GAMBARAN UMUM
Dalam kurun waktu perjalanan yang cukup panjang, diyakini oleh para sesepuh keturunan Hok Kian menyebutkan bahwa Perkumpulan Sosial Dharma Bhakti saat ini diperkirakan telah memasuki usia kurang lebih satu abad atau 100 tahun.
Organisasi ini pada awal berdirinya bernama Hok Kian Hwee Kwan yang berkembang di era tahun 1900-an. Tujuan pembentukan perkumpulan sosial ini untuk menumbuhkan rasa kebersamaan, persaudaraan dan sifat saling tolong menolong antar sesama suku Hok Kian yang menetap di Lampung pada masa itu.
Pembentukannya tidak jauh berbeda dibandingkan perkumpulan-perkumpulan sosial sejenis yang didirikan suku-suku pendatang lainnya yang menetap di suatu tempat baru. Berdasarkan literatur yang ada, wadah ini dibentuk sekitar era tahun 1902 seiring dengan munculnya nasionalisme Cina pada awal abad 20.
Tokoh-tokoh pencetus berdirinya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan ini dipelopori oleh sesepuh orang-orang Hok Kian yang merasa terpanggil untuk mewujudkan terciptanya rasa kebersamaan dan sifat gotong-royong di lingkungan mereka.
Sejauh ini memang dirasakan sulit untuk mengetahui atau mendapatkan data-data yang akurat menyangkut siapa saja tokoh-tokoh pendiri perkumpulan sosial ini secara tepat. Diakui untuk mendapatkan bahan informasinya sangat terbatas. Namun setidaknya di era tahun 1922-1942 fugur-figur pelaksana yang sudah duduk berperan aktif di dalam pengurusan wadah ini tercatat nama-nama seperti, Lauw Liong Lu, Tjoa Tjiam, Tjoa Siong Lim, Lie Kong Kan, Lim Bau, Lim Yjie Moi, Tjioe Thiam Leng, Liauw Giok Tjiang.
Inipun diyakini masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang kebetulan saja tidak tercatat atau terlewati dari ingatan para sesepuh yang dimintai informasi guna penyusunan buku kenangan Satu Abad Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwee Kwan ini.
Berkat kerja keras tokoh-tokoh itulah, perkumpulan sosial ini tetap eksis hingga di era tahun 1922. Hingga kepemimpinanya dipegang oleh Lim Khe Kie mulai tahun 1942. Beliau juga dibantu oleh Lauw Liong Lu, Tjoa Tjiam, Tjoa Siong Lim, Lie Kong Kan, Lim Bau, Lim Tjie Moi, Tjioe Thiam Leng, Liauw Giok Tjiang.
Dan saat ini sebagian besar para pendiri itu telah tiada, seperti Lim Khe Ki meninggal di tahun 1974, tetapi namanya telah terukur dengan tinta emas di hati para generasi penerus yang mengemban misi organisasi ini selanjutnya. Misi utama dibentuknya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan adalah untuk menumbuhkan sikap saling tolong-menolong di dalam menjalani kehidupan, khususnya sesama pendatang warga Tionghua orang-orang Cina perantauan jika diantara mereka ada yang mengalami musibah seperti kematian.
Melalui perkumpulan ini semua keperluan untuk perawatan hingga pemakaman bila ada anggota atau warga keturunan Hok Kian yang terkena musibah kematian bisa langsung dibantu oleh pengurus. Di samping itu juga ada misi lainnya, organisasi ini juga melaksanakan berbagai kegiatan kebiasaan, adat-istiadat serta kebudayaan maupun acara-acara ritual warisan leluhur bangsa Tionghua.
