Serui, Potret sebuah Kuali Peleburan
Ketertarikan saya terhadap kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia Timur makin besar ketika saya mendapatkan kesempatan menjejakkan kaki di Serui. Sebuah kota kecil yang terletak di Pulau Yapen, terletak di sebelah utara wilayah Papua Barat. Disinilah saya melihat Papua sebagai sebuah melting pot besar, amat jauh seperti yang digambarkan orang-orang di Jawa dan Jakarta: Papua yang hitam keriting, Papua yang identik dengan koteka dan Papua yang berarti kehidupan liar tak terjamah.
Kenyataannya pulau Papua sangat luas dan terlalu heterogen. Tercatat ada 255 suku asli dengan bahasa yang amat berbeda-beda. “Beda teluk saja, sudah sangat beda bahasa,” kata Ricky The yang menemani saya menyusuri wilayah Serui Laut – hanya berjarak 2 km dari kota Serui. Tempat kelahiran Menteri Perhubungan Fredy Numberi ini mempunyai bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa orang Serui. Kami melewati sebuah pasar yang bukan saja warna-warni dengan berbagai macam barang plastik, pakaian dengan model terbaru, makanan instan, sayur, buah dan ikan, tapi juga beraneka ragam warna dan bentuk orang-orangnya. Jauh dari kesan “hitam-keriting” dan terasing.
Suku-suku pendatang yang kini menetap di Papua, banyak berasal dari Buton, Bugis, Makasar, Pulau Kei dan Jawa, membuat laju perdagangan berdetak cepat. Sebuah paradoks yang membuka Papua terhadap modernitas, sekaligus memicu konflik horisontal.
Sebuah penelitian yang diterbitkan East-West Center -sebuah lembaga riset dan pendidikan yang bertujuan mendukung kestabilan dan perdamaian di kawasan Asia Pasifik- mencatat bahwa gesekan antara penduduk asli Papua dengan kaum pendatang dimulai saat gelombang migrasi besar-besaran terjadi di tahun 1970. Papua memang sudah makin sering disinggahi sejak zaman perdagangan rempah. Namun penemuan lokasi tambang di awal tahun 1930-an dan kebijakan transmigrasi telah membuat Papua menjadi magnet bagi para pendatang yang mengharap kehidupan baru. Sensus etnis pertama di Papua yang dilakukan pada tahun 2000 mencatat penduduk Papua terdiri dari 38% suku Jawa, 25% suku-suku dari Sulawesi, dan 7% dari Ambon. 30% sisanya campuran dari penduduk asli dan suku-suku minoritas lainnya, termasuk suku Tionghoa yang walaupun kecil jumlahnya, mempunyai pengaruh signifikan selama berabad-abad sebagai middleman minority (minoritas perantara) antara jaringan perdagangan eksternal dengan penduduk asli. Posisi ini masih terjaga sampai saat ini, dimana etnis Tionghoa di Papua umumnya menjadi distributor dan mempunyai toko dan kapal yang membawa barang dari Jawa dan Makasar.
Di tahun 1980-an tokoh-tokoh adat Papua menaruh perhatian serius pada pendatang yang mereka juluki BBM (Buton-Bugis-Makasar). Suku-suku yang berasal dari selatan Sulawesi ini di-stereotip-kan sebagai pedagang agresif yang tidak mau beradaptasi dengan budaya lokal dan kerap menipu dalam berdagang. Mirip dengan stereotip yang dilabelkan kepada etnis Tionghoa di wilayah lain Indonesia.
Gesekan ini pun berujung pada kerusuhan dan pembakaran pasar. Sebut saja peristiwa Abepura 1996, Entrop 1999-2000 dan Sentani di tahun 2000. Pada peristiwa di bulan Oktober 2000, dipicu oleh kemarahan penduduk asli kepada tentara, mereka melampiaskan kemarahan kepada para pendatang asal Sulawesi ini. Akibatnya 30 orang meninggal dan ratusan pendatang mengungsi dari Wamena. Menariknya, Papua tidak pernah mempunyai sejarah kerusuhan anti-Tionghoa.
Fakta-fakta ini melompat-lompat dalam benak saya sepanjang perjalanan. Mengapa terjadi perbedaan pola hubungan antara etnis Tionghoa di Papua dengan etnis Tionghoa di wilayah lain dimana telah menoreh rentetan kerusuhan anti-Tionghoa.
“Wah saya sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu,” ungkap Ricky ketika saya mencoba melemparkan fakta itu. “Masyarakat Papua dan etnis Tionghoa di sini sudah seperti saudara. Itu sudah.”