Berikut saya kutipkan sedikit tulisan Micchone van Rees (KTH dan SKH), dengan sedikit penyesuaian soal nama tanpa mengubah materi tulisannya:
Perbedaan yang paling mencolok antara gabungan baru ini dengan gerakan Konfusianisme terletak pada interpretasi terhadap agama Tionghoa.
THHK dan KKH menganggap Konfusianisme hanya sebagai agama Tionghoa, sedangkan SKH memandang agama Tionghoa sebagai sintesa dari tiga agama….
Gerakan Konfusianisme mempunyai efek yang besar terhadap aktifitas misionaris Nasrani di antara orang Tionghoa di Indoensia apda permulaan abad ini. Tetapi agama Nasrani sendiri juga mempunyai pengaruuh yang cukup berarti terhadap pembentukan Konfusianisme.
KTH mengakui ini ketika ia menulis: ‘Guru-guru (THHK) tidak saja ditugaskan untuk memberi pelajaran huruf-huruf dan bahasa Tionghoa serta menenarangkan agama Konfusius, dari mereka juga diharapkan, agar dua kali sebulan pada tanggal 1 dan 15 memberi khotbah mengenai AJARAN KONFUSIUS MENURUT CONTOH SEKOLAH NASRANI, di mana agama ini digalakkan.’
Pengaruh agama Nasrani ini jelas disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak pemimpin terkemuka gerakan THHK dididik di sekolah-sekolah misi, seperti Lie Kim Hok, tokoh utama dalam pendirian THHK, Phoa Keng Hek, [residen pertamanya dan Yoe Tjai Siang, redaktur dari sebuah mingguan Konfusianis, Li Po.
MISIONARIS NASRANI SAMA SEKALI TIDAK SIMPATIK TERHADAP GERAKAN KONFUSIANIS YANG BARU, TERUTAMA KARENA PENGIKUT-PENGIKUTNYA SENDIRI DITARIK DI SANA.
Kritik mereka terhadap THHK memaksa pemimpin-pemimpinnya menjelaskan dan menegaskan ide-ide mereka sebagai bagian dari pembelaan terhadap serangan itu. Ini merupakan suatu perkembangan yang kritis, karena posisi yang mereka ambil dalam banyak hal merupakan landasan berdirinya KKH maupuun SKH….
Kristalisasi pertama kedudukan Konfusianis diadakan pada seuatu debat dengan Tiemersma, seorang misionaris dari Nederlandse Zendingsvereeniging antara 1902 dan 1906.
Debat ini memaksa para Konfusianis untuk memberi batasan mengenai sifat Agama Tionghoa dan UNTUK MEMBENARKAN KLASIFIKASI KONFUSIANISME SEBAGAI SUATU AGAMA.
Sebagai respons terhadap artikel Tiemersma di Bentara Hindia, Louw Tjeng Giok menyusun suatu seri pertanyaan dan membentuk sebuah komisi yang terdiri dari empat orang termasuk Lie Kim Hok, untuk memberi tanggapan. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan, “Apakah agama orang Tionghoa sebenarnya? Komisi menjawab:
Komisi meneruskan penjelasan bahwa Konfusius mengaku keberadaan Thian, ekuivalen dengan Tuhan dari agama Nasrani…..tetapi aspek yang paling dasar dari agama ini adalah Hauw (kebaktian anak terhadap orang tua) yang merupakan dasar semua perilaku.
Seorang responden selama debat itu, Tan Han Soey dari Bogor menjawab pendapat Tiemersma bahwa orang-orang Tionghoa berpaling ke agama Nasrani karena tidak mempunyai agama sendiri. Ia berkomentar bahwa mereka HANYA TIDAK MEMPUNYAI PENGETAHUAN TENTANG AGAMA MEREKA SENDIRI DAN TIDAK ADA GURU YANG MENERANGKANNYA KEPADA MEREKA. LAGIPULA AGAMA NASRANI MENJANJIKAN SURGA YANG TIDAK ADA DI AGAMA LAIN.
Pada tahun 1906…, Tiemersma melaporkan suatu observasi, yang ternyata agak bersifat ramalan mengenai gerakan Konfusianis, kepada suatu pertemuan misionaris di Depok.
