi dan Rontok ini lahirlah para filosof besar, seperti Lao Zi yang terlah disinggung pada bab 1. Lao Zi secara umum diakui sebagai pendiri dari Taoisme. Riwayat singkat Beliau telah dibahas pada bab 1, sehingga pada kesempatan kali ini tidak akan dibahas kembali. Sebagaimana yang kita ketahui, Beliau mewariskan sebuah kitab yang disebut dengan Tao Te Cing. Kini kita akan membahas secara garis besar isi Tao Te Cing tersebut.
GARIS BESAR ISI TAO TE CHING
MENGENAI TAO
a.Pengertian Tao
Tao adalah sumber segala sesuatu. Ia tak bernama, tak dapat dilihat, dan tidak dapat dipahami. Ia tak terbatas dan tidak dapat habis atau musnah. Apa yang disebut dengan Tao ini, telah mengatasi segenap perubahan dan permanen. Pengertian mengenai Tao tersebut terdapat pada kutipan berikut ini: “Tao yang dapat dibicarakan, bukanlah Tao yang sebenarnya atau yang abadi; dan nama yang dapat diberikan, bukanlah nama yang sejati.” (Tao Te Cing 1:1)
Lao Zi mengakui bahwa nama “Tao” merupakan sesuatu yang terpaksa Beliau berikan. Kata-kata dan bahasa memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan suatu Kebenaran sedangkan, sehingga Kebenaran Sejati atau Terunggul tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata ataupun bahasa. Mencoba memahami Kebenaran Terunggul dengan menggunakan kata- kata yang terbatas tersebut hanya akan menimbulkan penyalah-tafsiran. Dengan kebijaksanaan yang tinggi Beliau mengetahui, bahwa Tao sebagaimana nama yang diberikan tersebut, adalah sumber dari segala benda dan makhluk, sebagaimana dinyatakan berikut : ” Tiada nama, itulah kondisi permulaan terjadinya Langit dan Bumi. Setelah ada nama itulah sumber dari segala benda.” (Tao Tee Cing I,2).
Meskipun Tao adalah sumber dari segala sesuatu yang hidup, ia bukanlah suatu dewa atau roh. Pandangan ini cukup berbeda dengan pandangan shamanistik mengenai alam semesta. Menurut Tao Te Cing, langit, bumi, sungai, dan gunung- gunung merupakan bagian dari suatu kekuatan yang lebih besar dan mencakup semuanya. Kekuatan ini yang dikenal dengan istilah Tao, dimana ia merupakan sesuatu kekuatan tak bernama serta berada di balik bekerjanya alam semesta. Meskipun demikian Tao Te Cing mencatat bahwa Tao ini tidak sepenuhnya netral, pada bab 25 dan 81 disebutkan bahwa Tao ini bertujuan untuk memberikan kebaikan pada yang lainnya dan tidak menimbulkan bahaya. “Jalan Langit adalah bertujuan memberikan keuntungan pada yang lainnya dan tidak menyebabkan bahaya.” (Tao Te Cing bab 81) “Jalan Langit mengikuti Jalan Tao.” (Tao Te Cing bab 25)
Dari hal tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa Tao merupakan sesuatu kekuatan yang bajik.
b.Perbandingan paham mengenai Tao dengan Ajaran Buddhisme Ajaran Buddha juga menyebutkan bahwa ada suatu tingkatan kebenaran yang melampaui segenap kata-kata atau bahasa. SAMDHINIRMOCANA SUTRA bab 2 mengatakan: “Lebih jauh [lagi], Dharmodgata, Aku membabarkan bahwa Makna Terunggul tidak dapat diucapkan/ tak terkatakan, tetapi berfungsinya pikiran [hanya] bergerak di dalam [ruang lingkup] duniawi dari bahasa/ kata-kata (language).”
Analogi untuk Kebenaran Terunggul adalah misalnya rasa mangga. Kita tidak dapat menggambarkan rasa mangga dengan kata-kata. Untuk mengetahui rasa mangga kita harus mencicipinya sendiri, dan tidak dapat diketahui dari penuturan orang lain. Kebenaran Terunggul tersebut adalah juga kedemikianan dari segala sesuatu. Sesungguhnya segala sesuatu di alam semesta ini tidak memiliki nama dan tidak dapat digambarkan dengan cara apapun, namun agar jelas kitalah yang “terpaksa” memberinya nama. Sesuatu benda dinamakan “gelas” adalah karena memang kita ingin menamakannya demikian. Kata “gelas” tersebut sesungguhnya tidaklah mewakili hakekat dari sesuatu yang disebut gelas, inilah yang di dalam Samdhinirmocana Sutra disebut sebagai kata sementara (provisional word). Ada pendapat yang menghubungkan Tao dengan Sabda Sang Buddha yang terdapat pada Kitab UDANA: “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak.” (Udana VIII)
Apa yang dimaksud dalam kitab Udana tersebut adalah Nibanna (Nirvana), yang merupakan tujuan akhir Umat Buddha. Namun karena disebutkan bahwa Tao adalah suatu kekuatan yang menjadi sumber dan pengatur segala sesuatu di alam semesta ini, maka tentu saja Tao tidak sama dengan Nibanna. Nibanna bukanlah suatu kekuatan ataupun sumber pengatur segala sesuatu di alam semesta ini, melainkan ia adalah suatu kondisi padamnya segenap hawa nafsu keinginan. Agama Buddha mengenal apa yang dinamakan “niyama” atau hukum alam. Ada beberapa jenis niyama atau hukum alam. Hukum alam inilah yang menyebabkan segala sesuatu menjadi ada ataupun tidak ada. Terjadi dan musnahnya alam semesta adalah selaras dengan hukum tersebut. Sehingga Tao tersebut lebih mirip dengan gagasan mengenai niyama. Salah satu jenis niyama tersebut adalah kamma niyama, atau yang lebih kita kenal dengan hukum karma. Hukum karma ini akan memberikan akibat baik bagi orang yang melaksanakan kebajikan dan memberikan hasil yang tidak baik bagi mereka yang melakukan kejahatan. Sedikit perbedaan dengan pengertian Tao yang terdapat dalam Tao Te Cing, adalah sifat netral dari niyama ini, tidak dapat dikatakan baik atau buruk (contoh lain niyama adalah hukum gravitasi, segala benda pasti jatuh ke bawah apabila dilemparkan). Tetapi tentu saja apa yang dinamakan niyama ini juga tidak menimbulkan bahaya bagi segala sesuatu di alam semesta ini. Persamaan lainnya adalah niyama juga bukan merupakan dewa atau roh dan bukan pula ciptaan suatu makhluk adikodrati. Niyama inijuga meliputi segala sesuatu di alam semesta.