Di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Siauw Giok Tjhan ditunjuk menjadi anggota DPR-GR mewakili golongan fungsional. Kemudian dalam Kabinet Kerja ke-IV, Kabinet Dwikora dan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, Oei Tjoe Tat diangkat menjadi Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI dan David Gee Cheng diangkat menjadi Menteri Ciptakarya & Konstruksi dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950 dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, etnis Tionghoa di Indonesia terpecah menjadi yang memilih warga Negara Indonesia dan yang memilih warga Negara RRT. Yang memilih warga negara Indonesia kebanyakan golongan peranakan, dan yang memilih warga negara RRT golongan totok. Namun di kalangan totok juga terjadi perpecahan antara yang pro Kungchangtang/RRT dan yang pro Kuomintang/Taiwan. Yang pro Taiwan kebanyakan memilih menjadi stateless. Perpecahan ini juga tercermin dari media massa masing-masing pihak yaitu harian Sin Po edisi bahasa Tionghoa dan “Shen Hua Pao” yang sejak awal penerbitannya pada awal penyerahan kedaulatan selalu mengambil sikap pro RI. Sedangkan yang pro Taiwan adalah harian “Thian Sheng Yit Pao” yang telah terbit sejak jaman Belanda dan diasuh oleh tokoh-tokoh Kuomintang di Indonesia. Karena Taiwan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, Kuomintang dilarang di Indonesia dan sekolah-sekolahnya ditutup.
Di masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) perlu dicatat peranan Baperki (berdiri tahun 1954) sebagai ormas terbesar yang mewakili etnis Tionghoa dalam memperjuangkan hak-hak dan kepentingan etnis Tionghoa, dan melawan setiap bentuk diskriminasi. Baperki secara aktif membantu orang-orang Tionghoa yang ingin memilih warga negara Indonesia. Demikian juga Baperki mendirikan sekolah-sekolah dan universitas untuk menampung anak-anak Tionghoa yang membutuhkan pendidikan terutama anak-anak Tionghoa warga negara Indonesia yang harus meninggalkan sekolah-sekolah berbahasa pengantar Tionghoa sesuai peraturan yang berlaku.
Dalam menyelesaikan “masalah minoritas Tionghoa”, Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Oei Tjoe Tat dllnya mengembangkan doktrin nation building dan integrasi, yaitu sebuah doktrin yang ingin membangun sebuah nation atau bangsa yang bersih dari diskriminasi rasial serta adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negaranya tanpa mempermasalahkan asal-usulnya dan mengintegrasikan etnis Tionghoa secara utuh ke dalam haribaan bangsa Indonesia. Doktrin integrasi meyakini kebenaran konsep kemajemukan atau pluralisme bangsa Indonesia seperti yang dinyatakan para founding fathers bangsa Indonesia dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Adalah suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku,etnis, ras dan agama dengan budayanya masing-masing. Selanjutnya ia berpendapat nasion yang bersih dari diskriminasi rasial hanya dapat terwujud di dalam masyarakat sosialis yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia atau golongan mayoritas terhadap golongan minoritas dan sebaliknya.
Dalam perkembangannya, di era perang dingin Baperki ternyata harus menghadapi situasi tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan. Untuk mengatasinya Baperki dengan doktrin integrasinya tidak mempunyai pilihan lain, selain berdiri di belakang Presiden Soekarno yang sedang dengan gencar melaksanakan konsep Manipol/Usdek dan persatuan Nasakom. Karena mendukung politik Presiden Soekarno, dengan otomatis Baperki berada dalam satu barisan bersama seluruh “kekuatan revolusi” pada masa itu, seperti PNI, PKI, Partindo, Perti, Partai Katholik, NU, PSII dsbnya dalam perjuangan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia yang bersih dari penghisapan manusia atas manusia. Situasi ini menyebabkan Baperki lebih dekat dengan PKI, Partindo, PNI dan kekuatan-kekuatan pendukung Bung Karno
lainnya. Terutama dengan PKI yang selalu mendukung Baperki dalam perjuangannya menentang diskriminasi rasial, baik di DPR maupun di forum-forum lainnya dan di media massa Harian Rakyat, atau di lapangan seperti apa yang dilakukan PKI dalam menentang Peristiwa Rasialis 10 Mei 1963 di Bandung dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Hal ini menyebabkan banyaknya etnis Tionghoa, khususnya anggota dan simpatisan Baperki yang bersimpati kepada PKI, Partindo dan ormas-ormasnya, kemudian ikut bergabung di dalamnya. Namun ketika terjadi Peristiwa G30S seperti banyak organisasi-organisasi dan partai-partai politik lainnya, Baperki menjadi korban keganasan rejim militer Jenderal Soeharto.