Seperti yang sudah ditumbuhkan waktu itu, misalnya menyelenggarakan ziarah ke makam-makam leluhur yang biasa disebut Csing-Bing atau Ceng-Beng. Ibadah ini mengandung makna Ceng; berarti bersih dan Beng berarti; cerah. Biasanya ini dilakukan setiap tanggal 15 bulan 3 menurut kalender Imlek (Sha Gwee Cap Go). Pada perayaan itu orang-orang Tionghua melakukan ziarah ke makam orang tua dan leluhur, membersihkan makam, berdoa dan sembahyang sesuai dengan kepercayaan sambil meletakkan kertas kuning kecil memanjang di atas makam. Istilah ini sama dengan menabur bunga.
Cerita Ceng-Beng itu sendiri mengisahkan, konon seorang Cu Guan Ciang (Zhu Yuan Zhang) pendiri dinasti Ming. Ia lahir dengan keluarga yang sangat miskin, agar tidak mati kelaparan ia diserahkan oleh orang tuanya pada sebuah kuil untuk dipelihara.
Pada suatu saat ia menjadi raja, ia tidak mengetahui dimana makam leluhurnya, maka pada hari yang ditentukan, ia memerintahkan semua rakyat berziarah dan sembahyang di makam leluhurnya dan memberi tanda kuning diatas makam tersebut.
Sedang makam yang tidak ada tanda kuning, diziarahi oleh raja sebagai makam leluhurnya. Pelaksanaan ziarah dilakukan 10 hari sebelum dan 10 hari sesudah Ceng-Beng.
Ceng-Beng sendiri masih tetap dilaksanakan warga tionghua di Lampung sejak lama walaupun hidup jauh dari tanah kelahiran. Peringatan Ceng-Beng ini sangat bermakna bagi orang Tionghua sebagai bagian dari melestarikan budaya guna menemukan jati diri, juga mengandung makna hormat kepada orang tua dan tidak melupakan leluhur serta makna-makna hidup lainnya yang bertujuan luhur.
Selain mengemban misi sosial, Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan sekaligus sebagai sarana untuk berkesenian dan ajang interaksi sosial yaitu menyambung tali silaturahmi, mempererat rasa persaudaraan dan ikatan kekeluargaan di antara warga Tionghua keturunan Hok Kian di propinsi Lampung.
Misalkan diwujudkan dengan kegiatan seperti arisan. Tujuan dari arisan ini semata-mata untuk mengikat tali kerjasama dalam hal perdagangan. Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Tionghua bahwa urusan simpan pinjam itu di antara mereka menganut azas kepercayaan. Ini tetap berlaku bagi pendatang-pendatang keturunan Tionghua lainnya yang sudah tinggal lama dan mencari nafkah di Lampung.
Hingga saat ini sebuah kepercayaan bagi warga Tionghua masih dipertahankan dan akan terus berlangsung dari generasi ke generasi, terutama menyangkut kegiatan perdagangan dan bisnis di kalangan mereka. makna kepercayaan bagi warga etnis Tionghua, bagi yang melanggar bakal menerima sangsi.
Hukumannya bukan berdasarkan ketentuan tertulis, tetapi mereka yang melanggar kehilangan kepercayaan di mata masyarakat dan hukuman ini paling disegani karena mempunyai nilai tersendiri dalam bermasyarakat. Menjaga kepercayaan itu cukup mahal dan dianggap suatu tindakan benar. Kepercayaan dipandang lebih tinggi dari segala-galanya. Begitu pula dalam hal perselisihan dengan keturunan etnis Tionghua lainnya jalan yang ditempuh adalah menyelesaikan secara musyawarah untuk mufakat.
Para pendatang suku Hok Kian waktu itu sudah memiliki motto; mengapa harus takut susah, kerja keras sebagai pemicu bagi suatu kesuksesan. sehinga itu dijadikan sebagai suatu pegangan yakni; ketekunan dan kerja keras. Secara umum kehadiran Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan, mengacu pada nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan dan kepercayaan sebagaimana yang dijabarkan dalam nilai keagamaan/keyakinan yang dianut sebagian besar etnis Tionghua keturunan Hok Kian.
