III
Meskipun kajian mengenai KKH seolah-olah tidak selengkap SKH, namun sebenarnya perdebatan mengenai makna agama Tionghoa adalah berimbang dilakukan oleh orang-orang KKH maupun SKH.
Polemik yang dimuat dalam banyak koran-koran pada masa itu, bisa dikatakan sama kuat, apalagi pada persekutuan diam antara THHK dan KKH yang berpandangan bahwa untuk menguatkan persatuan dan mengurangi ketahyulan, perlu dilakukan perimbangan antara gerakan modernisasi dengan nilai dasar Khonghucu yang menjadi jiwa hubungan kemasyarakatan Tionghoa.
Seperti sudah saya uraikan, KTH adalah pendukung THHK dan bahkan pernah menjadi pengurus di Bogor (1912-1920-an) sebelum muncul kekecewaannya sebagaimana dituliskan dalam tonil Korbannja Kong Ek. Meski demikian, terlihat bahwa buku ulasan KTH sendiri banyak menyerap unsur Ru dan Dao, namun sebaliknya justru sangat berkurang ketika SKH mulai dipimpin oleh menantunya, Tjoa Hin Hoey tersebut.
IV
Jadi, dari seluruh hubungan antara THHK, KKH dan SKH, terlihat adanya tarik-menarik yang sangat kuat. Tidak bisa dikatakan bahwa pengaruh KKH lebih lemah dibandingkan SKH. Malah ketika KKH dan SKH sama-sama mendukung suatu kebijakan tertentu, kelenteng dapat diselamatkan, bahkan dalam periode keras sepanjang tahun 1970-an. Sebaliknya, ketika saling berebut, justru kelenteng berhasil dipaksa menjadi Wihara dan kemudian diduduki oleh “Budhis non-Tionghoa”.
Lucunya, di kelenteng-kelenteng PTITD juga ada gerakan diam-diam yang dibangun baik sengaja ataupun tidak, berupa pendirian altar Kuan Im (dan bahkan Rulai), baik itu di buat ruang tersendiri (biasanya di bagian belakang altar kelenteng yang awal, atau bisa juga di sampingnya), malah ada juga yang sampai mendirikan gedung sendiri!
Ada yang bilang bahwa ini taktik, namun ternyata begitu Orde Baru ditumbangkan, pada kenyataannya, terlihat bahwa gedung/ruang tambahan ini malah lebih utama.
Belum lagi di kelenteng (bahkan yang sebenarnya tidak bercorak Budhis sekalipun) yang mendirikan Dhammasala, isinya justru diisi oleh kalangan Theravada (dengan bahasa Pali, bikkhu/bante-nya menolak memberi hormat kepada tuan rumah dari kelenteng tersebut, bahkan merasa bahwa Dhammasala itu sudah menjadi miliknya).
V
Anyway, THHK, SKH dan KKH adalah setali tiga uang dalam membendung proses Baratisasi (Nasranisasi). Dokumen-dokumen ketiga lembaga ini menunjukkan bahwa ada keprihatinan besar terhadap batas-batas pembaratan, dan berharap bahwa mereka bisa mendorong gerakan untuk menghadapi nasranisasi yang sangat kuat “melahap” kalangan tradisional Tionghoa, yang harus diakui pada umumnya berada dalam kondisi lemah ekonomi dan pendidikannya.
Patut dicatat, bahwa yang dimaksud di sini bukan hanya Kristen, namun juga Katholik, yang meskipun mempergunakan cara yang lebih halus, sebenarnya memiliki efek pergantian budaya yang sangat kuat di kalangan Tionghoa, khususnya pada generasi kedua penganutnya.
Dalam hal ini, harus dicatat bahwa kerusakan THHK yang terbesar (selain dari sedikit mismanajemen dan budaya feodal yang masih melekat) adalah diakibatkan pergeseran konflik yang semula propinsialisme (dan sudah ditanggulangi THHK) menjadi ke arah agamaisme, dan dalam hal ini SKH juga memiliki peran yang kuat dalam katalisasi prosesnya.
VI
Apa yang ditulis di tahun 1940 tersebut jelas masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Tinggal, apakah dokumen itu hanya dijadikan artefak sejarah ataukah justru bisa menjadi bahan pelajaran berharga mengenai hubungan antara budaya, agama dan negara dalam situasi jaman yang berkembang seperti sekarang ini. Kita tunggu hasilnya.