Budaya-Tionghoa.Net | Saya tertarik dengan topik yang Bung Ardian lontarkan tentang ‘kicap manis’ yang kayaknya ‘invented’ di Jawa. Hasil assimilasi kicap (asin) yang dibawa kakek moyang dari Tiongkok dengan selera perdapuran manis dari Jawa.
Sama seperti tempe – yang semula jadi tidak dikenal oleh orang Tionghua, nampaknya juga ditemukan di Jawa – orang Tionghua di Kalimantan dan Sumatera nampaknya cuma kenal tahu sebagai olahan dari kedele, baru kemudian kenal tempe setelah berinteraksi dengan orang-orang (Tionghua atau pun bukan) dari Jawa.
|
Bener sekali bahwa ‘assimilasi’ dalam makanan mengalir begitu saja, tanpa paksaan, tanpa SKB – Surat Keputusan Bersama, just flowing like water in the river. Dan, nampaknya berjalan damai, aman terkendali dan…. sedep-mantep =punya, euy!
Lihat saja betapa ‘dominasi’ Tionghua merasuk ke dapur Indonesia: bakso (bakwan), bakpau, bakphia, bakmi, sampai-sampai mereka pikir ‘bak’ adalah kependekan dari ‘babi’ – saking mereka kira semua orang Tionghua adalah pemakan (daging) babi. Mereka lupa bahwa banyak juga orang Tionghua yang beragama Islam. Kalau saja di seluruh daratan sana ada 10% saja muslim, jumlahnya sekarang mestilah 130 juta jiwa tuh, cukup signifikan ya, jeh!
Jangan heran kalau di resto ada beef steak dengan bahan babi, yang mestinya disebut sebagai pork steak atuh ya? Sedang bakso tahu ajah sekarang banyak variasinya, ada batagor, ada siomai (sebutan untuk Jakarta) yang berbumbu kacang, dan siomai goreng (baru muncul sebagai cemilan) menggantikan siomai kukus. Belum lagi cara lunpia diolah: gaya Surabayan pake saus tauco kentel ala bebek panggang, gaya Semarang pakenya saus seperti (sorry) leho aka lendir, gaya Bogor isinya pake bengkuang dan hebi, dan tidak digoreng, gaya Jakarta isinya tahu + toge dengan saus kacang. Lalu muncul sumpia – lunpia mini sebesar kelingking isi abon. Dan seterusnya……
Photo Credit : Creative Commons , “Kecap Asin dan Kecap Manis” .
Saudara kita yang muslim mestilah pandai-pandai membuat substitusi bahan daging (babi) dengan bahan lain, seperti bakso yang dibuat dari (daging) sapi, ayam atau ikan. Walau namanya masih mengandung ‘bakso’ (yang bener itu sebutan di Surabaya: bakwan), tapi mereka tidak anggap lagi sebagai masalah – walau sebagian kecil masih anggap ‘bak’ = babi.
Berbeda dengan cara tourist promotion board Malaysia, yang kabarnya mau memaksakan ‘assimilasi’ bak kut teh dengan label ‘halal’ – lantas mengundang protes dari kalangan muslim di sana, sehingga akhirnya promosi bak kut teh dihentikan.
Bak kut teh sendiri, yang dijual itu biasanya sih cuma bumbu rempah-nya. Lalu bak kut (daging bertulang – biasanya iga) yang biasanya memakai babi, digantikan dengan sapi atau kambing – ayam sih definitely impossible, saking kecilnya tulang iga mereka toh? Mereka anggap bak kut teh yang sudah kadung identik dengan iga babi, lantas mau dikasih label halal. But, his name is also effort sih ya. Nice try, jeh!
So, daripada berkutat tentang assimilasi yang ideal itu seperti apa, mungkin (cuma mungkin, tidak bermaksud memaksakan kehendak nih) ada baiknya kalau mengikuti gaya assimilasi dalam hal makanan – biarkan saja mengalir dengan sendirinya, ndak usah ada paksaan dari sesiapa pun juga. Kalau soal pendapat sih, semua pendapat bener adanya. Kerana pendapat itu toh keluar dari mind set yang berbeda-beda dengan pengalaman dan latar belakang yang berbeda-beda pula.
Jadi, kapan masak rendang kaksim nih?
Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng , 51224
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua