II
Pendiri SKH terpengaruh ajaran dari Perhimpunan Theosofi yang berdiri sekitar tahun 1900. Kwee Tek Hoay mendirikan percetakan dan penerbitan Moestika di Jakarta yang kemudian dipindahkan ke Cicurug serta menjabat sebagai redaktur majalah mingguan Moestika Dharma (1932 – 1934), lalu menerbitkan majalah Sam
Kauw Gwat Po.
Pada akhir abad ke-19 tersebut berdiri Djava Buddhist Association di bawah E. Power dan Josias Van Dienst yang sebenarnya merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Burma (beraliran Theravada).
International Buddhist Mission Java Section berdiri di Jakarta tahun 1932. Tanggal 4 Maret 1934 Bhikkhu Narada Mahathera dari Srilanka datang ke Indonesia atas undangan Kwee Tek Hoay, Ir. Mengelaar Meertens (Ketua Perhimpunan Theosofie cabang Indonesia) dan Yosias van Dienst (Deputy Director General International Buddhist Mission Java Section).
Ia menanam pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur dan memberikan ceramah di kelenteng-kelenteng antara lain Kwan Im Tong Jakarta. Menyambut kehadiran Narada, didirikan Batavia Buddhist Association (BBA) dengan ketuanya Kwee Tek Hoay.
BBA lebih banyak mengembangkan Ajaran Buddha Mahayana. Lalu Mei 1934 berdiri Sam Kauw Hwee di Jakarta dengan ketuanya adalah Kwee Tek Hoay.
Publikasi utamanya melalui majalah Sam Kauw Gwat Po (1934 – 1947). Cabang-cabang SKH antara lain di Kediri, Teluk Betung, Palembang, Samarinda, Makasar, Manado, Gresik, dan Bogor.
Sam Kauw Hwee di Kediri dibentuk oleh Tan Koen Swie tanggal 21 Desember 1934 yang juga menerbitkan majalah Soeara Sam Kauw Hwee. Setelah lama agak sulit berkembang, tanggal 20 Februari 1953 di Jakarta didirikan GSKI (Gabungan Sam Kauw Indonesia), sebagai hasil pengorganisasian kembali Sam Kauw Hwee dengan bergabungnya Cin Tik Hwui (Muntilan, Jawa Tengah), Sin Ming Hui bagian kebatinan (Candra Naya, Jakarta), Thian Li Hwee, Buddhis Tengger (Jawa Timur) dan lain-lain, dengan ketua umumnya The Boan An.
Kemudian pada tanggal 22 Mei 1953 GSKI menginisiasi hari Tri Suci Waisak 2497 untuk pertama kalinya di Candi Borobudur (yang diklaim sebagai kebangkitan 500 tahun Majapahit).
Mengikuti anjuran bhikku di Kong Hoa Si Mangga Besar, The Boan An menjadi bhikkhu di Burma (saya ralat keterangan yang kemarin, ternyata bukan di Thailand, namun Burma [Myanmar], namun fakta dukungan terhadap penyebaran agama Budha yang dibuktikan dengan kehadiran atase Burma dan penyambutan dari kalangan Budhis dari bangsa lain adalah nyata dan bisa dilihat dalam laporan media saat itu) dengan nama Ashin Jinnarakkhitta pada tanggal 23 Januari 1954.
Tahun 1960-an didirikan Gabungan Tridharma Indonesia yang baru dikukuhkan saat Orde Baru tanggal 16 – 18 April 1976 di Cisarua, sementara pada saat bersamaam didirikan juga PTITD (Perhimpunan Tempat Ibadat Tri Dharma) se-Jawa Timur di Lawang dengan ketuanya adalah Ong Kie Tjay.
Lalu tahun 1969 diadakan pertemuan PTITD se-Indonesia dengan ketua pertama Ong Kie Tjay. GTI membentuk Majelis Rohaniwan Tridharma Indonesia di Jakarta dengan ketua Sasanaputera Satyadharma. PTITD membentuk Majelis Rohaniawan Tri Dharma se-Indonesia di Surabaya dengan ketuanya adalah Ong Kie Tjay.
Kemudian tanggal 22 September 1979 dibentuk Martrisia (Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia) di Lawang, Jawa Timur, yang merupakan peleburan (fusi) 2 (dua) Majelis Tridharma dari Jakarta dan Surabaya untuk menyesuaikan diri dengan terbentuknya WALUBI sebagai Wadah Tunggal. Ketua umum pertamanya adalah Ong Kie Tjay berikutnya Ongko Prawiro.
Dengan demikian pun terlihat bahwa SKH juga tidak sepenuhnya mengadaptasi kritikan Kwee Tek Hoay tahun 1925-an dengan serangkaian tonilnya, dan belakangan cenderung semakin ke arah Budhis (lihat nama-nama pengurusnya yang “Budhis” dan upacara-upacara mengarah ke Rupang Rulai yang dilakukan, termasuk sangat minimnya pemahaman atas nilai budaya Tionghoa. Saya pernah merasakan sendiri ketika mengadakan talkshow di Boen San Bio Tangerang dengan seorang pucuk pimpinannya pada tahun 2006 lalu).
Meskipun The Boan An sendiri mendirikan Budhayana, pada dasarnya itu lebih kepada fusi antara aliran Hinayana dan Mahayana. Dalam hal ini SKH justru lebih mirip sebuah organisasi Budha yang berciri Tionghoa ketimbang organisasi sinkretik tiga agama. Lucunya, kalangan ini pun berulang kali menyebutkan bahwa mereka tidak mencampurkan agama (lihat Anggaran Dasar Maitrisia dan perkembangannya hingga sekarang) dan karenanya tidak berkehendak sinkretik!
Kalau begitu, apakah artinya SKH dan turunannya ini adalah sejiwa dengan Sanjiao yang dianut di Tiongkok? Ini yang membingungkan, makanya SKH banyak dikritik karena sebenarnya adalah Budhisme bersalut budaya.
Hal itu lebih nyata lagi ketika bergabung dengan Walubi yang jelas-jelas beraliran Budhis (bahkan cenderung ke arah Budhisme Hinayana dengan bahasa Pali yang dipopulerkannya), meskipun Walubi sendiri sebenarnya juga tidak pernah solid karena watak aliran yang berbeda-beda yang diwadahinya (bhakan lebih-lebih ketika ada keterlibatan politik di dalamnya yang memecah Walubi kemudian).