|
Ariel Heryanto (2008: 71) mengamati bahwa sejak 1998 kita telah melihat “suatu kebangkitan dramatis†(a dramatic emergence) karya-karya tentang ketionghoaan yang mengisi suatu kekosongan yang telah lama tercipta di masa Orde Baru. Pada saat itu segala sesuatu yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) dikekang oleh pemerintah, sehingga relatif tidak banyak tulisan tentang Tionghoa (bandingkan dengan Heryanto, 1997: 26-45). Tragedi Mei 1998 yang ditafsirkan sebagai suatu “kekerasan rasial†terhadap etnis Tionghoa, menimbulkan respons berupa suatu pengakuan baru atas diri mereka beserta sejarah panjang pemarjinalan mereka. Maka ditambahkan oleh Heryanto (2008: 71), bahwa Tionghoa telah menjadi salah satu ciri populer dalam kesusasteraan, seni rupa dan film kontemporer Indonesia.
Hal yang menarik adalah bahwa sebagian besar para penulis fiksi terebut relatif tidak banyak dikenal oleh publik. Pernahkah Anda mendengar nama Anwar Haris, Lalu Mohammad Zaenudin, dan Nisa’ul Kamilah Chisni? Mungkin belum, dikarenakan mereka relatif adalah penulis baru dan berusia muda. Karya-karya fiksi. khususnya yang ditulis oleh penulis non-Tionghoa, kadang bersifat “marginalâ€, terbit dari penulis yang debutan dan diterbitkan oleh penerbit baru atau kecil. Jadi tidak mudah untuk menemukan hasil karya mereka, seorang peminat yang serius mesti browsing dengan teliti di toko buku. Kesulitan lainnya, begitu buku diturunkan dari rak di toko-toko buku utama, akan tidak mudah untuk mendapatkannya karena buku-buku tersebut bukanlah karya mainstream ataupun keluaran penerbit yang sudah established. Padahal karya-karya tersebut penting untuk melihat persepsi, opini atau pun harapan penulis non Tionghoa pada golongan Tionghoa.
Total jumlah karya fiksi yang berhasil dikumpulkan dari bulan Juni 1998-Juli 2009 adalah sebagai berikut. Untuk penulis non Tionghoa sebanyak 30 karya dan penulis dari kalangan Tionghoa sebanyak 11 (lihat detilnya pada tabel 1 dan tabel 2). Tentu penulis tidak ingin mengklaim bahwa jumlah 41 karya tersebut sudah mencakup seluruh fiksi ketionghoaan di masa Reformasi ini, karena kemungkinan masih ada karya-karya yang terlewatkan. Buku terbitan dalam negeri cukup susah dilacak keberadaannya, di tengah booming bisnis penerbitan buku di masa pasca Orde Baru. Banyak penerbit belum mempunyai website untuk mempromosikan produk-produk terbaru mereka. Demikian juga buku-buku produk penerbit luar Jawa susah didapatkan di Jawa. Untunglah dewasa ini kehadiran berbagai toko buku online dengan fasilitas mesin pencari sangat banyak membantu.
Tulisan ini menelusuri karya fiksi dalam berbagai bentuk buku tercetak. Menarik sekali menjumpai kisah tentang orang Tionghoa sudah muncul dalam berbagai medium: Novel, Cerita Pendek (cerpen), Drama, Nomik (Novel Komik, perpaduan novel dengan komik). Bahkan karya berbentuk Chicklit (bacaan ringan untuk perempuan usia 20-30 tahun) dan maupun komik (cergam=cerita bergambar) yang sering diremehkan kualitasnya pun ternyata ada juga yang membawa isu ketionghoaan yang cukup menarik untuk diteliti.. Berhubung fokus adalah pada karya yang sudah dicetak dan diterbitkan, maka penulis tidak membahas tulisan-tulisan fiksi di website, misalnya di www.cafenovel.com, yang banyak memuat cerpen-cerpen bertema ketionghoaan dari beberapa penulis muda Tionghoa..
