Dari Satu Tumbuh Seribu
Hari itu, di bawah panasnya mentari bulan September, Ricky membawa saya menemui keluarga besar Toroa, sebuah keluarga generasi “perancis” terbanyak di kota Serui. Bermarga Tan, keluarga ini mencapai 500 KK dengan anggota yang tersebar di Serui, Biak, Jayapura, Yobi, Sorong dan Raja Ampat. Cucu-cicit mereka juga banyak yang merantau di Jakarta, bahkan sampai ke luar negeri. Selain Tan, marga lain yang terbanyak di pulau adalah The, Oei, Soe, Yo, Sie, Goan, Thung, Chung, Cheng, Chi dan Bong.
Ricky adalah generasi ketiga “perancis” dari Keluarga Toroa. Tubuhnya gempal dibalut kulit coklat merata. Rambutnya ikal dan matanya sipit. Ia tidak tampak Tionghoa, tapi juga tidak seperti orang Papua. Ricky bermarga The, karena ikut marga ayahnya The Tian Ho, pedagang Tionghoa asal Sangir Talaud, yang tinggal di sebuah pulau wilayah Ansus. The Tian Ho menikah dengan perempuan keluarga Toroa.
Setiap minggu, keluarga yang sudah berlipat-ganda menjadi enam generasi ini berkumpul untuk mengadakan kebaktian keluarga. Mereka semua beragama Kristen Protestan. Hal ini tidak mengherankan karena faktor pengaruh sejarah misionaris Kristen yang mendominasi wilayah utara pulau Papua, sementara misionaris Katholik memusatkan kegiatannya di selatan Papua.
Kebaktian keluarga dipimpin oleh Frans Tan, seorang pendeta yang juga aktif di pemerintahan. Ia pernah menjadi Sekretaris Wilayah Daerah Wamena, dan pejabat Bupati sementara di Tolikara dan Biak. Frans juga menjadi Ketua Perkumpulan Keluarga Besar Toroa. Awalnya perkumpulan ini dibuat supaya mereka bisa mendata silsilah keluarga untuk mencegah baku kawin di antara cucu-cicit mereka. Belakangan, mereka ingin membuat organisasi yang lebih resmi dengan AD/ART dan berpayung hukum. “Supaya diakui,” kata Frans.
Menurut Frans, Toroa adalah nama yang diberikan kakek mereka untuk sebuah pulau di wilayah Ambai. Artinya “di sini kami berdiri untuk maju”. Di pulau inilah, Tan Kai Tjok, leluhur dari mereka semua, datang dari provinsi Fujian di Tiongkok untuk mencari hasil bumi. Ia datang berdua dengan keponakan laki-lakinya, Tan Siu Liu.
Kedatangan etnis Tionghoa di Papua memang dipicu oleh perdagangan hasil bumi dan burung kuning. Mereka datang seorang diri atau dalam kelompok-kelompok kecil. Ada juga yang bolak-balik datang dan pergi dengan kapal-kapal laut. Agak berbeda dengan di Batavia atau bahkan wilayah tetangga Papua Nugini yang dikuasai Inggris dan Jerman di mana sempat merasakan gelombang masal migrasi etnis Tionghoa sebagai pekerja pabrik dan tambang.
Tak semua pedagang Tionghoa yang berlabuh di bumi cendrawasih beruntung. Banyak juga yang menjadi tawanan penduduk asli, dibunuh, diterkam binatang buas, atau meninggal karena malaria. Beragamnya suku asli di Papua dengan karakter yang berbeda-beda juga berpengaruh pada keberadaan etnis Tionghoa saat ini. “Banyaknya etnis Tionghoa di Pulau Yapen dan pesisir Papua adalah karena suku-suku yang tinggal di pesisir cenderung lebih terbuka pada orang asing,” jelas Frans. Faktor alam Papua yang sangat menantang juga membuat kehidupan pesisir jauh lebih bergairah daripada di pedalaman.
Kondisi ini membuat para perantau Tionghoa yang bertekad tetap mencari peruntungan di tanah Papua harus melakukan ekstra usaha. Mereka belajar bahasa dan adat setempat, memperkenalkan teknologi baru, sampai memikat suku-suku asli melalui perka¬winan. Termasuk Tan Kai Tjok.
Setelah meminang Moibin Mabonai, anak salah seorang tetua adat Desa Manawi bermarga Mabonai yang cukup berpengaruh, Kai Tjok memboyong Moibin ke pulau Toroa yang masih tak berpenghuni. Di pulau kecil berjarak sekitar satu kilometer dari pantai itu, Kai Tjok mendirikan toko yang menjual macam-macam barang dengan cara barter.
Selain memberi nama Mandarin, ia juga memberi nama anak-anak mereka dengan nama marga istrinya. Misalnya, Tan Kui Hoa, salah satu anaknya yang masih hidup sampai saat ini, punya nama ‘lokal’ Yemima Mabonai. Hal ini untuk membuat keturunan mereka masih diakui dan memiliki hak tanah adat atas nama Mabonai, karena suku Papua mengakui anak-anak perempuan sebagai ahli waris. Belakangan, saat keturunan menjadi makin banyak, generasi ketiga memakai nama keluarga Tan Bonai, perpaduan antara marga Tan dan marga Mabonai.
Penggunaan nama marga ibu dilakukan oleh semua anak-anak keturunan Tionghoa di Serui dan Biak. Misalnya keluarga Thung yang memakai nama Raweyai dan keluarga Chung yang memakai marga Erari. Marga Papua lain yang dipakai adalah Imbiri, Wairara, Abba, Sengkui, Ayorbaba, dan lain-lain. Biasanya generasi kedua dan ketiga masih mempunyai nama Mandarin selain nama lokal. Namun kini, cucu-cicit mereka sudah memakai nama lokal atau nama barat diimbuh marga ibu.
Tetua masyarakat Ambai sampai saat ini masih mengingat sepak terjang Kai Tjok di pulau Toroa. Ketika saya menyebut nama nenek Moibin, mereka langsung ingat dengan Kai Tjok. Mereka menyebutnya tete kepala kosong, karena penampilannya yang khas penduduk Tiongkok Dinasti Qing: botak dengan kuncir panjang dan celana panjang kain yang diikat tali. Tete adalah panggilan masyarakat Papua bagi kakek.
Kai Tjok memilih tinggal di pulau karena lebih mudah baginya untuk berdagang di laut. Kapal besar tidak bisa masuk sampai ke darat. Masyarakat datang ke pulau Toroa dengan sampan membawa berbagai macam hasil laut dan hutan: bulu burung, bia (kerang), tripang, kayu masoi, damar, dan lain sebagainya. Di toko itu Kai Tjok menukarnya dengan keramik, piring, dan guci dari Tiongkok, juga kain-kain, sembako dan pisau yang datang dengan kapal besar dari Singapura.
Kai Tjok juga mengajarkan teknologi menanam padi, menumbuhkan dan mengasinkan kol, membuat mie, membuat garam, kecap, dan pengobatan tradisional Tiongkok kepada istri dan sembilan anaknya. Ia bahkan mengajarkan kungfu pada anak laki-laki. Mereka semua hidup mandiri dan berkecukupan dengan mengusahakan kebutuhan keluarga sendiri. Semua anak harus bekerja dengan disiplin. Kai Tjok juga mengajarkan merangkai kerang menjadi rompi pada penduduk Ambai. “Inilah masa dimana kampung Ambai mulai mengenal orang-orang dan budaya asing,” kata Frans.
Transfer teknologi seperti menanam padi dan merangkai manik-manik juga terjadi di Ansus. Sebelum Jepang menghancurkan wilayah ini, penduduk Ansus mempunyai cukup banyak lumbung padi.
Keluarga Toroa masih mewarisi beberapa ajaran Kai Tjok. Seusai kebaktian keluarga, saya disuguhi hidangan bernama Mie Ke. Rasanya memang seperti mie, karena terbuat dari terigu dan telur. Tapi penampakannya tidak sama dengan mie yang kita kenal. Mie-nya lebih mirip dengan potongan otak-otak. “Adonan terigunya dicubit kecil-kecil. Memang caranya begitu. Mungkin karena dulu tidak ada gilingan mie,” kata Linda Tanbonai yang menjadi juru masak. Mie ini dicampur de¬ngan sayur dan kari ikan, lalu disantap dengan sagu. Hampir semua penduduk Serui dan Ambai tahu resep hidangan Mie Ke.
Uniknya, sehabis makan mie, seluruh keluarga menikmati makan pinang yang dikunyah bersama kapur dan buah sirih, membuat bibir dan gigi mereka merah oranye. Cara mereka makan cukup lahap dan terlihat sangat menikmati. Ini adalah pemandangan umum yang akan kita jumpai di seluruh daratan Papua. Para penduduk asli Papua sangat menikmati makan pinang sampai-sampai banyak himbauan “dilarang meludah pinang di tempat umum”.
Ilmu lain yang masih diwarisi kIlmu lain yang masih diwarisi keluarga adalah ilmu mengobati dengan tulisan Mandarin. Engkong Kai Tjok memang kerap bertindak sebagai tabib bagi orang-orang kampung dengan ‘ilmu’ yang dimilikinya. Konon, hanya keturunan ‘berbakat’ yang bisa mewarisi talenta ini, termasuk Ricky. Walaupun sudah beragama Kristen, keturunan Toroa percaya “ilmu” ini sangat manjur untuk mengobati sakit demam, pendarahan dan saat tertelak tulang ikan. Caranya, segelas air disiapkan untuk diminum, ‘mantra’ lalu disebutkan sambil menuliskan huruf Mandarin di atas air dalam gelas itu. Tak seorang pun keturunan Kai Tjok bisa berbahasa dan membaca huruf Mandarin itu. Namun Ricky dengan piawai menuliskannya sambil menyebut kata-kata Ci Tiu En Bau Sen Si Go Bi Yu So Se Ai. “Tapi saya tidak tahu artinya apa, yang penting manjur!” Ia tergelak.