Para Perintis di Selatan
Di tepi pantai sebuah teluk besar yang tenang, berderet bangunan toko berhadap-hadapan sepanjang satu kilometer. Tersanggah dengan tiang-tiang beton beratapkan seng, halaman belakang bangunan langsung terhubung dengan laut. Dari pantai terlihat jajaran kapal parkir di tepi tiap rumah. Menjelang sore, kawasan ini mendadak ramai, penuh dengan pedagang asongan, penjual makanan dan pengunjung yang menghabiskan malam. Inilah “china town” kota Kaimana, terletak di wilayah kota tua Kabupaten Kaimana, Papua.
Di tempat inilah, Ang Kim Hie (78) lahir dan menjadi tua. Ia adalah salah satu dari generasi kedua etnis Tionghoa yang menetap di pesisir selatan Papua. Ayahnya datang dari Fujian untuk mencari burung cendrawasih, kulit buaya dan membuat minyak lawang. “Dulu tempat ini masih hutan, tidak ada kota atau penduduknya. Ayah dan teman-temannya datang lalu membangun kota,” tutur nenek berkulit putih ini sambil menerawang. Kota dibangun untuk menjadi sentra perdagangan atas hasil hutan yang dikumpulkan dari penduduk asli di pedalaman untuk dibawa dengan kapal-kapal.
Di wilayah pesisir selatan Papua, para pedagang Tionghoa ini menjadi perintis yang membuka jalur komunikasi, perdagangan dan peradaban. Drabbe, ilmuwan Inggris yang menetap di Mimika pada 1935 mengumpulkan data dari suku Kamoro melalui amoko-kwere, penterjemah dan penghubung suku Kamoro terhadap dunia luar. Mereka mengatakan bahwa para pedagang Tionghoa adalah orang asing pertama yang mereka lihat, sepuluh tahun lebih awal dari orang-orang Eropa. Bahkan setelah pemerintahan Belanda mengukuhkan kantor administrasi di Mimika, hubungan antara Belanda dan suku Kamoro dilakukan melalui perantara Tionghoa.
Sebuah legenda juga dikisahkan oleh suku Kamoro. “Pada masa Nati Atana (periode waktu yang dipakai suku Kamoro sebelum 1920), Atokoaripiti dari Amarapia suatu hari pergi memancing di pantai. Ia melihat sebuah kapal mendekat. Ternyata mereka adalah pedagang Tionghoa dari Kaimana. Orang Tionghoa itu berlabuh dan menggelar berbagai macam barang, seperti kain merah, kapak, golok, pisau, tembakau dan buah pinang. Dengan bahasa isyarat orang Tionghoa itu menunjukkan bahwa kami bisa memiliki semua barang itu bila kami mengumpulkan damar, kayu kuning, kulit masoi, dan sagu. Hampir setiap bulan orang Tionghoa ini datang untuk mengumpulkan hasil hutan. Ia bahkan membuat pondok. Sejak saat itu, tiga warga suku dari pedalaman pindah dan tinggal di pantai, lalu beranak-cucu menjadi orang Amaparia sampai saat ini.” Suku Kamoro kemudian menyebut orang Tionghoa “tena-we” (berasal dari kata tina, sina atau cina) dan menyebut kapal mereka “tena-ku”.
Drabbe juga mencatat bahwa pada 1917, 16 etnis Tionghoa utusan Ong Kie Hong dari Kaimana pergi ke Mimika untuk mencari burung cendrawasih, burung kasuari, kulit buaya dan damar. Kedatangan mereka membuat komunitas suku pedalaman mulai berpindah ke pantai untuk mendapatkan akses lebih mudah akan barang-barang asing. Suku Kamoro amat tertarik dengan barang-barang besi terutama pisau dan golok yang sering mereka asosiasikan dengan kejantanan dan kepahlawanan.
Kegiatan barter dan perdagangan yang makin bergairah ini juga menguntungkan pemerintahan Belanda yang kemudian membentuk kantor administrasi di Mimika dan Kaimana. Vink, administrator Belanda untuk Papua Barat mulai mencatat penerimaan pajak di tahun 1924. Ia juga mencatat bahwa masyarakat Tionghoa datang dari teluk Aguni dan Kaimana untuk bekerja sebagai pengumpul damar. Mereka menerima uang muka dari pengepul besar seperti Ong Kie Hong. Secara administratif menurut aturan Belanda, peng¬usaha Tionghoa harus membayarkan pajak bagi pegawai mereka, yang diperhitungkan sebagai hutang si pegawai oleh bosnya. Pendatang baru yang menjejakkan kaki di Mimika secara otomatis berhutang pajak sebanyak sepuluh sampai lima belas guilder. Jumlah ini lumayan banyak, karena bila tidak cukup be¬kerja keras, mereka akan terjebak dalam lilitan hutang. Makanan, beras dan sagu mereka beli dari toko-toko milik sesama Tionghoa. Banyak yang datang dengan istri dan anak mereka dari Tiongkok. Perkawinan dengan perempuan lokal juga kerap terjadi.
“Ibu saya masih asli dari Tiongkok,” jelas Kim Hie seakan menjawab mengapa perawakannya sangat mongoloid. Setelah ayahnya sukses di Kaimana, ia pulang ke Tiongkok untuk menjemput istri. “Saya kemudian lahir dan besar di sini.” Kim Hie lalu menjelaskan bahwa ibunya punya kaki sangat kecil karena masih terkena tradisi lilit kaki yang awam terjadi pada masa Dinasti Qing. Orang setempat memanggilnya “mama kaki kecil”.
Punya dua istri atau lebih, dinilai wajar pada masa itu. Para pedagang Tionghoa ini bisa punya istri asli dari Tiongkok dan lalu memperistri perempuan lokal. “Kawin dengan penduduk setempat disebut kawin hasil,” kata John Ang, generasi kedua yang ayahnya punya keahlian fotografi. Sambil memperlihatkan foto-foto kota Kaimana saat pertama dibangun hasil jepretan ayahnya, ia menjelaskan bahwa melalui kawin hasil, para pendatang ini akan lebih diakui oleh penduduk setempat dan ikut berhak dalam pembagian tanah warisan keluarga.
Detak gairah perdagangan membuat kota Kaimana dan pesisir Mimika tumbuh menjadi sebuah komunitas yang plural. Melalui pajak yang diterima, Belanda kemudian membangun sekolah-sekolah di wilayah Kokonao dan Migiwia. Dengan bantuan gereja Katholik yang mendatangkan guru-guru suku Ambon dari pulau Kei, sekolah dengan nafas misi penyebaran agama Katholik menjamur di Atuka, Keakwa, Paripia dan Timuka. Keha¬diran sekolah kemudian menjadi faktor utama berpindahnya suku Kamoro dari pedalaman ke pesisir, di mana awalnya dipicu oleh barter barang de¬ngan orang Tionghoa. Suku Kamoro menikmati akses mudah akan barang-barang asing terutama pisau dan golok sebagai kompensasi atas tuntutan para guru yang mulai mensosialisasikan agama Katholik melalui sekolah. Suku-suku asli lain dan pendatang suku Nusantara pun tertarik dan mulai berdatang¬an ke wilayah ini. Sensus Belanda tahun 1920 mencatat ada lebih dari 30.000 orang hidup di pesisir selatan wilayah kepala burung, Fak-fak, Kaimana, sampai Mimika. Terdiri atas 42 orang Eropa, 375 orang Tionghoa, 91 orang Arab, 1448 orang macam-macam suku Nusantara dan 28.056 penduduk asli.