Kategorisasi pengarang atas dasar etnisitas ini disusun untuk menggambarkan seberapa besar minat masing-masing kelompok atas isu ketionghoaan. Data biografis yang kebanyakan tercatat dalam buku karya penulis yang bersangkutan, ditambah dengan browsing di internet menjadi pijakan untuk menentukan etnisitas seorang penulis. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa terjadi kesalahan dalam pengklasifikasian secara etnis tersebut, berhubung satu dan lain hal yang tidak bisa diatasi oleh penulis. Data yang didapat menunjukkan bahwa penulis non-Tionghoa menunjukkan minat yang jauh lebih besar dalam soal ketionghoaan dibandingkan mereka yang berlatarbelakang Tionghoa.
Angka 41 karya di atas sama sekali tidak otomatis berarti kecilnya minat para pengarang pada soal-soal ketionghoaan. Jangan dilupakan kehadiran novel-novel umum, yang tidak bertema khusus Tionghoa, namun memiliki tokoh atau plot yang berhubungan dengan Tionghoa, misalnya tetralogi Laskar Pelangi karya best seller Andrea Hirata. Tokoh A Ling, perempuan Tionghoa asal Belitung, menjadi dambaan sang protagonis. Ikal, yang adalah anak Melayu. Tulisan-tulisan Remy Silado banyak yang memiliki tema Tionghoa, namun mereka relatif sudah dikenal baik oleh khalayak umum, jadi tidak disorot secara khusus dalam tulisan ini. Misalnya Ca Bau Kan (best seller dan sudah dibuat film layar lebar), Sam Poo Kong, 9 Oktober 1740, dan Siau Ling.
Adapun ke empat puluh satu karya fiksi dari periode Juni 1998 hingga Juli 2009 bisa digolongkan ke dalam delapan tema besar sebagai berikut.
1. Kekerasan
Rupanya tema kekerasan cukup dominan dalam corpus ini, baik Tragedi Mei 1998 (yang menarik cukup banyak minat penulis) maupun kekerasan lainnya. Pamela Allen, (2003: 394; 2004: 109) seorang peneliti sastra Tionghoa Indonesia asal Australia menulis ‘The Tragedi Mei has become a cornerstone of much writing about Chinese identity since the fall of Suharto’ (‘Tragedi Mei telah menjadi suatu landasan dari banyak tulisan tentang identitas Tionghoa sejak jatuhnya Suharto’). Pertama akan dibahas karya-karya yang berhubungan dengan Tragedi Mei 1998.
Dalam hal ini sang pelopor adalah Seno Gumira Ajidarma, seorang wartawan serta penulis yang cukup produktif. Hanya selang satu bulan setelah Tragedi Mei, Seno menulis cerita pendek “Clara atawa Wanita yang Diperkosa†(tertanggal 26 Juni 1998). Tulisan ini dipublikasikan pertama kali ketika dibacakan oleh Adi Kurdi dan Ratna Riantiarno, di Galeri Cipta TIM, 10 Juli 1998, yang kemudian dimuat harian Republika, 26 Juli 1998. Cerpen ini berkisah tentang Clara, seorang perempuan Tionghoa korban perkosaan Mei 1998. Pada waktu itu berkembang polemik yang cukup panas tentang ada tidaknya perkosaan atas perempuan Tionghoa. Pemerintah dengan tegas menolak kemungkinan itu atas dasar tidak adanya laporan yang masuk dari korban. Rupanya Seno cukup geram dengan sikap tersebut dan menulis ‘Clara’ (Allen 2003: 396). Seno sendiri adalah seorang penulis yang sadar bahwa ketika pers tidak bebas untuk mengungkapkan fakta, maka adalah tugas sastra untuk bicara (lihat Ajidarma, 2005). Berikut adalah cuplikan dialog antara Clara dengan polisi yg memeriksanya (Ajidarma, 2001: 108, 109, 110).
+ “Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?â€â€¦
+ “Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?â€
+ “Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit dibuktikan. Salah-salah kamu dianggap menyebarkan fitnahâ€
Bahkan sang oknum polisi tersebutpun berkata dalam hati “Rasanya aku juga ingin memperkosanya†(h. 111). Seno terus mengembangkan tema Tragedi Mei dalam komik futuristik dengan gambar oleh Ansar Zacky: Jakarta 2039: 40 Tahun 9 bulan setelah 13-14 Mei 1998 yang isinya adalah sebagai berikut:
Tanggal 14 Februari 2039, seorang perempuan berusia 40 tahun yang lahir dari hasil perkosaan mempertanyakan ayah-ibunya. Pada saat hampir bersamaan, seorang perempuan renta korban perkosaan juga mempertanyakan, di mana anak hasil perkosaan yang dibuangnya sesaat setelah dilahirkan tanggal 14 Februari 1999 (sekitar sembilan bulan setelah kerusuhan Mei 1998). Di tempat lain, seorang pria uzur yang merupakan pelaku perkosaan mengungkapkan dosanya kepada putri kandungnya sebelum mengembuskan nafas terakhir (Kompas, 16 Mei 2001).
Kekuatan tulisan Seno tentang Tragedi Mei 1998 membuat Pamela Allen (2003: 396) menulis: “Perhaps the writer who has most forcefully expressed outrage at the brutality of May 1998 is Seno Gumira Ajidarma†(“Barangkali penulis yang paling kuat mengekspresikan kemarahan atas kebrutalan di bulan Mei 1998 adalah Seno Gumira Ajidarmaâ€).
Tragedi Mei juga mengilhami tiga penulis best seller perempuan Tionghoa untuk juga menumpahkannya dalam novel-novel mereka. Pertama adalah V. Lestari, Ketika Barongsai Menari (2000). Cerita ini mengenai pembunuhan―yang adalah spesialisasi Lestari– yang berlatar belakang Tragedi Mei 1998. Walaupun novel ini semacam cerita detektif, namun pada saat yang sama Lestari, sebagai seorang Tionghoa menunjukkan sikap politiknya seperti tertulis di bawah ini
Sebagian besar korban [Tragedi Mei] adalah orang Tionghoa atau orang Indonesia keturunan Cina. Jelasnya kerusuhan itu bermotifkan rasialisme. Serangan ditujukan secara khusus kepada kelompok etnis tertentu. Dalam hal ini Tionghoa. Tragedi luar biasa itu menimbulkan kegemparan di seluruh dunia (Lestari, 2000: 17)
Habis kita [orang Tionghoa] memang tidak pernah dianggap sebangsa. Kalau ada kerusuhan rasial yang disalahkan selalu kita. Katanya ekslusif lah, nggak mau gaul lah, suka menyuap pejabat lah, ini-itu lah. Habis gimana, coba? Gimana mau gaul kalau kita nggak diterima. Kita kan minoritas, Kris. Rasa takut pasti ada. Itu sebabnya kita lebih suka tinggal berkelompok. Supaya punya teman. Supaya lebih kuat. Rasanya itu wajar. Di mana-mana kaum pendatang juga begitu. Kenapa cuma kita yang disalahkan ya, Kris? (Lestari, 2000: 39).
Karya yang lebih kuat ditulis oleh S.Mara Gd, seorang perempuan Tionghoa yang juga spesialis penulis cerita detektif (Sidharta 1992: 174-176) dalam Air Mata Saudaraku (2004). Novel ini menceritakan secara kronologis dari tanggal 12-21 Mei 1998 apa yang terjadi di Jakarta pada suatu keluarga Tionghoa. Sang Ibu dibunuh, adik perempuan diperkosa, sehingga membuat sang tokoh, Hasan Tandoyo harus menghadapi kenyataan yang pahit, termasuk kebenciannya pada Dokter Gatot, yang beretnis Jawa, yang telah merawat adiknya. Dua tahun kemudian penulis senior, Marga T (Tjoa) juga tidak ketinggalan dengan Sekuntum Nozomi Jilid 3 (2006) Novel ini sangat panjang, terbit dalam lima jilid dan jilid ke-3 difokuskan pada Tragedi Mei. Sebagai ungkapan keprihatinan Marga, maka seluruh royalti buku ini akan disumbangkan bagi para korban yang cacat akibat tragedi Mei 1998
Novel yang amat menarik tentang Mei 1998 ditulis oleh seorang aktivis perempuan Muslim, Nisa’ul Kamilah Chisni, Andromeda: Repihan Kisah di Balik Suksesi Kepemimpinan Nasional, Mei 1998 (2008). Buku ini menceritakan persahabatan Andromeda, sang protagonis dengan Chang Zou, yang juga aktivis mahasiswi menjelang kejatuhan Orde Baru. Chang Zou adalah puteri Oom Liem, seorang pengusaha Tionghoa kaya. Buku ini sangat menarik karena banyak memuat gugatan Nisa’ul atas posisi “second class citizen†orang Tionghoa, yang disampaikan lewat Chang Zou, misalnya
Warga Negara Keturunan. Begitulah identitas yang disematkan padaku dan orang-orang sipit lainnya. kami tak pernah diakui sebagai warga negara asli meski kami lahir dan dibesarkan di bumi Indonesia. Singkek, Amoy dan entah apa lagi yang mereka sandarkan pada diri kami, kami tak peduli. Yang kami tahu, kami warga Indonesia. Apa itu salah?
