Di masa Orde Baru setumpuk peraturan diskriminatif terhadap orang Tionghoa dikeluarkan oleh pemerintah rejim Soeharto tanpa mendapatkan protes atau peralawanan sedikitpun. Khusus untuk mengawasi gerak-gerik dan kegiatan etnis Tionghoa, dibentuk sebuah institusi di dalam tubuh BAKIN, yaitu Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). Seperti nasib orang Yahudi di Jerman menjelang Perang Dunia II, etnis Tionghoa di Indonesia dibuat tidak berdaya sama sekali. Etnis Tionghoa dijadikan warga negara kelas dua yang selalu menjadi kambing hitam dalam setiap masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.
Herannya kelahiran seluruh peraturan tersebut didorong dan disponsori oleh sekelompok etnis Tionghoa sendiri (LPKB). Dalam suatu diskusi di kantor majalah Gamma pada bulan September 1999, K.Sindhunatha dengan tanpa ekspresi menyatakan bahwa konsep pelarangan perayaan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina berasal dari dirinya. Malahan ia menyatakan bahwa Pak Harto cukup bermurah hati dengan mengijinkan etnis Tionghoa melaksanakan dan merayakannya di dalam rumah, karena konsep yang disodorkan berisi larangan total. Ia juga mengakui bahwa penggantian sebutan kata Tionghoa menjadi Cina diputuskan olehnya, ketika ia diminta memilih antara kedua kata tersebut pada saat berlangsungnya Seminar Angkatan Darat II, tahun 1966 di Bandung.
Di samping itu di masa Orde Baru aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa berlangsung tanpa henti-hentinya dan menyebar mulai dari Medan sampai ke Makassar. Aksi-aksi kekerasan tersebut terutama di pulau Jawa bukan saja secara “kuantitas” meningkat, tetapi juga secara “kualitas” yang mencapai puncaknya pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
Anehnya walaupun pemerintah Orde Baru menerapkan kebijaksanaan politik anti RRT dan anti Tionghoa, tetapi dalam usaha membangun perekonomian di sektor riil, etnis Tionghoa di beri peran dan peluang yang sangat besar. Malahan segelintir etnis Tionghoa dijadikan kroni oleh pihak penguasa untuk melakukan KKN demi menumpuk kekayaan pribadinya. Lahirlah sejumlah kecil konglomerat-konglemerat jahat yang bersama para penguasa “merampok” kekayaan negara. Hal inilah yang kembali menjadi stigma buruk yang dilekatkan pada diri etnis Tionghoa, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa adalah “binatang ekonomi” yang tidak bermoral.
Jadi selama ini ada tiga stigma negatif yang selalu dilekatkan untuk memojokkan etnis Tionghoa. Yang pertama stigma “Pao An Tui”, yang kedua stigma “Baperki/komunis” dan yang ketiga stigma “binatang ekonomi” yang tidak bermoral.
Di samping itu, apabila kita belajar dari sejarah, aksi-aksi anti Tionghoa sebagian besar terjadi di pulau Jawa. Padahal orang-orang Tionghoa di Jawa telah cukup membaur dibandingkan dengan di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa.
Ada yang mengatakan bahwa sejak jaman Diponegoro telah tumbuh “mitos” di masyarakat Jawa bahwa orang Tionghoa adalah pembawa sial yang perlu dijauhi. Mitos ini muncul setelah Pangeran Diponegoro melarang para komandannya melakukan hubungan yang akrab dengan orang-orang Tionghoa. Ia juga melarang mereka mengambil gadis-gadis peranakan Tionghoa menjadi gundiknya, karena ia berpendapat bahwa hubungan dengan gadis-gadis Tionghoa hanya akan membawa sial dan malapetaka.
Sikap Pangeran Diponegoro ini disebabkan pengalamannya sendiri ketika menghadapi kekalahan pertempuran di Gowok, di luar Surakarta pada tanggal 15 Oktober 1826. Sesuai dengan apa yang ditulisnya sendiri dalam babad Dipanegara, ia telah terjebak dan dihancurkan oleh kecantikan seorang gadis Tionghoa yang tertangkap di daerah Panjang dan kemudian dijadikan tukang pijatnya. Demikian juga ia menyalahkan kekalahan iparnya Sasradilaga, dalam pertempuran di pesisir utara, di daerah Lasem karena melanggar perintahnya dengan menggauli seorang perempuan Tionghoa di Lasem.
Kenyataan bahwa banyak dari komandan-komandan pasukannya yang menggauli gadis-gadis Tionghoa sebagai hiburan dan banyaknya penggunaan candu di antara prajuritnya, telah menimbulkan anggapan Pangeran Diponegoro bahwa kalahnya dia dalam pertempuran dengan Belanda disebabkan oleh orang-orang Tionghoa yang telah membawa sial dan malapetaka.
Pandangannya yang keliru dan bersifat rasis inilah yang seolah-olah menjadi “mitos” bahwa orang-orang Tionghoa hanya pembawa sial, yang sampai sekarang masih dihembus-hembuskan oleh kalangan tertentu, dengan tujuan memojokkan etnis Tionghoa di
Indonesia.
Sejak jaman raja-raja Mataram, orang-orang Tionghoa telah dijadikan mitra untuk memungut pajak jalan, jembatan, pasar dsbnya. Pemungutan pajak ini dilakukan dengan sistim borongan, karena para raja dan bupati tidak mau berpusing-pusing melakukan pekerjaan yang tidak populer di mata rakyatnya. Oleh karena sistim pemungutan pajak ini memberikan keuntungan yang cukup menggiurkan, banyak kalangan etnis Tionghoa yang tertarik dan memberikan penawaran yang jauh lebih tinggi. Akibatnya untuk memenuhi target tersebut, pemungutan pajak dilakukan dengan lebih intensif dan hal ini menimbulkan antipati rakyat kepada etnis Tionghoa. Demikian juga hak mengelola rumah-rumah judi, pembuatan garam, pelacuran dan tempat penghisapan candu diborongkan kepada orang-orang Tionghoa dengan membayar pajak yang tinggi.
Nah, hal-hal inilah yang sesungguhnya menimbulkan rasa kebencian dan antipati orang Jawa kepada etnis Tionghoa. Apalagi pemerintah kolonial Hindia Belanda juga melakukan kebijaksanaan yang sama dengan memberikan monopoli pach candu, pach judi dan pach pembuatan garam kepada etnis Tionghoa.
Cara-cara ini ternyata dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru dengan memberikan monopoli kepada orang Tionghoa untuk membuka kasino baik legal maupun ilegal, demikian juga tempat-tempat pelacuran dan hiburan lainnya.
Di samping memberikan hak-hak monopoli tertentu, pemerintah Hindia Belanda melakukan politik segregasi untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dengan penduduk setempat. Wijkenstelsel dan Passenstelsen justeru dilaksanakan secara intensif di masa tanam paksa (pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20). Pedagang-pedagang Tionghoa dibenturkan kepentingannya dengan pedagang-pedagang Islam/Arab sehingga menimbulkan konflik-konflik kecil pada dekade kedua abad ke-20.
(Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI, tanggal 27 April 2002, Hotel Mercure Rekso,Jakarta.) Oleh :Benny G.Setiono
Referensi
1. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/50172
2.
Photo Credit