MASUKNYA HUAQIAO DI LAMPUNG
Seperti di ketahui sifat utama rata-rata orang-orang Tionghua di perantauan, termasuk di Lampung adalah para pedangang, hanya sebagian kecil diantara mereka tercatat sebagai kuli (pekerja kasar diperkebunan). untuk mengawalinya mereka memulai dari lingkungan terdekat dan mengedepankan dasar kerjasama. Dilanjutkan dengan memupuk sikap saling tolong-menolong diantara anggota keluarga, berusaha hemat dalam pengeluaran, menjalankan pekerjaan dengan teliti dan rapi.Pembawaan yang sangat khas bagi huaqiao ini rupanya sangat menolong kehidupan warga Tionghua, khususnya keturunan Hok Kian di Lampung dan tetap dipertahankan hingga sekarang serta terus berkembang.
Namun bukti sejarah masuknya huaqiao ke tanah Lampung sulit ditelusuri, menurut berita dari negri Cina pada abad ke 17 dikatakan bahwa orang-orang Tionghua sudah mengenal kerajaan Tulang Bawang. Waktu itu menyebutnya sebagai To Lang P’ohwang. Ada juga berdasarkan cerita secara turun menurun menunjukan bhwa di era 1364 – 1643 di daerah Lampung sudah sangat terkenal sebagai tempat mencari hasil hutan.
Di era 1600-an orang-orang Cina perantau, khususnya dari keturunan Hok Kian sudah mengincar daerah ini karena sektor perdagangan agro industri sudah bisa dikembangkan. Tidak sampai disitu di zaman Hindia Belanda (1668) VOC sudah mendirikan Benteng Petrus Albertus di Tulang Bawang. Tempat itu dijadikan sebagai penampungan hasil-hasil pembelian lada di daerah Lampung Bagian Utara. Kemudian pada tahun 1738 VOC kembali menempatkan bentengnya “Val Kenoog” di Bumi Agung.
Pada tahun 1889 perkebunan kopi, karet serta lada banyak di buka di Onder Afdeling Teluk Betung, di Way Rate (1893). Terus berlanjut hingga permulaan abad ke-20 seperti di kawasan Way Halim, Langkapura, Kedaton, NatarMenurut buku Sejarah Kebangkitan Nasional di Daerah Lampung yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional disebutkan berdasarkan laporan dinas terkait yang tertulis dalam Encylopedie Van Nederlands India pada tahun 1905 warga Cina perantau yang sudah bermukim di Lampung tercatat sekitar 486 jiwa.Jumlah imigran dari Tionghua itu relatif lebih besar dari kedatangan orang-orang Arab yang hanya 108 jiwa atau bangsa Eropa yang hanya berjumlah 146 jiwa. Mereka sudah tinggal hidup di Lampung pada masa itu.
Di zaman tersebut hasil bumi Lampung sudah cukup terkenal, seperti lada hitam (black papper) yang sangat digemari oleh masyarakat Eropa. Begitu pula komoditi agro bisnis lainnya seperti kopi, cengkeh maupun hasil perkebunan berupa karet dan coklat sudah banyak dikembangkan di daerah dataran ini. Ada catatan khusus, menunjukan bahwa di era 1900 – 1928 sebagian besar roda perekonomian Lampung sudah banyak dikuasai oleh para Huaqiao.
Apalagi umumnya para Huaqiao itu lebih memilih bermukim di daerah-daerah kawasan pinggir pantai dan sentra-sentra perkebunan. Kala itu di daerah lampung cukup strategis ditambah dengan banyaknya bermunculan dermaga-dermaga pedukung jalur perdagangan komoditi agro bisnis. Bukti sejarah memperlihatkan pada tahun 1902 jalur perhubungan laut sudah terlihat ramai oleh kesibukan perdagangan komoditi. Itu dilakukan melalui Pelabuhan Teluk Betung maupun Pelabuhan Menggala.
Khusus, Pelabuhan Teluk Betung dinilai sangat strategis kerena dermaga tersebut merupakan satu-satunya pintu keluar masuk maupun ke/dari Batavia kala itu. Dalam perkembangannya di era yang sama semakin bertambah lagi sarana pelabuhan dengan adanya dermaga-dermaga kecil yang dibangun di Kota Agung, Krui dan Labuhan Maringgai. Dinamika perdagangan komoditi semakin marak begitu dibukanya Pelabuhan Panjang di sekitar tahun 1935.
Huaqiao di Lampung kala itu sudah terkenal dengan aktivitasnya sebagai pengusaha perdagangan hasil bumi. Bahkan VOC (Persekutuan Dagang Hindia Belanda) sudah lama mengincar Lampung sebagai pundi-pundi uang bagi pemerintah Hindia Belanda waktu itu.Rupanya Belanda Tertinggal dalam gerakan yang dilakukan para huaqiao. Dan orang-orang Tionghua perantau, khususnya dari suku Hok Kian terbilang hampur menguasai sebagian besar pasar dalam perdagangan hasil bumi, baik untuk kebutuhan lokal maupun dipasarkan ke luar negri. Perlu dicatat kehadiran orang-orang Tionghua yang masuk ke Indonesia maupun tinggal di seluruh penjuru dunia itu, baik di negara-negara maju, negara berkembang, bahkan negara terbelakang, sekalipun adalah orang-orang Tionghua yang awalnya sudah memulai untuk melakukan profesi sebagai pedagang.
Tidak terkecuali yang khusus tinggal di kota-kota besar, bahkan sampai di desa-desa terpencil, di situ akan dijumpai aktivitas perdagangan orang-orang dari bangsa Cina. Kelebihan itu dimiliki para Huaqiao, yang rata-rata pedangan itu, kemudian dimanfaatkan sekaligus dijadikan alat oleh Belanda di hampir setiap propinsi di Indonesia. Taktik Belanda, waktu itu untuk melaksanakan pengembangan kegiatan bisnis dagang mereka dama mengimbangi persaingan dagang dengan bangsa Romawi dan Portugis.
***