Lewat perkumpulan sosial semacam Hok Kian Hwee Kwan, orang-orang Tionghua, perantau khususnya warga Hok Kian yang sudah bermukim di Lampung di era 1900-an merasa lebih dekat. Melalui wadah itu mereka juga sudah bisa saling bertemu untuk berdiskusi, bercengkrama sambil bernostalgia atau sekedar kongkow-kongkow dengan rekan sejawat.
Kebiasaan yang melekat yang sering dirasakan dalam perkumpulan sosial ini, yakni kumpul-kumpul sambil mendengarkan permainan musik Lam Kuan (kesenian tradisional Tionghua). Kesenian ini di era 1900-an sudah banyak dipertontonkan di kalangan warga Tionghua. Permainan musik ini dimainkan 5-6 orang-orang muda mengiringi dendang lagu-lagu klasik, romantis.
Alunan lagu-lagu maupun intrumentalia yang diperdengarkan melalui musik Lam Kuan, sekaligus sebagai obat penawar rindu bagi mereka-mereka yang ingat akan kampung halaman, kangen dengan orang-orang tua maupun kekasih. Biasanya permainan musik Lam Kuan dibawakan pada saat-saat senggang, atau waktu-waktu santai sambil melepas lelah. Umumnya mereka-mereka yang suka mendengarkan adalah orang-orang tua dan anak-anak mudanya hanya sebagian kecil.
Permainan alat musik Lam Kuan ini terdiri dari alat gesek, petik dan tiup seperti rebab, ukulele, biola, kecapi, fluite. Dimana permainan alat musik ini ada kemiripan dengan alat musik Gambang Kromong di tanah Betawi. Adanya Perkumpulan sosial Hok Kian Hwee Kwan di Lampung sekaligus sebagai wahana untuk mewariskan nilai-nilai filosofis, adat-istiadat dan kebudayaan yang telah diajarkan para leluhur. Sehingga dimanapun mereka berada kebiasaan-kebiasaan itu terus diindahkan dari genersi ke generasi.
*** 8047
Menurut beberapa literatur menyebutkan orang-orang dari Negri Cina yang merantau atau Huaqiao adalah sekelompok orang Tionghua yang merupakan satu suku tersendiri di Indonesia. Tetapi sebetulnya kalau menurut bahasa Cina, kata Huaqiao terdiri dari dua kata: Hua dan Qiao. Kata Hua mengacu pada suku Hua, yaitu sebuah suku yang kurang lebih 5.000 tahun lalu hidup di Dataran Cina sebelah Utara (Propinsi Henan). Suku ini sekaligus menjadi cikal bakal suku terbesar yang sekarang berada di Dataran Cina. Kata Hua ini pula yang muncul dalam sebutan Zhonghua atau Tionghoa (dalam bahasa Hok Kian). Kata Qiao secara harafiah tinggal sementara di luar negri, sering juga disebut merantau. Tekanan ada pada kata “sementara”. Maka, kata Huaqiao sebenarnya berarti orang-orang suku Hua yang tinggal sementara di luar negri
Menurut catatan sejarah, banyak orang-orang Tionghua sudah melakukan migrasi keluar dari daratannya sebelum masehi. Bahkan sudah ada yang berani menembus perdagangan hingga ke daratan Eropa, waktu itu terkenal dengan istilah jalan sutera dimana kekaisaran Roma sudah mulai menguasai kawasan tersebut.Lewat dari masa-masa itu masih banyak lagi orang-orang dari bangsa Cina yang mengadakan perjalanan ke India dalam rangka memperdalam agama Budha termasuk ke Asia Tenggara hingga Indonesia untuk memperjuangkan nasib.Dalam manuskrip yang ditulis oleh para petualang dari Negri Cina yang berasal dari tahun 513, 523 dan 616, jauh sebelum terbentuknya komunitas Tionghua di Nusantara, diketahui telah ada hubungan yang cukup berkelanjutan sejak abad V antara bangsa Cina dengan daerah-daerah di Nusantara.