Sementara itu sekelompok peranakan Tionghoa yang kebanyakan berpendidikan Belanda eks Chung Hwa Hui yang tidak setuju dengan doktrin integrasi, mengembangkan doktrin asimilasi total. Untuk itu pada tanggal 24 Maret 1960 di Jakarta dikeluarkan “Statement Asimilasi” yang dengan tegas berpendirian bahwa masalah minoritet hanya dapat diselesaikan dengan jalan asimilasi dalam segala lapangan secara aktip dam bebas. Para penanda tangan statement tersebut adalah sepuluh orang tokoh peranakan Tionghoa yang beberapa orang di antaranya malah ikut mendirikan Baperki, namun telah meninggalkannya pada tahun 1955. Di antara penanda tangan tersebut antara lain Mr.Tjung Tin Jan, Injo Beng Goat, Drs.Lo Siang Hien, Ong Hok Ham, Drs.Lauwchuantho (H.Junus Jahya) dan Mr.Auwjong Peng Koen (P.K.Ojong). Kemudian pada tanggal 13-15 Januari 1961, di Bandungan (Ambarawa) diselenggarakan Seminar Kesadaran Nasional yang menghasilkan “Piagam Asimilasi”. Di antara 30 penanda tangan piagam tersebut adalah Ong Hok Ham, Lauwchuantho dan Kwik Hway Gwan (ayah Drs.Kwik Kian Gie).
Untuk melaksanakan doktrin asimilasi total dan menandingi serta menghambat pengaruh Baperki, maka oleh para pendukungnya pada tahun 1963 dibentuk sebuah organisasi bernama Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dengan ketuanya Ong Tjong Hai SH. Alias Kristoforus Sindhunatha, seorang Letnan Angkatan Laut dan mendapatkan dukungan penuh dari pimpinan Angkatan Darat dan tokoh-tokoh politik seperti Letkol Harsono, Mayor Ismail Hambali, Prof.Sunario SH., Drs. Radius Prawiro, Drs.Frans Seda, Roeslan Abdulgani, Harry Tjan, Djoko Sukarjo dllnya. Salah satu program LPKB adalah pelaksanaan asimilasi di segala bidang kehidupan secara serentak dengan titik berat pada asimilasi sosial. Asimilasi setidak-tidaknya dilaksanakan dalam lima bidang kehidupan sebagai berikut : asimilasi politik, asimilasi kultural, asimilasi ekonomi, asimilasi sosial/campur gaul dan asimilasi kekeluargaan (pernikahan). Kelima-limanya harus dilaksanakan dengan serentak (sinkron) dengan mempertimbangkan timing dan irama yang sebaik-baiknya.
Setelah meletusnya Peristiwa G30S, LPKB memainkan peranan penting dalam mengeliminasi budaya, tradisi, agama dan bahasa Tionghoa seperti yang dituangkan dalam berbagai kebijaksanaan dan peraturan rejim Orde Baru. Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, etnis Tionghoa diisolasi dari kegiatan politik. Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang berindikasi G30S/PKI termasuk tokoh,anggota dan simpatisan Baperki dan organisasi-organisasi Tionghoa lainnya, telah menimbulkan trauma yang berkepanjangan di kalangan masyarakat Tionghoa. Baperki dijadikan stigma untuk menakut-nakuti etnis Tionghoa agar menjauhi wilayah politik.
Setelah menghancurkan harga diri etnis Tionghoa dengan mengganti sebutan Tionghoa menjadi Cina, melarang perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina secara terbuka, melarang penggunaan bahasa dan cetakan dalam bahasa Cina dan anjuran agar mengganti nama yang berbau Cina, etnis Tionghoa hanya diberi ruang untuk melakukan bisnis semata. Kalaupun ada segelintir etnis Tionghoa yang terjun dalam politik praktis, mereka hanya dijadikan bendahara atau mesin penghasil uang saja.
Memang ada beberapa orang etnis Tionghoa yang aktif terjun dalam aksi-aksi melengserkan Presiden Soekarno seperti dua bersaudara Liem Bian Kie dan Liem Bian Koen, Harry Tjan dan Soe Hok Gie. Namun dalam perkembangannya Soe Hok Gie yang merasa kecewa kepada pemerintahan otoriter Jenderal Soeharto malahan menjadi oposisi dan meninggal dalam usia muda karena kecelakaan, menghirup gas beracun di gunung Semeru.
Sementara itu kedua saudara Liem dan Harry Tjan ikut mendirikan CSIS yang pada dekade pertama dan kedua pemerintahan Orde Baru, di masa jayanya Jenderal Ali Moertopo dan Jenderal Soedjono Hoemardani, memainkan peranan penting dalam menentukan kebijaksanaan pemerintahan Orde Baru. Liem Bian Koen sendiri akhirnya beralih profesi menjadi pengusaha (konglomerat) dan menjadi juru bicara pengusaha-pengusaha yang tergabung dalam Yayasan Prasetya Mulia.
Sebaliknya beberapa tahun sebelum lengsernya Presiden Soeharto, secara mengejutkan Drs. Kwik Kian Gie meninggalkan Yayasan Prasetya Mulia dan menggabungkan diri dengan PDI, selanjutnya dalam konflik internal partai, ia berpihak kepada Megawati Soekarnoputeri yang mendapatkan tekanan keras dari rejim yang berkuasa.