IA MENYATAKAN KEKAWATIRANNYA MENGENAI PENGARUH GERAKAN THEOSOFI DI HINDIA BELANDA YANG BERTAMBAH BESAR.
Rasinalisme dan Deisme yang khas Konfusianis, menurut Tiemersma, akhirnya tidak akan memuaskan….Sama halnya di Indonesia demikian Tiemersma pula, para Neo-Konfusianis yang berusaha mengusirunsur-unsur Daoisme dan Budhisme dari agama Tionghoa, akhirnya akan berpendapat bahwa Konfusianisme saja tidak cukup dan akan dihapus oleh aliran-aliran pantheistik yang disertai gerakan teosofi.
….
Lain dari THHK, KKH tidak mendapat dukungan dari masyarakat luas. Salah satu kritik yang paling kuat terhadapnya berasal dari gerakan nasionalisme sekuler yang menuduh usaha KKH melawan semangat nasioanlisme Tiongkok.
Mingguan Sin Po pernah menerbitkan satu nomor khusus mengenai KKH. Mereka mengatakan bahwa KHC bukanlah nabi dan ajarannya bukanlah agama.
Sebagai gerakan yang berhubungan dengan kerajaan di Tiongkok, demikian mingguan Sin Po, Konfusianisme tidak lagi pantas untuk jiwa demokrasi masa kini. Lagipula KKH menyajikan Konfusius seolah-olah semacam Jesus Kristus, dan mengutip ajarannya sebagaimana misionaris Nasrani juga membaca kutipan-kutipan dari kitab suci…..
Redaksi Sin Po Weekelijksche Editie berpendapat bahwa sebenarnyaa hanya sedikit orang yang Konfusianis murni dan bahwa sebagian besar rakyat Tiongkok menganut suatu agama campuran. Banyak orang Tionghoa tertarik kepada agama Nasrani karena pekerjaan misionaris yang aktif. Kalau para Konfusianis tidak
sama rajinnya dengan mereka, demikian argumentasi mereka, ajaran Konfusius akan tersingkir sama sekali….
Ada dua artikel sebagai respons terhadap serangan pertama SPWE. Tan Hwan Tjiang menulis di Pewarta Soerabaia bahwa meskipun orang dapat bicara tentang tiga agama di Tiongkok (Sam Kauw), dalam kenyataannya Budhisme dan Daosime memegang peranan kecil dibanding dengan Konfusianisme.
Yang mengatakan bahwa Konfusianisme bukan agama juga mengartikan bahwa orang Tionghoa tidak mempunyai agama. Suatu penghinaan besar, karena hanya binatang tidak mempunyai agama. KKH, demikian Tan, adalah penting untuk melindungi Konfusianisme dari serangan-serangan yang sekarang dilepaskan terhadapnya.
Seorang lain, yang menggunakan nama samaran H, berpendapatg bahwa para misionaris Nasranilah yang menyebarkan ide bahwa Konfusianisme bukan agama.
Menurut batasan mereka, hanya agama Nasranilah agama sebenarnya. Tetapi tidak ada alasan mengapa pandangan ini harus diterima. KKH diperlukan di Indonesia, kalau orang Tionghoa ingin mempertahankan “Ketionghoaan” mereka, karena banyak dari kebudayaan Tionghoa sudah lenyap.
Artikel-artikel di Khong Kauw Gwat Po, terbitan resmi KKTH memerinci dan mengembangkan banyak dari sanggahan ini…. Meskipun banyak idenya merupakan landasan untuk kehidupan sehari-hari, orang-orang tidak banyak tahu mengenai sumbernya, sehingga orang Tionghoa menjadi bahan tertawaan.
Maka itu penjelasan tentang ajaran KHC sangat diperlukan. Anggota lain dari Surabaya menulis kalau orang Tionghoa betul serius mengenai penggalakan nasioanlisme, tidak ada jalan lain daripada penegasan “agama kita – Konghucu”.
Selama serangan-serangan ini KTH tetap mendukung konfusianisme. Ia merupakan salah seorang yang menulsi untuk membelanya selama perdebatan dengan Tiemersme. Akan tetapi ia tetap kritis terhadap KKH……dst .SKH tidak diterima oleh semua orang Tionghoa. Ada yang menyinggung bahwa organisasi ini hanya merupakan suatu campuran tanpa tujuan tertentu, semacam “gado-gado”….
Sepucuk surat yang diterima SKH Kediri mengandung kritik yang sama, mengatakan bahwa ketiga agama itu begitu berbeda, sehingga tidak mungkin dapat diikuti bersama-sama.
Menurut penulisannya agama yang paling pantas untuk orang Tionghoa dewasa ini adalah Konfusianisme, maka mengapa perhimpunan ini tidak memusatkan perhatiannya pada promosi ini dan menamakan dirinya KKH?
Tjia TTjiep Ling menjawab bahwa KKH telah gagal menarik banyak pengikut dan orang-orang tidak memandang Konfusianisme yang dipromosikan KKH cukup modern. Cabang yang sama juga menerima surat dari The Lian Sam dari Probolinggo yang minta penjelasan mengenai maksud dan tujuan dari SKH, karena tidak jelas baginya apa yang harus diperbuat oleh seorang yang hanya menganut salah satu agama saja. ….dst”
Bagian penjelasannya masih panjang, namun dalam hal ini saya cuma mau memperlihatkan bagaimana pengaruh KKH cukup kuat dalam membendung pembaratan.
Namun demikian, KKH memang lebih terkonsentrasi di dalam THHK seperti saya uraikan di muka dan karenanya terlihat tidak seagresif organisaisi lainnya. Terlihat bahwa serangan Tiemersma dan gerakan Teosofi sangat berbahaya (bahkan bisa jadi Tiemersma dkk juga berkepentingan untuk menghadang THHK dan KKH sehingga memfasilitasi konspirasi diam untuk menghabisi THHK dan KKH).
Dalam kacamata ini, patut dicermati bahwa kondisi taktis pada saat itu memang membutuhkan jawaban cepat sebelum semuanya benar-benar “habis”.
Bukti dari kuatnya pengaruh semangat KKH (meskipun secara keorganisasian memang lemah) adalah bahwa dalam sensus-sensus yang diadakan pada tahun 1930 (Hindia Belanda) dan kemudian 1971 (Orde baru), yang mengaku sebagai penganut Khongkauw adalah sekitar 0,8% dari penduduk tersensus, sementara Hudkauw adalah 0,7% (itu pun diduga juga memasukkan kalangan Budha Jawa ke dalamnya.
SKH bisa dikatakan sebagai bagian dari kelompok Hudkauw ini mengingat aksentuasi dominan yang ditemukan dalam kotbah-kotbahnya). Yang pasti, klaim mengenai kegagalan KKH ternyata juga bisa dialamatkan kepada SKH sendiri.
Yang unik, bahkan setelah dilakukannya sensus tahun 2000 (yang meskipun banyak sekali kelemahannya, dapat dijadikan gambaran dasar perkembangan agama), ternyata penganut Budhisme juga tidak mencerminkan penggabungan kalangan Ru ke dalamnya, malahan secara persentase juga berkurang (sementara jelas, kalangan Ru belum difasilitasi dalam sensus tersebut; pada sisi lain, akses terhadap penduduk daerah yang semula tidak terdata sensus menunjukkan penambahan data penduduk non-Tionghoa yang Budhis, sehingga efeknya menunjukkan berkurangnya persentase kalangan Budhis Tionghoa, apalagi pendukung SKH.
Trayektori sensus yang saya sendiri lakukan penelitiannya di Tangerang menunjukkan bahwa kalangan muda Tionghoa ternyata merupakan pemuda Theravada {Patria} yang menunjukkan bahwa SKH di Tangerang sudah tergerus hampir habis.
Begitu juga di daerah Jawa Barat dan sebagian daerah Jawa yang lain, sebagai akibat dari kurikulum sekolah dan kebijakan selama Orde baru yang masih membekas hingga kini).
Lalu bagaimana nasib kelenteng-kelenteng yang dibudhiskan itu? Banyak yang tidak bersedia dikembalikan kepada kondisi sebelum pemaksaan era DEWI, dengan berbagai pertimbangannya. Itu juga menyisakan pertanyaan mengenai seberapa berhasilnya SKH di dalam membendung pembaratan.