Berikutnya saya sarikan kutipan dari tulisan Eric Oey (Santapan Rohani), dan karena agak panjang serta agak redundant, saya berfokus pada latar belakang KT saja:
“…..
KTH sudah tertarik kepada teosofi sejak masa mudanya dan kemudian menjadi seorang pengikut gerakan teosofis yang didirikan oleh Madamme HP Blavatsky pada tahun 1875…
KTH menjelaskan bagaimana menurutnya setiap agama dan filsafat dipengaruhi oleh lingkungan budaya serta sejarah dari bangsa penganutnya.
Islam, ia mengatakan, berkembang antara bangsa-bangsa penggembala di padang pasir yang tandus, tempat orang terpaksa memakan daging karena tak ada sayuran, mempraktekkan poligami demi meningkatkan jumlah pendudukanya, dan berpuasa selama sebulan setiap tahun agar dapat menahan berbagai macam naluri yang
menggodanya.
Demikian juga, bagi KTH, agama Nasrani mengajar belas kasihan terhadap segala umat manusia adalah reaksi terhadap “kekukukuhan” kaum paderi Yahudi serta tekanan maha hebat dari para penakluk Romawi. Dan ajaran ini justru cepat berakar dan berkembang antara budak-budak dan masyarakat golongan terhimpit pada zaman itu.
Dengan pernyataan semacam ini kita dapat memahami ketertarikan KTH terhadap fenomena-fenomena keagamaan, mistik dan gaib, serta juga kebiasan untuk membandingkan dan menyamakan keyakinan, tindakan atau tulisan keagamaan yang bagi kita nampaknya sangat berbeda.
Perbandingan ini sering nampak lucu dan aneh seperti misalnya ketika ia menyatakan bahwa Ruabiyat dari Omar Khayam menyerupai Bhagawad Gita, Tao-te Ching serta puisi dari Li Po.
Demikian juga kredo esoterik yang dikembangkan oleh kaum taswuf, baginya, sangat identik dengan pelajaran-pelajaran Taoisme dan Budhisme.
Dan kaum Derwis dari Turki, menurutnya, mempraktekkan suatu cara hidup dalam pertapaan yang sama dengan para pendeta Budha, sedangkan ajarannya mirip sekali dengan apa yang dinyatakan oleh kaum teosofis.
….
Pada saat itu berbagai kebiasaan, kepercayaan serta agama orang Tionghoa-Jawa berkembang menjadi sangat kacau dan membebankan…. Seperti yang telah dipaparkan, kebiasan meratap dan upacara pemakaman besar-besaran telah memberatkan diri mereka sendiri dengan penambahan berbagai jenis kebiasaan dari berbagai sumber lainnya.
Ia kemudian menggambarkan berbagai reformasi yang dilaksanakan oleh kaum THHK, konon sebagai “pemugaran” pelajaran-pelajaran Konfusius yang asli.
Reformasi ini meliputi penyederhanaan upacara perkawinan dan pemakaman serta pendirian-pendirian sekolah Tionghoa dengan kurikulum “modern” seperti yang telah terdapat di Tiongkok dan Jepang.
Namun perlu dicatat di sini bahwa reformasi yang dilaksanakan atas nama “Konfusius” itu diusulkan dan digerakkan oleh pemuda Tionghoa yang berpendidikan dan berorientasi Barat (Kebanyakan dari mereka lulusan dari sekolah misionaris Nasrani) yang sebenarnya mempunyai satu tujuan politik utama yaitu, peningkatan status orang Tionghoa agar menyamai hak-hak yang dinikmati orang-orang Eropa….
Dengan demikian pengertian mereka tentang sifat serta pelaksanaan reformasi “agama Tionghoa” tentu saja menganduung banyak unsur Barat yang dianggap lebih “modern” serta lebih “sesuai” dengan zamannya. Sebab akibatnya, sambil mereka berusaha membersihkan “unsur-unsur asing” dalam upacara Tionghoa, pada upacara tersebut sebenarnya juga dikenakan beberapa unsur “Nasrani” yang baru, seperti kebaktian hari Minggu dan berdoa, hymne dan khotbah yang diucapkan oleh seorang pendeta.
…KTH juga mengamati, misalnya bagaimana THHK pada mulanya melarang segala pemujaan patung Konfusius di sekolah mereka, dan bagaimana banyak di antara mereka ingin juga melihat ditutupnya semua kelenteng Tionghoa di Jakarta.
Sikap “modern” memang telah telah begitu berakar dalam masyarakat Tionghoa pada tahun 1930-an. Semakin banyak orang Tionghoa waktu itu masuk Nasrani atau yang dengan jelas menganut agnotisme, tidak lagi mempraktekkan adat kebiasaan kuno seperti pemeliharaan suatu altar nenek moyang di rumah dan persembahan sesajen, pembakaran kemenyan serta pelemparan ciam sie (balok ramalan) di depan patung-patung kuil.
Walaupun is sendiri jelas seorang terpelajar yang berorientasi Barat, KTH secara teguh membantah segala serangan tetrhadap tradisi-tradisi Tionghoa.
Seperti Kang Yuwei beberapa dekade sebelumnya, ia malah ingin melihat tradisi tersebut diperkuat dan diperbarui dengan kembali ke sumber-sumber Konfusianisme yang “asli”….namun demikian Konfusianisme sendiri nampaknya tidak merupakan sistem keagamaan yang cukup luas bagi KTH, sehingga ia memajukan suatu penggabungan “Tiga Agama” Tionghoa itu….
….
SAMA SEKALI TIDAK MENGHERANKAN JIKA PANDANGAN-PANDANGAN INI MENYERUPAI APA YANG DINYATAKAN OLEH PARA SARJANA BARAT DALAM KARANGAN MEREKA. SEPERTI KITA LIHAT, KTH SEBETULNYA MENGENAL PELAJARAN “TIGA AGAMA” DAN TEKS-TEKSNYA MELALUI KOMENTAR DAN TERJEMAHAN DALAM BAHASA INGGRIS DAN BELANDA. Di samping itu, ia juga sangat dipengaruhi oleh berbagai ide dari Lin Yutang — seorang pengarang di Tiongkok yang juga luluus dari sekolah misionaris Nasrani. …..”
Dari tulisan ini (meskipun saya ada beberapa ketidaksepahaman dengan penulisnya), setidaknya tergambar bahwa KTH sendiri tidak sepenuhnya berhasil mentransformasikan ide Sam Kauw.
Dalam perkembangannya, ketika SKH dikelola oleh menantu dan anak perempuannya, kecenderungan menjadi Budhis sangatlah kuat.
Patut juga dicatat bahwa ide-ide Budhisme yang diserap KTH sendiri bukanlah budhisme Tionghoa, melainkan justru dari sumber-sumber lain seperti Thailand, Burma, dan India.
Tidak mengherankan apabila ulasan Budhisme yang dilakukan KTH sebenarnya berorientasi Hinayana. KTH sendiri mengutip ayat-ayat dalam bahasa Pali dan Sansekerta dari sumber yang cenderung Theravada, dan tidak terdengar bahwa dia mempergunakan sutra-sutra Mahayana Tionghoa.
Tidak heran juga bahwa di kemudian hari, SKH lebih bisa dikatakan sebagai Budhisme yang mencoba juga menyerap unsur Tionghoa, namun bukan menjadi Sam Kauw sebagaimana diuraikan oleh Lin Yutang sendiri.
Sebagai tambahan fakta unik, menarik untuk diketahui bahwa salah seorang ketua THHK adalah Gouw Khiam Kiet (1898-1979; yaitu di era 1935-1937).
Ia adalah anak dari keluarga Kristen yang pada tahun 1884 menghibahkan empat buah rumah di Patekoan sehingga bisa berdirilah Gereja bernama Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee.
Selepas menjadi ketua THHK Batavia, pada tahun 1940 ia ditahbiskan sebagai pendeta Gereja Patekon itu oleh Tan Goan Tjong. Tahun 1943 dia ditangkap Jepang dan lepas tahun 1945. Tahun 1953, terjadi Peristiwa Patekoan, di mana ia beserta sejumlah pengurus dipecat dari kependetaan oleh Majelis Sinode THKTKH.
Ia melawan, dan berbuntut kericuhan sehingga sebagaian sinode mendirikan GKI di Krekot sebagai akibat perpecahan ini. Ia meninggal tahun 1979 setelah hampir 40 tahun menjalani kegiatan pendeta di Gereja Salib Tiga di Patekon.
Tulisan Charles A. Choppel sendiri agak mirip, khususnya menilai pengaruh misi Nasrani dalam munculnya reaksi atas pembaratan tadi. Saya tidak kutipan di sini karena masalah waktu.
Saya tidak bisa memberikan tanggapan lebih panjang lagi, meskipun banyak yang harus dikupas. Sampati titik ini pun saya sudah menghabiskan beberapa hari buat menulis, padahal ada PR lain yang harus saya selesaikan.
Dalam dua-tiga minggu ke depan, saya harus ke daerah untuk memulai survey awal penelitian mengenai diskriminasi dalam hal pelayanan KTP. Kalau sempat ada waktu luang, saya akan menanggapi secara global saja.
Kalau ada yang punya masalah diskriminasi/pembedaan perlakuan dalam KTP yang diakibatkan oleh persoalan ras/etnis/agama/kepercayaan/ketunaan atau terkait jenis kelamin, khususnya yang berada di daerah Jabodetabek, siap-siap saja untuk saya minta bantuan mengisi kuesioner untuk sebuah lembaga penelitian di Universitas Indonesia.
Tujuan akhirnya adalah untuk mendorong percepatan penyelesaian masalah di bidang layanan kependudukan tersebut. Terus terang, kadang saya agak pesimis dengan antusiasme dari para miliser. Saya sendiri pernah menginisiasi penyelesaian masalah kewarganegaraan dari para stateless tiga tahun yang lalu, namun bisa dikatakan tanggapannya tidak ada. Akhirnya yang masuk adalah LSM-LSM dengan kepentingannya masing-masing dan klaim-klaim yang menambah ruwet. Capek deeeh. Hehehehe.
Kebajikan tidak dibina, pelajaran tidak diperbincangkan, mendengar kebenaran namun tidak melaksanakan, terhadap hal-hal buruk tidak bersedia memperbaiki; inilah yang selalu menyedihkan hati.
Suma Mihardja