Bila singgah ke negri Cina, saudagar-saudagar dari Nusantara berkesempatan membawa barang-barang keramik, sutera dan benang emas. Begitu sebaliknya, pedangang-pedangang Cina jika pulang dari Nusantara pasti mereka membawa emas, kayu cendana, sarang burung, damar dan sebagainya.Demikian tulis Z.A Mulani dalam salah satu artikelnya yang dimuat dalam buku Pri-Non Pri; mencari format baru pembauran.
Pada periode Diansti Ming (1368-1644) di bawah kaisar Yong Le (1402 – 1424) waktu itu sudah bisa disaksikan tampilnya sejumlah panglima dan petualang muslim seperti Zheng He dan Ma Huan yang pada umumnya berasal dari propinsi berpenduduk muslim, Yunan.
Nampaknya di sekitar abad XIV inilah gelombang pertama orang dalam negri Cina dalam jumlah yang besar berpergian ke Nusantara. Gelombang pertama ini pada umumnya terdiri dari pelaut, beragama Islam, berasal dari Yunan, sebuah propinsi di Selatan Cina.Sebagian dari mereka dalam petualangannya, karena alasan yang tidak pernah jelas, memutuskan tidak ikut kembali ke negri Cina dan memilih untuk menetap di kota-kota pantai Nusantara dan kawin dengan wanita setempat.Mereka, khususnya warga Tionghua muslim menjalani kehidupan berumah tangga dengan wanita pribumi dan sekaligus melakukan pembauran secara penuh dengan pnduduk pribumi.
Langkah inipun dilakukan pula oleh warga Tionghua pendatang lainnya, dimana pada penghujung abad XVII terjadi perpindahan agama, orang-orang Tionghua banyak yang memeluk agama Islam secara besar-besaran.Sehingga akhirnya sebagai Tionghua muslim mereka inipun kehilangan eksklusivisme, seolah-olah lenyap di telan bumi menyatu bersama penduduk asli.
Selanjutnya gelombang kedua migrasi bangsa Cina ke Nusantara terjadi abad XVII. Generasi Sum Kong yang diutarakan sebelumnya, bersama dengan munculnya orang-orang Belanda dan Portugis.Eksodus ini terjadi diduga ketika dinasti Ming diruntuhkan oleh dinasti Qing Mancu (1644 – 1911)Berbeda dengan migrasi gelombang pertama, kali ini kedatangan bangsa Cina didorong oleh karena adanya perang, kekacauan, kelaparan yang melanda negara tersebut pada waktu itu.Kalau pada migrasi pertama lebih bersifat sukarela, kali ini pengungsian terpaksa dilakukan untuk menghindari pergolakan. Maka diboyonglah sanak keluarga, umumnya mereka berasal dari suku Fujian ke Bumi Nusantara.Kalau pada migrasi pertama pendatang bangsa Cina yang muslim melakukan perkawinan sehingga mudah berbaur dengan masyarakat pribumi, tetapi pendatang gelombang kedua ini justru bersama sanak keluarganya.Mereka justru membangun permukiman baru sendiri atau lebih dikenal dengan nama Pecinaan. Sehingga kampung-kampung pecinaan itu banyak berdiri di Batavia, Semarang. Banjarmasin, Palembang hingga Teluk Betung. Pokoknya hampir di setiap bandar dimana terdapat pelabuhan perdagangan disinggahi para pendatang-pendatang baru dari daratan Cina kala itu.
Dalam tulisan Eddy Prabowo Witanto, pengajar pada Program Studi Cina Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang berjudul Historis Permukiman Etnis Cina di Indonesia menyebutkan bahwa permukiman kecil orang-orang dari daratan Cina sudah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang Eropa, terutama di bandar-bandar perdagangan sepanjang pantai.