Politik Dagang yang Membedakan
Toko kelontong Merpati di Serui selalu ramai dikunjungi pembeli. Selain lengkap, toko ini juga cukup besar. Yang membuatnya unik adalah meja dupa kecil terlihat di pojok toko, satu-satunya meja dupa yang bisa saya temukan di Serui. Keluarga Merpati -demikian masyarakat Serui menamakan mereka- termasuk sukses. Selain punya dua toko besar, mereka juga memiliki hotel dan restoran. Semua itu berawal dari jerih payah Chi Hoy Sam, perantau yang datang bersama isteri berkaki kecil dari Tiongkok.
Tak banyak yang ingat kegiatan Hoy Sam sebagai kapiten Tionghoa. Goan Piabon Mai, salah seorang sesepuh Tionghoa di Serui mengatakan bahwa Hoy Sam ditunjuk oleh komunitas Tionghoa untuk mengurus komunitas Tionghoa dan mewakili mereka di hadapan pemerintah Belanda. “Macam kapiten Tionghoa di Jawa… tapi kami yang mengusulkan, Belanda nurut saja,” katanya.
Piabon May juga tidak merasakan adanya perbedaan yang dibuat Belanda kepada etnis Tionghoa maupun etnis asli Papua seperti di Jawa. “Tidak ada kawasan khusus yang memisahkan kami dengan penduduk lokal. Dulu waktu zaman mencari damar justru kami tinggal di kampung-kampung.” Belanda juga tidak pernah menerapkan pajak khusus untuk perjalanan atau pajak konde. Di Batavia, sejak 1740 kebijakan passenstelsel diterapkan bagi etnis Tionghoa yang hendak berpergian ke luar distrik tempat tinggalnya. VOC juga menerapkan wijkenstelsel yang mengharuskan etnis Tionghoa tinggal di kawasan-kawasan khusus Tionghoa. Kebijakan inilah yang sering dituduh menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi etnis Tionghoa dengan suku lainnya.
Belanda tampaknya memang menerapkan sistem politik dagang yang berbeda di tanah Papua. Pada daerah jajahan lain, Belanda menguasai masyarakat melalui kepala adat atau kaum bangsawan. Di Papua, Belanda memakai guru sekolah dan pekerja gereja yang didatangkan dari Pulau Kei dan Manado untuk mengontrol masyarakat lokal.
Sejak pertama kali Belanda mendapat izin Kesultanan Tidore untuk menjejakkan kaki di Papua, mereka berharap dapat menemukan sumber kekayaan baru, seperti emas. Namun tak seorang pun penjelajah Belanda mampu memberikan laporan positif. Willem Jansz, tidak mampu menemukan keberadaan emas ketika pada 1605, selama satu tahun ia menyusuri pantai-pantai Papua de¬ngan hasil nihil. Ekpedisi kedua Belanda pada 1623 mengutus Jan Carstensz yang juga kecewa terhadap tanah dan penduduk asli Papua. Bukannya menemukan ‘harta karun’ yang mereka cari, ia malah bertemu dengan sekelompok suku pemakan manusia.
VOC yang tak punya minat sama sekali untuk membangun tanah ini kemudian membuat kesepakatan dengan Tidore sepanjang abad 17 dan 18 bahwa wilayah Papua tetap menjadi benteng Belanda untuk mencegah pengaruh Spanyol dan Inggris makin besar di timur Nusantara. Selain karena kebijakan pusat kolonial Belanda mengharuskan biaya serendah mungkin bagi penjelajahan Papua, para pejabat kolonial menganggap Papua sebagai wilayah yang tidak bisa diakses. Kontrol minimum dilakukan di beberapa wilayah pantai hanya untuk mengawasi saingan dagang dari negara Eropa lain. Tak seperti wilayah lain dimana Belanda berhasil mengeruk sebanyak mungkin hasil alam berkat politik devide et impera-nya, kehadiran orang Belanda di Papua cenderung bisa diterima baik oleh suku asli maupun suku pendatang lainnya dan tidak dianggap mengancam.
Usaha Belanda untuk membuka potensi pedalaman Papua terus-menerus gagal karena wabah penyakit dan sulitnya berkomunikasi dengan suku-suku asli. Baru di tahun 1930, ekspedisi Belanda baru berhasil menembus lembah Baliem. Namun sampai 1950, wilayah pedalaman tetap belum banyak terjamah. Laporan peme¬rintah Belanda pada 1951 bahkan masih mencatat Papua sebagai “tanah tandus, yang potensi pembangunannya terkendala oleh iklim tidak sehat, area-area buntu, dan kurangnya tenaga kerja”.
Berbeda dengan Belanda, para perintis Tionghoa di Papua melabuhkan cinta dan dunianya pada tanah yang ternyata kini sangat menjanjikan. Mereka hidup dan beranak-cicit, menciptakan generasi baru yang menyentuh perpaduan sosial dan budaya.** (Lisa Suroso)
Lisa Suroso
29 December, 2009
Foto: Eric Satyadi
Sumber :
- http://lisasuroso.wordpress.com/2009/12/29/cerita-ciko-di-bumi-cendrawasih/
- http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/47419
Photo Credit
- Eric Satyadi dstnya
- Keterangan Foto Kedua , Kampung Ansus, sebuah desa di atas laut. Wilayah ini sempat menjadi pusat lumbung padi sebelum dihancurkan Jepang pada tahun 1942. Penduduk Ansus mengenal teknologi menanam padi di darat dan merangkai manik-manik dari para pedangang Tionghoa.