Selanjutnya terjadi pembantaian, pembakaran dan pejarahan rumah-rumah dan harta benda milik orang Tionghoa di Bagan Siapi-Api, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Pekalongan, Tegal, Puwokerto,Purbalingga, Bobotsari, Gombong, Lumajang, Jember, Malang, Lawang, Singosari dllnya. Ratusan orang Tionghoa menjadi korban pembantain dan ribuan toko, pabrik, kendaraan, dllnya habis dibakar atau dijarah.
Sebenarnya aksi-aksi kekerasan ini diprovokasi pihak NICA (Nederlandsch Indie Civil Administration) yang ingin menjatuhkan reputasi Republik Indonesia di dunia internasional dan sayangnya sebagian rakyat Indonesia tidak waspada dan masuk dalam perangkap tersebut. Akibat pembantaian dan perampokan serta penjarahan tersebut, sekelompok etnis Tionghoa mendirikan sebuah organisasi untuk membela diri dan menjaga keamanan. Organisasi tersebut bernama “Pao An Tui” yang artinya barisan penjaga keamanan. Namun dalam perkembangannya sebagian dari anggota Pao An Tui yang merasa sakit hati dan dendam karena keluarganya menjadi korban, berhasil dibujuk dan dipersenjatai Belanda untuk digunakan menghadapi pasukan Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi stigma negatif pertama bagi etnis Tionghoa yang selama puluhan tahun ditiup-tiupkan sementara golongan untuk mendiskreditkan etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa reaksioner, pro NICA dan menentang Republik.
Sejak pemerintahan RIS dan penyerahan kedaulatan serta terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Demokrasi Parlementernya ada usaha-usaha dari pihak tertentu dalam pemerintahan untuk menjalankan kebijaksanaan yang berbau rasis. Kebijaksanaan tersebut antara lain program “benteng” importir yang diprakarsai oleh Menteri Kesejahteraan Ir.Djuanda. Kebijaksanan yang hanya memberikan lisensi impor kepada golongan pribumi, melahirkan pengusaha-pengusaha atau importir-importir “aktentas”, yaitu pengusaha yang tidak bermodal dan tidak punya kantor, dengan membawa sebuah aktentas keluar masuk kantor instansi pemerintah untuk mendapatkan lisensi impor bermacam-macam barang. Dengan mengantungi lisensi ini mereka mendatangi pedagang-pedagang Tionghoa untuk menjual lisensi tersebut. Kerja sama inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan sistim Ali-Baba.
Walaupun dalam kabinet Ali Sastroamidjojo ke-1 terdapat dua orang menteri dari etnis Tionghoa, hal ini tidak menjamin bersihnya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berbau rasis. Dengan alasan untuk menjamin pengadaan dan stabilitas harga beras, pemerintah bermaksud menguasai perdagangan dan peredaran beras dan untuk itu dikeluarkan peraturan wajib giling padi pemerintah dan melarang penggilingan-penggilingan beras (huller) menggiling padi di luar pemerintah. Padahal 98 % penggilingan beras adalah milik etnis Tionghoa. Akibatnya banyak penggilingan padi yang menganggur dan munculnya centeng-centeng yang kebanyakan dari kalangan militer untuk melindungi penggilingan-penggilingan beras yang secara illegal menggiling padi rakyat.
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul “Gerakan Assaat”, suatu gerakan yang diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha “asli” dan “pribumi”. Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai “asli”.
Tanpa terduga sebelumnya, Presiden Soekarno pada bulan November 1959 dengan tiba-tiba menanda tangani Peraturan Pemerintah No.10 atau yang lebih terkenal dengan sebutan P.P.-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Tionghoa) untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1960. Sudah tentu peraturan yang sangat rasis ini sangat mengejutkan dan menggoncangkan sendi-sendi kehidupan orang Tionghoa di Indonesia.
Karena pada masa itu Undang-undang Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga terjadi kesimpang siuran dalam menentukan yang mana asing dan yang mana WNI. Para penguasa militer di daerah-daerah dengan seenaknya mengusir bukan saja orang-orang Tionghoa asing tetapi juga orang-orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia.
Sebenarnya P.P.-10 merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan kabinet Djuanda, Rachmat Moeljomiseno pada bulan Mei 1959 yang berisi larangan bagi orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Akibat P.P.-10 hubungan persahabatan antara pemerintah RI dan pemerintah RRT menjadi terganggu. Pemerintah RRT mengirim kapal-kapalnya untuk mengangkut orang-orang Tionghoa yang ingin meninggalkan Indonesia untuk berdiam di Tiongkok. Hal ini membuktikan pemerintah RI masuk ke dalam perangkap negara-negara imperialis Barat yang ingin merusak hubungan persahabatan Indonesia dengan Tiongkok.
Aksi kekerasan anti Tionghoa baru muncul kembali pada tanggal 10 Mei 1963 di kota Bandung dan sekitarnya. Aksi kerusuhan tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB, antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan seorang mahasiswa pribumi yang disebabkan terjadinya senggolan sepeda motor. Kemudian dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa ITB dan Universitas Padjadjaran, dimulailah aksi massa perusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik etnis Tionghoa di kota Bandung. Ratusan toko, rumah tinggal, pabrik, kendaraan bermotor habis di bakar atau di rusak serta dijarah massa.
Kemudian aksi anarkis meluas ke kota-kota lainnya di Jawa Barat, antara lain Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dllnya. Sangat ironis, Yap Tjwan Bing, salah seorang tokoh Angkatan 45 yang turut mendirikan Republik ini juga menjadi korban aksi anarkis tersebut. Kejadian ini sangat mengecewakan dirinya, sehingga dengan alasan mengobati penyakit puteranya, ia sekeluarga hijrah ke Amerika sampai menghembuskan nafas terakhirnya.
Pada tahun 1967, dengan alasan menumpas Pasukan Gerilyawan Rakyat Serawak (PGRS), pasukan militer Indonesia telah berhasil memprovokasi suku Dayak di Kalimantan Barat yang mengakibatkan terjadinya aksi-aksi pembantaian dan kekerasan terhadap etnis TIonghoa di desa-desa pedalaman. Akibatnya puluhan ribu etnis Tionghoa menjadi pengungsi di Singkawang dan Pontianak yang kemudian menyebar ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa.