Hok Kian Hwee Kwan Lebih Membuka Diri
Menyusul adanya perubahan sikap pemerintah Indonesia terhadap orang-orang Tionghua di tanah air, selama masa lima tahun pertama pemerintahan orde baru mulai memberikan perhatian yang lebih memperbaiki kehidupan masyarakat etnis Tionghua.
Presiden Suharto dalam pidato pertanggungjawaban Presiden di depan Sidang Umum MPR-RI12 Maret 1973 mengatakan : “Saya juga ingin meminta perhatian atas masih adanya usaha-usaha untuk memperuncing perbedaan antara sesama warga negara yag berbeda keturunan, ialah antara golongan pribumi dan golongan non-pribumi.” Pemerintah selalu berusaha untuk, di satu pihak memberikan penerangan dan pengertian kepada masyarakat bahwa golongan non-pribumi sebagai warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama, berhak atas perlindungan, berhak untuk mengadakan usaha, seperti warga negara yang lain dari golongan pribumi.
Tidak ada diskriminasi di antara warganegera, meskipun berbeda asal dan keturunannya. Di pihak lain pemerintah juga berusaha dengan segala jalan agar golongan non-pribumi yang umumnya memiliki kelebihan kekayaan dan kemampuan ekonomi bersedia memberikan kesempatan dan membuka kemungkinan kepada golongan pribumi untuk turut berusaha dapat menikmati hasilnya. Dengan langkah ini diharapkan tumbuhnya rasa solidaritas sosial yang dalam diantara sesama warganegara yang terdiri dari golongan pribumi dan golongan non-pribumi, di satu pihak dapat makin meratakan tingkat kemampuan ekonomi dari kedua golongan tersebut. Sedangkan di pihak lain hak hidup, hak berusaha dari golongan non-pribumi dijamin dan bahkan disambut baik oleh golongan pribumi. Melihat sikap pemerintah tersebut jelas bahwa soal rasialis tidak ingin dibesar-besarkan lagi. Dan WNI Tionghua hendak diperlakukan sama seperti warga pribumi.
Memang sebetulnya bila melihat sejarah kedatangan orang-orang Tionghua perantau di Indonesia sebenarnya sudah lama berlangsung. Bahkan sejak sebelum Belanda datang menjajah tanah air ini. Bahkan boleh dikatakan keberadaan orang-orang Tionghua di Indonesia sudah ada sebelum negara RI berdiri. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka juga sudah menganggap Indonesia sebagai tumpah darahnya. Secara ektrem dapat juga berkembang pemikiran bahwa mereka dapat pula mengklaim dirinya sebagai yang ikut memikirkan berdirinya republik ini yang bersama-sama tokoh nasionalis lainnya ketika ikut melakukan perjuangan politik di Negeri Belanda melalui para pelajar dan mahasiswa keturunan Tionghua di negri kincir angin itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka yang telah hidup lama di desa-desa terpencil, kota-kota kecil, berprofesi sebagai pedagang melahirkan suatu sikap dari para generasi muda keturunan Tionghua yang lebih lunak terhadap kebudayaan Indonesia. Mereka sudah terbiasa mengambil partisipasi aktif dalam kegiatan sosial, olahraga dan menyampaikan bantuan finansial kepada pemerintah daerah setempat dimana mereka tinggal.
Memang diakui sepanjang tahun 1972 – 1977 Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan ini diakui hanya eksklusif hanya menerima dan melayani berbagai kepentingan sosial di lingkungan keturunan Hok Kian. Tetapi perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan tidak mengarah kepada hal-hal yang mencampuri urusan-urusan seperti politik praktis/kepentingan tertentu. Mereka yang tergabung dalam perkumpulan ini cuma punya satu tujuan yakni bidang sosial seperti mengurus semua keperluan pelayanan kematian. Karena itu kepentingan sosialisasi dan membuka diri, akhirnya para pengurus melakukan perubahan yang mendasar. Itu dimulai di era kepengurusan Purnomo (Pho Sun Tiong). Maka sejak tahun 1978 rung lingkup pengurus dan keanggotaan lebih dierluas lagi atau terbuka untuk berbagai kalangan di luar suku Hok Kian.
Pengurus juga mencoba mencari pengganti nama untuk Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan sehingga bisa diterima lebih luas lagi oleh berbagai lapisan masyarakat. Artinya semua lapisan warga negara Indonesia baik dari etnis Tionghua maupun penduduk asli bisa menjadi pengurus/anggota. Hal ini diakui sebagai bagian dari penyesuaian diri akibat peralihan kepemimpinan orde lama ke orde baru. Mau tidak mau wajah dan bentuk Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan harus diselaraskan dengan kebijakan-kebijakan serta peraturan perundangan yang berlaku. Sebagai tambahan, dimasa itu pergantian nama organisasi berbau Tionghua juga dilakukan oleh semua perkumpulan milik etnis Tionghua. Seperti Yayasan Ken Cin Sia diganti menjadi Meta Sarana, Yayasan Ho Hap dirubah menjadi Yayasan Tolong Menolong, yayasan Kong Saw Tong diganti menjadi Suaka Insan.
Karena tujuan dari organisasi Hok Kian Hwee Kwan ini semata-mata untuk kepentingan sosial, oleh para generasi penerusnya kemudian ditangani secara proporsional hingga akhirnya Hok Kian Hwee Kwan berganti nama menjadi Perkumpulan Sosial Budhi Dharma pada tahun 1978. Waktu itu pengurus yang ikut membahas penggantian nama diantaranya Kencana Sukma, Lukito Uslim dan Purnomo. Maka Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kuan mulai terjadi pembauran. Dan untuk keanggotaannya menjadi lebih luas dan terbuka dari berbagai lapisan masyarakat.
Misi dan visi Perkumpulan Sosial Budhi Dharma juga mengalami perubahan mendasar tidak saja dijalur pelayanan sosial bidang pemakaman tetapi juga pemberian santunan/bantuan kepada masyarakat yang tertimpa musibah.
Maka, tepatnya Pada tanggal 12 September 1978 dengan akta No.8 oleh Notaris Halim Kurniawan (Khouw Hun Liang) dibuat akta Perkumpulan Sosial Budhi Dharma dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua : Purnomo
Sekertaris : Kencana Sukma
Bendahara: Tanu Wijaya
Komisaris : Lukito Uslim
Asas dan tujuan : Adalah gotong-royong dan kekeluargaan (tolong menolong) membantu para anggota beserta keluarganya dalam hal tertimpa musibah dan perkumpulan ini bukan ormas/parpol. Semata-mata kegiatannya bertujuan sosial seperti kematian dengan kegiatan yang dicurahkan untuk bantuan perawatan jenazah dan pelaksanaan pemakaman hingga selesai. Disebutkan modal dan kekayaan berupa iuran tetap dan uang pangkal anggota, sumbangan dari dermawan dan simpatisan yang sifatnya tidak mengikat. Keanggotaan terdiri dari anggota biasa, luar biasa dan kehormatan serta donatur. Sebagai wujud keperdulian wadah ini bagi segenap lapisan masyarakat, pada tahun 1978 Perkumpulan Sosial/Yayasan Budhi Dharma menggalang bekerjasama dengan merangkul Badan Komunikasi Persatuan Kesatuan Bangsa (BAKOM-PKB). Gerakan ini dinilai cukup baik untuk mempersatukan keutuhan bangsa sampai tahun 1980. Kerjasama ini sekaligus membuat gerakan nasionalis oleh Bakom, antara lain dengan keluarnya keppres No.8 tentang kewarganegaraan.
Dasar pertimbangan itu maka Perkumpulan Sosial/Yayasan Budhi Dharma bersama Bakom-PKB memperjuangkan pengurusan status kewarganegaraan kalangan etnis Tionghua. untuk di Lampung sedikitnya telah ditangani sebanyak 3.000 jiwa. Selanjutnya aktivitas Perkumpulan Sosial/Yayasan ini mulai bergetar lagi. Dimana hampir setiap tahun melakukan kegiatan bakti sosial berupa penyerahan bantuan korban bencana alam, ke panti asuhan yatim piatu, panti-panti jompo.
Sejak pergantian nama Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan menjadi Perkumpulan Sosial Budhi Dharma, ternyata di dalam pelaksanaannya masih menimbulkan masalah. Ganjalan yang paling utama adalah masih adanya penjelasan-penjelasan di dalam penyusunan akte Perkumpulan Sosial/Yayasan Budhi Dharma yang mengandung kesan tidak enak di kalangan masyarakat maupun pemerintah.
Pasalnya ada beberapa penjelasan pada akte pendirian Perkumpulan Sosial Budhi Dharma ini disebut-sebut adalah embrio dari Hok Kian Hwee Kwan. Masalahnya memang cukup merepotkan karena sejak era tahun 1975 wadah-wadah semacam ini sekalipun bersifat sosial/maupun tidak dianggap sebagai gerakan/perkumpulan menjurus kepada kepentingan politik praktis. Padahal dalam kenyataannya memang kepengurusan maupun orientasi Perkumpulan Sosial ini tidak melibatkan diri dengan kepentingan politik tertentu. Namun demikian, akhirnya disepakati melalui rapat pengurus untuk menggantikan nama Budhi Dharma dan merubah penjelasan-penjelasan dalam akte sekaligus perubahan susunan pengurus. maka pada tanggal 15 Februari 1989 dengan akta No.8 Oleh Notaris Julia Mensana, SH dibuat Akta Perkumpulan Sosial dengan nama Dharma Bhakti.
Ditegaskan dalam penyusunan akta tersebut bahwa Perkumpulan Sosial/Yayasan ini jelas-jelas menganut asas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Maksud dan tujuan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Lampung khususnya. Melakukan berbagai kegiatan/usaha yang tidak bertentangan dengan hukum dan maksud tujuan dari pada pembentukan perkumpulan sosial. Modal dan kekayaan yayasan disebutkan bersumber dari iuran tetap dan uang pangkal anggota serta sumbangan simpatisan dan dermawan yang bersifat tidak mengikat. Selain itu ada gedung dan tanah kuburan.
Pembenahan misi/visi serta kepengurusan sosial ini masih terus dilakukan. Lagi-lagi penjelasan dalam akta pendirian perkumpulan ini mengalami perubahan.
Berdasarkan akta notaris tanggal 8 Mei 1995 No.3 dibuat dihadapan Notaris Jenmerdin, SH dan susunan pengurus dirubah kembali
Berbagai perubahan susunan pengurus juga masih berlanjut, terlebih waktu itu Bapak Purnomo sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia di tahun 1998. Kemudian melalui rapat pleno pengurus ditetapkan saudara Lukito Uslim menjabat sebagai Ketua. Sedangkan untuk posisi wakil ketua dipercayakan kepada Kencana Sukma yang sekaligus merangkap Sekertarus Umum. Susunan pengurus ini tidak sempat diaktekan hanya berdasarkan persetujuan rapat anggota/pengurus. Barulah beberapa waktu kemudian, di tahun yang sama berdasarkan akta notaris tanggal 11 september 1998 No.13 dibuat dihadapan Notaris Jenmerdin. SH susunan pengurus baru pun dibentuk. Sejak berubahnya nama Perkumpulan Sosial Budhi Dharma menjadi Dharma Bhakti, kegiatan-kegiatan di organisasi inipun semakin fleksibel dan sifatnya lebih terbuka. Sehingga misi dan visi daripada tujuan perkumpulan sosial sejak berdirinya/dibentuk tahun 1902 hingga 2002 tidak banya mengalami pergeseran, yakni masih berbasis pada bidang sosial.
Khususnya di dalam melayani keperluan anggota yang mengalami musibah, seperti kematian, pemberian santunan kepada masyarakat tertimpa musibah bencana alam, memberikan bantuan kepanti-panti asuhan dan rumah jompo. Setidaknya Hok kian Hwee Kwan telah menjadi salah satu bukti sejarah yang menunjukan perkumpulan warga Tionghua tersebut sudah bisa menampatkan keberadaannya di tengah masyarakat Indonesia umumnya di Propinsi Lampung.
*** 8138