Apakah salah kami jika punya nenek moyang Cina sehingga kami diekslusifkan, diberi tanda khusus pada KTP, dipersulit saat mengurus paspor, SIM dan lain-lain? Kami tidak diperbolehkan memasuki arena politik dan mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam hal militer dan menjadi pegawai negeri sipil. Kami pun dilarang menggunakan nama, simbol, bakan perayaan imlek pun dilarang, padahal kami sungguh ingin melestarikan tradisi nenek moyang kami, apa itu salah? (Chisni, 2008: 51)
Mei Hwa, seorang muslimah Tionghoa yang akan menikah dengan pacarnya yang pribumi, namun tewas terbakar dalam Tragedi Mei menjadi tulisan K. Usman, “Mei Hwa Wanita di Seberang Sana†(2008). Cerpen ini pertama terbit di Harian Berita Kota, 30 Juli 2000, dua tahun setelah Tragedi Mei. Peristiwa ini juga menjadi latar belakang novel Liem Hwa (2005) karya Satmoko Budi Santosa. Liem Hwa, seorang Muslim Tionghoa, mendapat musibah dalam Tragedi Mei. Ayahnya yang pengusaha emas “dibunuh secara keji, tubuhnya dicacah-cacah di dalam ruko emasâ€, sedangkan ibunya “diperkosa oleh sekian banyak orang, sekian banyak penjarah emas di rukonyaâ€. Kakak Liem Hwa bunuh diri karena menanggung malu dan ibunya melahirkan serta membesarkan bayi hasil perkosaan (Santosa 2005: 14-17),
Tema kekerasan lain juga menjadi karya Sindhunata Putri Cina (2007) dan Lalu Mohammad Zainuddin Bunda…Aku Kembali (2008). Novel pertama berlatarbelakang kerajaan Jawa karya seorang rohaniwan Katolik, seorang peranakan Tionghoa kelahiran Malang, Romo Sindhunata, yang banyak juga menghasilkan karya-karya dalam bahasa Jawa. Tulisan kedua cukup menarik mengenai kehidupan suatu keluarga Muslim Tionghoa di Lombok yang menjadi korban kekerasan. Penulisnya masih berusia muda dan berasal dari daerah yang menjadi setting novelnya tersebut.
