Budaya-Tionghoa.Net | Kalau kita amati seluruh sejarah Tiongkok, mungkin bisa terlihat satu kaidah ini. Bangsa kita pada awalnya bersatu dan berkembang maju, kemudian perlahan-lahan mulai mundur, kemampuan organisasinya pun berkurang. Saat ini kalau ada semacam reformasi, pasti bisa bangun lagi. Kalau reformasi ini gagal, atau rusak sendiri dari dalam, maka musuh dari bangsa asing bisa masuk. Setiap kemasukkan bangsa asing, bangsa kita punya suatu gejala yang sangat khusus, yaitu pendudukan bangsa asing biasanya merupakan titik balik untuk perubahan bangsa kita. Makanya ketujuh keadaan bahaya bangsa kita di atas juga sebenarnya merupakan tujuh kali titik balik untuk berubah. Di dalam sejarah biasanya kalau sudah kemasukkan bangsa asing, suku bangsa Huaxia kita biasanya ikut berasimilasi, menyatu, begitu sudah terasimilasi dan menyatu, sungku bangsa Huaxia kita terus bertambah kuat dan bersatu kembali.
|
Setelah ini mungkin memburuk lagi, melemah, atau terpecah-belah lagi. Begitu diserang bangsa asing, bangsa kita kembali menyatu, lalu membesar, dan terus menerus berulang begitu. Suku bangsa negara lain begitu diserang bangsa lain, maunya menang, tetapi kalau tidak menang, maka negara dan bangsa itu bisa musnah. Waktu suku bangsa Tionghua kita mengalami ancaman bangsa asing dari luar, seringkali tak bisa mengalahkan bangsa asing, dan keadaan tak bisa mengusir bangsa asing ini juga sering terjadi, tetapi sangat sulit ditaklukan.
Ini karena di satu pihak kita punya semacam daya tahan, semacam daya perlawanan yang sangat kuat, di samping itu kita juga sangat terbuka dan dalam kebudayaan bisa melebur dengan mereka, dan setelah melewati suatu masa tertentu, semuanya menjadi satu bangsa dan suku bangsa kita menjadi besar kembali.
Sewaktu saya menerima gelar profesor kehormatan dari Universitas British Columbia di Vancouver saya juga pernah bicara soal ini, serta berbagai persoalan lain dalam sejarah Tiongkok. Beberapa dosen Canada menganggap bahwa pandangan saya ini agak baru, kemudian mendiskusikan kenapa Tiongkok bisa melebur dengan bangsa asing, tetapi bangsa barat tidak pernah berhasil. Saya pikir salah satu alasan utama adalah masyarakat negara kita pada mulanya adalah masyarakat agraris, daya produksinya agak tinggi dan tekniknya agak lebih maju, sehinggu mempunyai kemampuan ekonomi yang menyokong perkembangan budaya. Alasan kedua adalah semenjak zaman Zhou barat, kita sudah memiliki suatu sistem kekeluargaan
yang ketat dalam masyarakat. Generasi belakangan dalam membicarakan masyarakat feodal Tiongkok selalu menganggap bahwa masyarakat feodal dengan sistem kekeluargaan sangat mengungkungi jalan pikiran manusia, sangat membatasi tingkah laku manusia, namun sesungguhnya sistem kekeluargaan ini juga mempunya fungsi sejarah. Bangsa kita gara-gara punya sistem suksesi (pewarisan) yang ketat ini, makanya bisa menghindar dari pertempuran dan perang internal. Berbagai masyarakat nomadik sesungguhnya cukup kuat dan makmur, namun justru di saat-saat yang menentukan pada umumnya mereka mulai ribut dengan perpecahan.
Setelah ayahnya meninggal, kedua anak atau ketiga anaknya berusaha merampas kedudukan sang ayah, di Roma pun ada kejadian serupa. Begitu merampas posisi, terus berkelahi, terus terjadi kekacauan dalam negeri. Suatu suku, suatu rumpun kesukuan atau bangsa yang tadinya jaya, begitu terpecah, langsung saling berantem sendiri. Bangsa kita memang sejak zaman Zhou barat walaupun sudah sering terjadi perpecahan interen yang selalu saja timbul, tetapi pada dasarnya masih mengikuti aturan suksesi tahta, jadi setelah ayah meninggal, putra sulung dari istri sahnya yang meneruskan jabatan, dan ini adalah sistem terpenting dalam perkembangan suku bangsa Tionghua pada waktu itu. Kalau sistem hukum suatu
masyarakat sudah ditentukan, masyarakatnya akan stabil, dan pertempuran interen akan sangat sangat berkurang, dan ini adalah salah satu mata rantai penting dalam kejayaan bangsa.
Masih ada lagi satu mata rantai penting lain yaitu bahwa bangsa kita sangat terbuka kepada bangsa asing. Ditinjau dari sejarah, untuk waktu yang cukup lama sekali Tiongkok dijajah oleh bangsa asing, seperti di
zaman Wei Utara. Bahkan di zaman Sui dan Tang juga ada banyak sekali komponen suku minoritas, terutama orang Xianbei. Ada suatu keadaan entah hadiran sempat pikirkan atau tidak. Dalam novel saya pernah ada tokoh bernama Dugu Qiubai atau Dugu mencari kalah. Dugu Qiubai sangat sombong, dalam seumur hidupnya bertarung pedang belum pernah kalah, makanya dia mengganti namanya menjadi Qiubai atau mencari kekalahan, dan berharap bisa kalah sekali, tetapi tidak pernah kalah.
Dugu adalah orang Xianbei. Kedua huruf Xian Bei ini menurut beberapa ahli bahwa Siberia itu sebenarnya Xianbei ri’a, jadi orang Xianbei asalnya memang tinggal di Siberia sana. Tapi ini bukan pandangan yang secara umum diterima. Di zaman Zhou utara, ada seorang yang bernama Dugu Xin, dia punya banyak anak prempuan dan putri sulungnya menikah dengan kaisar Zhou utara sedangkan putri keempatnya menikah dengan ayahnya Tang Gaozu, putri ketujuhnya menikah dengan Sui Wendi (Kaisar Shuiwen). Jadi Tang Gaozu dan Sui Yangdi sebenarnya adalah saudara misan, sedangkan Tang Taizong Li Shimin mestinya memanggil Shui Yangdi sebagai biaoshu atau paman dari fihak ibu. Mereka punya keturunan darah Xianbei.
Ibunya Tang Taizong bermarga Dou adalah orang Xianbei. Permaisurinya Tang Taizong bermarga Changsun, dan kedua marga Dou dan Changsun adalah marga orang Xianbei. Kakaknya permaisuri bernama Changsun Wuji adalah perdana menteri terkenal zaman Tang, juga orang Xianbei. Menurut perhitungan awal saya, di zaman Tang paling sedikit ada dua tiga perdana menterinya adalah orang asing, terutama orang Xianbei. Waktu itu mengatakan “Huren†(orang asing) persis seperti kalau sekarang kita bilang “Yangren†(orang lautan, orang asing), dan tidak ada pandangan merendahkan. Waktu dinasti Tang, ada 2, 3 orang asing menjadi menteri sekretariat negara, suatu bukti bahwa waktu dinasti Tang sama sekali tidak ada pandangan rendah kepada orang asing. Kalau bicara lagi dinasti Han, Han Wudi
(Kaisar Han Wu) bertempur dengan Xiongnu, Xiongnu-nya pecah dan menyerah. Diantaranya salah seorang pangeran Xiongnu bernama Jinri Shidan, dipakai oleh Han Wudi. Setelah Han Wudi meninggal urusannya diserahkan kepada dua orang, satunya bernama Huo Guang, sedangkan satunya lagi adalah Jinri Shidan ini. Dari sini kelihatan bahwa sebab utama kejayaan bangsa kita adalah keterbukaannya.
Di dalam cersil saya menulis tentang ilmu silat Tiongkok yang begitu lihay, namun sesungguhnya itu agak sedikit membesar-besarkan. Orang Tiongkok tidak terlalu doyan perang, dan waktu perang dengan orang asing, kalahnya lebih banyak sedangkan menangnya lebih sedikit. Tapi karena kita punya daya tahan, kali ini
tidak memang tak jadi soal, kita berinteraksi terus dalam jangka panjang, sampai akhirnya orang asing bisa pecah sendiri. Misalnya Xiongnu sangat lihay dan kita tidak bisa menangi mereka. Han Gaozu pernah dikurung oleh orang Xiongnu di sekitar Tatong di Shanxi, tak bisa meloloskan diri. Bawahannya lalu mengeluarkan suatu akal bulus, pergi lapor ke permaisuri Xiongnu bilang, gadis Han yang cantik-cantik banyak sekali. Kalau kamu menangkap Kaisar Han, lalu menjatuhkan orang-orang Han, tentu bakal menawan banyak sekali gadis cantik orang Han, dan kedudukan permaisurimu bisa celaka. Permaisuri Xiongnu termakan akal licik ini dan pasukannya pun mundur. Xiongnu kemudian terbagi atas utara selatan. Xiongnu selatan menyerah kepada dinasi Han, sedangkan Xiongnu utara berpindah ke barat. Sebagian sampai ke Inggris, bahkan memusnahkan seluruh Imperial Roma Barat. Yang menarik, sebagian Xiongnu bisa dilawan oleh Tiongkok, terus menyerah, sebagiannya malah menghancurkan seluruh Eropah. Tujue (Turk) di zaman Sui dan Tang juga begitu. Mereka terbagi atas Turk Timur dan Turk Barat. Turk Timur
menyerah kepada dinasti Sui dan Tang lalu perlahan-lahan terasimilasi ke dalam suku Huaxia.
Sedangkan Turk Barat terus berjalan ke arah barat, sampai ke Turki. Kemudian Turki meruntuhkan Imperial Roma Timur, dan menduduki seluruh Constatinopel sampai sekarang. Makanya kita janganlah mengatakan bahwa bangsa kita tak becus setiap kali mengungkit sejarah. Sesungguhnya bangsa kita baru tidak becus adalah kejadian yang baru mulai sekitar 3, 400 tahun setelah abad ke 16. Baru-baru ini dalam suatu perjamuan di Universitas Oxford saya bertemu dengan seorang peneliti ekonomi Asia Timur. Waktu kami berdua berbicara tentang perkembangan ekonomi Tiongkok dia bilang, perkembangan ekonomi Tiongkok sejak dahulu sudah sangat maju. Pemasukan per kapita selalu nomor satu di dunia, dan baru setelah abad ke 16 akhirnya terkejar oleh Inggris. Sedangkan pendapatan total rakyat baru sampai tahun 1820 terlewati oleh Inggris. Kekuatan negara Tiongkok selama 2, 3000 tahun menduduki tempat teratas. Ekonom itu sangat optimis akan hari depan ekonomi Tiongkok, dan dia bilang mungkin di tahun 2020, pemasukkan ekonomi negara Tiongkok bakal berada di tempat teratas di seluruh dunia, dan bisa dipertahankan untuk waktu yang lama, yang mungkin dalam kurun waktu 4, 50 tahun sesudahnya tak ada negara lain yang bisa mengejar.
Setelah mendengar itu saya jadi terangsang, dan tanya dia apakah dia punya angka-angka pendukung? Dia memberi contoh berbagai angka statistik. Dia adalah ahli, tak bisa omong seenaknya. Saya merasa analisis dia sangat masuk di akal. Sebenarnya dalam bidang teknologi di zaman Tiongkok kuno juga selalu lebih maju. Sampai zaman dinasti Song lebih maju lagi, bahkan melebihi Eropah. Waktu itu hasil penemuan teknologi kita sudah begitu jauh di depan dan sulit terkejar oleh Eropah. Misalnya pembuatan kertas, percetakan, mesiu, kompas dan sebagainya waktu dinasti Song sudah sangat berkembang. Sekarang uang kertas yang semua orang pakai juga penemuan Tiongkok, dan sudah mulai dipakai waktu dinasti Song.
Waktu itu sistem monetari kita sudah sangat maju, dan penggunaan mata uang juga sudah sangat matang. Lalu kapan orang Eropah mulai berkembang? Mesti dibilang sewaktu dinasti Ming di Tiongkok, dan mulai saat itu Tiongkok mulai mundur. Saya pikir alasannya, satu adalah kekuasaan mutlak dalam politik, dan kontrol atas jalan pikiran rakyat sangat ketat. Sedikitpun tidak ada kebebasan terbuka, salah sedikit dibabat sampai ke arah, habisi sampai sembilan generasi[1] terdekat, dan membuat orang pada takut untuk sembarang bicara atau bergerak. Seluruh kekuasaan ada ditangan kaisar saja. Sedangkan alasan lain adalah dinasti Ming tidak sanggup melawan bajak laut pendek dari Jepang, lalu bermimpi untuk melakukan
blokade laut, jadi semua kapal yang bisa berlayar dibakar habis. Mereka menyangka dengan cara begini terus bisa memutuskan hubungan dengan para bajak laut pendek ini dan membiarkan mereka mati kelaparan. Ini betul-betul ketidakmengertian total akan Jepang. Larangan yang goblok ini tentu saja urusan
setelah zaman Kaisar Yongle, setelah ekspedisi ke baratnya Zheng He. Begitu dinasti Ming mulai menjalankan blokade, seluruh kekuatan negara pun mulai memburuk. Pada saat yang sama, teknologi di dunia barat mulai berkembang, dan revolusi industri pun baru mulai.
Ada satu periode menarik yang perlu diperhatikan, yakni di tahun 1517 di awal abad ke-16, waktu Martin Luther secara terbuka menentang kekuasan Paus, anti autoritas Gereja, dan di saat itu, arena waktu itu bertepatan di saat Kaisar Zhengde dinasti Ming turun ke daerah Jiangnan. Kaisar Zhengde ini orangnya sangat tidak becus dan brengsek. Sewaktu ke Jiangnan, dia melakukan berbagai tindakan tidak senonoh yang memalukan. Semua tahu, sewaktu dinasti Sui, dinasti Tang, Tiongkok sangat makmur, sesudah dinasti Song dan Yuan masih mendinganlah. Waktu itu teknologinya maju dan lalu lintas juga mudah, dan terbuka ke dunia luar. Sedangkan di Eropah adalah masa yang tertutup. Semua diatur oleh Gereja, dan tidak ada kebebasan pikiran dan ilmu pengetahuan. Kalau kamu mengatakan bumi berputar mengelilingi matahari kamu akan dimasukkan ke penjara, semua pada bersifat tertutup. Sesampai di abad ke 16, Eropah mulai bebas, penemuan teknologi juga mulai ada, sebaliknya Tiongkok malah mulai menutup diri. Ini adalah suatu pelajaran sejarah yang berharga.
Hari ini sudah omong sebanyak ini, tujuannya tak lain agar kita semua mengerti dua konsep, yakni reformasi dan keterbukaan. Bangsa Tionghua bisa begini besar, semuanya tergantung kepada reformasi dan keterbukaan. Sewaktu kita menjumpai kesulitan, di dalam harus aktif melakukan reformasi, berusahan sekuat tenaga mengatasi kesulitan. Begitu reformasi berhasil, bangsa kita akan makmur lagi.
Pada saat yang sama kita juga harus terbuka keluar. Hal ini agak lebih penting, karena orang Tionghua punya rasa percaya diri, dan kita percaya bahwa bangsa kita memang bangsa besar. Kekuatan militer dari luar atau kebudayaan dari luar kita tidak pernah takut. Selain itu ada lagi satu konsep penting, tapi hari ini
tidak ada waktu untuk menjelaskan. Saya rasa para sejarawan dulu selalu mengatakan, Mangyi Rongdi[2], Wuhu Luanhua,[3] Orang Mongol, orang Manchuria menjajah Tiongkok, gunung dan sungai yang permai jatuh ke dalam tangan bangsa asing dan sebagainya. Saya ingin menulis beberapa artikel sejarah yang
mengatakan bahwa suku minoritas juga bagian dari suku bangsa Tionghua. Wei Utara, dinasti Yuan, dinasti Qing hanyalah kekuasaan minoritas, dan tak bisa dikatakan bahwa bangsa Tionghua dibasmi bangsa asing, tetapi hanya bergilir jadi bandar. Pemerintah dinasti Qing yang didirikan oleh orang Manchuria kenyataannya
jauh lebih baik dari dinasti Ming. Konsep ini banyak saya ungkapkan dalam novel saya. Mudah-mudahan di kemudian hari bisa saya jadikan tulisan yang bersifat ilmiah.
Sejarawan Inggris Toynbee yang saya sebutkan di atas pada mulanya waktu dia menulis karya besarnya “A Study of Historyâ€, dia tidak begitu mengindahkan Tiongkok. Sampai waktu dia akan meninggal baru dia dapatkan suatu kesimpulan: Harapan dunia sebenarnya tertumpu pada kombinasi antara peradaban Tiongkok dan peradaban Barat. Dia menganggap bahwa keistimewaan kebudayaan barat adalah
penemuan, penciptaan, pencarian, ekspansi ke luar yang tak pernah putus, yang merupakan budaya yang dinamis. Keistimewaan budaya Tiongkok terletak pada perdamaian, persis seperti tembok besar, fungsinya menjaga, stabil, harmonis, jadi merupakan budaya statis. Sekarang banyak ahli dunia barat menganggap, dunia ini hanya sebegini besar, eksplorasi dan ekspansi yang tak terbatas sudah tidak mungkin, dan tak mungkin tercapai. Makanya mulai sekarang cuma bisa menerima filsafat Tiongkok, perlu kestabilan, perlu keharmonisan, antara berbagai suku bangsa harus ada kerja sama dan harus menghindari peperangan. Karena kemajuan teknologi, munculnya senjata nuklir, perang dunia di kemudian hari betul-betul
tak terbayangkan. Sebagian orang gila mungkin bersedia melakukan perang nuklir, tanpa mengetahui kalau akhir dari peperangan ini hanyalah kemusnahan umat manusia. Kemungkinan ini tidak bisa bilang tidak ada. Ilmuwan barat yang sempat berhubungan dengan saya mengatakan bahwa dewasa ini mereka tidak begitu
menguatirkan akan perang nuklir. Yang paling mereka khawatirkan adalah tiga hal: Pertama adalah pemborosan sumber daya alam; kedua adalah pengotoran lingkungan, dan ketiga adalah peledakan penduduk. Ketiga persoalan ini akan menyangkut masa depan umat manusia. Makanya, dewasa ini banyak orang barat menggantungkan harapan mereka kepada Tiongkok, mereka mengharapkan untuk mengerti Tiongkok, mengerti filsafat Tiongkok. Mereka menganggap filsafat Tiongkok dan sikap mental mengenai balance, harmonis, dan persatuan mungkin bisa menyelesaikan persoalan utama seluruh umat manusia.
Baru-baru ini di Oxford ada suatu pesta besar, dan Lord William Rees-Mogg, mantan editor utama London Times juga hadir. Dia pernah bilang, di abad ke sembilan belas, pusat ekonomi dunia ada di London, di abad ke duapuluh pindah ke New York, setelah perang di tahun 70an, 80an lalu berpindah ke Tokyo, sedangkan di abad ke-21 pasti akan berpindah ke Tiongkok. Sedangkan di Tiongkok pusat ini bisa di Beijing atau Shanghai. Soal apakah pusat ini ada di Beijing atau Shanghai, menurut saya bukan persoalan. Asal di Tiongkok sudah baiklah.
Semula dimuat di Majalah Bulanan Mingbao, Desember 1994.
Alihbahasa: Aris Tanone.
http://home.hiwaay.net/~atanone/Terjemahan/
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua
CATATAN KAKI :
[1] Sembilan generasi dari garis ayah maupun ibu.
[2] Keempat suku bangsa asing di empat penjuru Tiongkok.
[3] Lima suku asing mengacau Tiongkok.
Pihak yang ingin mempublikasi ulang tulisan dalam web ini diharapkan untuk menyertakan link aktif : www.budaya-tionghoa.net , NAMA PENULIS dan LINK aktif yang berada didalam tulisan atau membaca lebih jauh tentang syarat dan kondisi . Mempublikasi ulang tanpa menyertakan tautan internal didalamnya termasuk tautan luar , tautan dalam , catatan kaki , referensi , video , picture , sama dengan mengurangi konten dalam tulisan ini.