2. Fiksi Sejarah
Tema kedua yang banyak menarik perhatian adalah fiksi bertemakan sejarah. Yang menarik, figur Cheng Ho, seorang Laksamana Muslim dari Dinasti Ming cukup terkenal dan menginspirasi beberapa penulis non-Tionghoa. Pertama-tama adalah karya monumental Remy Silado, Sam Po Kong – Perjalanan Pertama (2004) dengan ketebalan lebih dari 1,000 halaman. Kemudian TASARO (Taufiq Saptoto Rohadi) menciptakan tokoh Hui Sing, murid perempuan Cheng Ho yang berpetualang di Jawa dalam Samita: Sepak Terjang Hui Sing, Murid Perempuan Cheng Ho Sepak terjang pendekar Muslimah di Tanah Jawa (2004, 2008). Cheng Ho dalam kisah yang gaul dan funky muncul dalam novel komik (nomik) kolaborasi Setiawan G. Sasongko (naskah) dan M.H. Pandan Wangi (ilustrasi), Along ‘n Skateboard: Teror di Kapal Cheng Ho (2007). Riwayat Cheng Ho secara historis dalam bentuk komik dibuat oleh Ulfah M. Siregar, Rendra M. Ridwan dari Sekolah Komik Papilaka, Laksamana Cheng Ho: Laksamana Agung Pembaw Perdamaian (2007)
Masih banyak cerita-cerita fiksi yang bertolak dari figur atau persitiwa sejarah lainnya, misalnya Lauw Pia Ngo, seorang Tionghoa yang membangun masjid di Sumenep Madura, yang ditulis oleh Muhammad Saidi (2007), Pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 dijadikan naskah drama oleh Remy Silado, 9 Oktober 1740: Drama Sejarah (2005). Kemudian bermunculan pula fiksi sejarah dengan tokoh rekaan sang penulis: Siau Ling, karya Remy Silado (1999) berupa naskah drama percintaan yang runtuh akibat penindasan penguasa dengan latarbelakang Jawa pada abad ke-15. Dua karya Lan Fang, Reinkarnasi (2003) dan Pei Yin (2004); Rosida, Ichen dan Ichen (2003) ; Leny Helena, Gelang Giok Naga (2006) serta Ian Sancin, Yin Galema (2009) mempunyai latar belakang hubungan Tiongkok dengan Nusantara. Yang berbeda, namun agak mirip dengan Ca Bau Kan adalah novel Naning Pranoto-Miss Lu : Putri Cina yang Terjebak Konflik Etnik dan Politik (2003) yang berkisah Miss Lu, seorang nona blasteran Tionghoa-Portugis yang berusaha melacak jejak leluhurnya, yang pernah tinggal di Indonesia.
3. Kisah Percintaan
Jalinan kasih antara pria dan wanita senantiasa menarik minat banyak penulis untuk mengabadikannya dalam karya mereka. Demikian pula kisah percintaan antara Tionghoa dengan pribumi maupun sesama Tionghoa pun banyak dihasilkan di masa Reformasi. Pertama-tama yang harus disebut adalah masterpiece Remy Silado, Ca-Bau-Kan (1999) yang tiga tahun kemudian difilmkan dengan sutradara Nia di Nata. Buku ini menceritakan romansa Tan Peng Liang, seorang pedagang Tionghoa asal Semarang dengan seorang penari cokek Betawi, Tinung. Kisah cinta yang unhappy ending antara perempuan Tionghoa dengan lelaki pribumi muncul dalam karya S.Satya Dharma (Sugeng Satya Dharma) Lie, Jangan Bilang Aku Cina (2000), yang ber-setting Medan & Jakarta dengan tokoh Dipo, seorang keturunan kuli kontrak dengan Lie, seorang perempuan China Medan.. Novelette Meiliana K (Kristani) Tansri, Kupu-kupu (2002) menceritakan kisah cinta tragis antara pemuda Batak dan pemudi Tionghoa Kristiani dengan setting Jambi, yang adat istiadat Tionghoanya masih cukup kuat. Warna lain muncul dari tulisan almarhum Anwar Haris Mei Lie (2004). Novel remaja Islami ini diilhami oleh huru-hara anti China di Makassar tahun 1997. Menariknya kisah cinta antara pemudi Tionghoa yang Buddhis dengan pemuda Makassar yang Islam berakhir secara baik-baik tanpa salah satu pihak melakukan konversi religius ke pihak lainnya, seperti yang lazim dalam berbagai cerita lain.
Novel Yogi Soegyono, Mimpi Dara (2008) yang kemudian dijadikan setting peragaan busana menceritakan jalinan asmara antara pemuda Tionghoa dengan gadis Minang. Novel best seller Bagin (Bachtiar Ginting), Cinta Bersemi di Seberang Tembok (cetakan I 1981, X 2004) berlatar belakang dendam sejarah antara seorang pemuda Melayu yang ayahnya pernah menjadi korban pasukan keamanan Tionghoa (Pao An Tui) di Medan semasa revolusi. Namun kemudian Yusuf, sang pemuda ini jatuh cinta dengan seorang pemudi Tionghoa dan bersama-sama mereka membangun cita-cita untuk Indonesia yang baru. Buku ini disinetronkan ke layar kaca tahun 2002 dengan judul “Cinta Terhalang Tembok†arahan sutradara Teater Koma yang kondang, Nano Riantiarno dengan pemeran Olga Lydia (sebagai debutan), Alex Komang dan Butet Kartaradjasa.
Percintaan antara pemuda-pemudi Tionghoa hadir dalam novel Marga T, Gema Sebuah Hati (cetakan I 1976, IX 2002). Buku ini terbit pertama kali di masa Orde Baru, namun cukup mengherankan bahwa cerita dengan latar belakang kehidupan mahasiswa Universitas Res Publika (yang didirikan oleh BAPERKI, yang kemudian dilarang oleh Orba) ini bisa terbit. Terakhir adalah novel Sara Tee, Margaku Lauw (2007) yang mengisahkan halangan yang menimpa pernikahan dua sejoli yang memiliki nama keluarga yang sama.
4. Persoalan Identitas
Dilarangnya ekspresi ketionghoaan di masa Orde Baru membuat banyak orang Tionghoa yang kemudian mengalami masalah dengan identitas dirinya. Tema ini diangkat dengan baik dalam cerpen-cerpen Veven Sp. Wardana, yang kemudian dibukukan dengan judul Panggil Aku: Pheng Hwa (2002). Kebingungan akan pilihan identitas Tionghoa atau Jawa juga dituliskan oleh Ratna Indraswari Ibrahim, Pecinan Kota Malang (2008). Anggraeni, salah satu tokoh utama di novel ini mengatakan:
Sejujur-jujurnya, dia sendiri kadang merasa gamang. Karena bila dia berada di lingkungan etnis Tionghoa, orang bilang dia perempuan Jawa. Sebaliknya kalau berada di komunitas etnis Jawa, mereka akan bilang dia perempuan Tionghoa baba (Ibrahim 2008: 139).
Anak-anak hasil perkawinan campuran juga muncul dalam beberapa karya. Pertama adalah Dina F.Al Masyhur (Dina Fitryah Al Masyhur), Bapakku Arab, Ibuku Cina, Aku….Sebuah Novel untuk Bercermin (2007). Barangkali tulisan ini adalah bersifat semi-otobiografis, yang menceritakan kehidupan pribadi penulisnya, yang bergumul dalam dua dunia: Arab (dari ayah) dan Tionghoa (dari garis ibu). Situasi serupa muncul dalam format yang lebih gaul, dalam chicklit karya Tari Danawidjaja, Coincidentia (2005). Walaupun tidak secara khusus bertemakan anak pernikahan campuran, namun penulis banyak memberikan deskripsi yang cukup gaul tentang suka duka sang protagonis yang lahir dari pernikahan Padang (ayah) dengan Cina Palembang (ibu)
5. Pluralisme
Penerbit Mizan, salah satu penerbit buku-buku Islam terkemuka, menerbitkan serial Nomik (novel komik) Catatan Harian Olin di tahun 2000. Hingga kini Nomik Olin telah terbit dalam 5 jilid dan mengalami banyak sekali cetak ulang. Yang mengesankan dalam kisah ciptaan Ali Muakhir ini adalah unsur pluralisme yang cukup kental, walau agak stereotipikal. Nomik Olin menceritakan persahabatan trio cewek pluralis: Lina Meliani (Olin) suku Jawa dan Sunda yang beragama Islam; Kristina Maria (Kristin), Batak dan Betawi yang beragama Kristen serta Secilia Huang-Hu (Lia) “Keturunan Tionghoa†yang beragama Budha. Berbeda dengan kisah lain yang menempatkan tokoh Tionghoa hanya sebagai “tempelanâ€, Nomik Olin jilid 3, Selalu di Hati (cetakan ke-1 2001; ke-5 April 2003) berfokus pada Secilia Huang Hu, yang gundah karena Omanya akan dititipkan di panti jompo. Munculnya tokoh perempuan Tionghoa beragama Budha dalam novel remaja Islami best seller (lihat tabel I) merupakan sesuatu yang sangat mengesankan, yang mungkin tidak terbayangkan di masa Orde Baru.
6. Religius
Tema religius muncul dalam berbagai judul yang sudah disebut di atas, misalnya Nomik Olin atau Novel Remaja Islami dari Mizan. Namun karya Vanny Chrisma W., Wo Ai Ni Allah: Sebuah Novel Pencarian Spiritual Gadis Cina (2008) yang cukup tebal inilah yang jelas mengandung pesan dakwah Islami.
7. Antagonisme Rasial
Novel karya Henry Simarmata, Panggil Aku, Jo (Seks, Tubuh, Selingkuh) (2007) ini harus digolongkan ke dalam jenis bacaan dewasa. Temanya adalah saling benci dan permusuhan diantara para tokohnya yang berlatang belakang etnis berbeda: “Cina-Jawa-Batakâ€. Rasanya tepat sekali kalau novel ini digolongkan dalam kategori “antagonisme rasialâ€
8. Urban Living
Liku-liku kehidupan membuat empat perempuan [Tionghoa] kembar memiliki empat kehidupan yang berbeda. Mereka harus berkumpul mendampingi ayah mereka yang diperkirakan tidak akan lama lagi hidupnya. Disinilah cerita Dim Sum Terakhir karya penulis best seller Clara Ng (2006) dibangun. Menurut Putu Fajar Arcana, wartawan kebudayaan Kompas, yang menulis dalam halaman pengantar, novel ini “membeberkan persoalan seputar kaum keturunan Tionghoa tanpa prasangka. Novel ini tidak lagi tertarik membahas isu-isu diskriminasi serta pribumi-nonpribumi, yang biasanya melekat dalam novel-novel Indonesia dengan tema kaum keturunan Tionghoa sejak tahun 1960-an sampai 1990-anâ€.
Demikianlah delapan tema besar dalam fiksi ketionghoaan di masa Reformasi (Juni 1998-Juli 2009). Sejauh ini ada beberapa hal yang menarik yang sudah bisa disimpulkan:
(1) Jumlah karya ketionghoaan dari penulis non-Tionghoa yang bisa dikumpulkan berjumlah tiga kali lebih banyak dari karya penulis beretnis Tionghoa.
(2) Mayoritas para penulis non Tionghoa relatif masih berusia muda, yang menandakan munculnya generasi baru penulis yang berpandangan lebih pluralis.
(3) Hasil karya fiksi penulis non-Tionghoa mayoritas bersifat simpatik pada etnis Tionghoa
(4) Latar belakang keagamaan para penulis tersebut adalah agama Islam, dan mereka berasal dari berbagai daerah (termasuk dari luar Jawa)
(5) Dengan demikian hasil karya tulisan mereka amat kental nuansa keislamannya, namun tidak bersifat dogmatik, justru banyak yang bersifat pluralis.
(6) Disinilah menariknya pertemuan dua kutub besar (Islam-Tionghoa) tersebut dalam karya-karya fiksi
(7) Sejumlah tulisan fiksi tersebut telah memenangkan penghargaan dalam lomba penulisan, khususnya dari majalah Femina.
(8) Beberapa judul dari karya fiksi tersebut, secara mengejutkan, mampu menjadi best seller dan mengalami cetak ulang hingga beberapa kali
(9) Salah satu perkembangan menarik dewasa ini adalah ketertarikan penerbit Islami dalam penerbitan buku-buku bertema ketionghoaan.
Sebagai penutup, kita patut merenungkan pertanyaan terakhir dan mungkin yang paling penting adalah: di tangan siapakah buku-buku itu akan dibaca dan dinikmati? Apakah hasil tulisan penulis Tionghoa hanya dibaca peminat dari kaumnya dan sebaliknya? Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut, namun… semoga tidak begitu, sehingga kedua belah pihak bisa saling memperluas wawasan dan saling mengenal melalui bacaan fiksi. Dengan saling memahami inilah hubungan golongan Tionghoa dengan mayoritas akan semakin baik. Semoga.
Didi Kwartanada , 45803
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua