Rupanya hingga hari ini, pemakaian istilah “Cina”, “China”, “Tionghoa” masih menjadi perdebatan yg hangat. Tulisan di bawah ini berasal dari Bpk Drs Eddie Lembong, ketua pendiri Yayasan Nation Building (Nabil), yg disusun sebagai jawaban atas email sdr Dharma Hutahuruk. Barangkali ada baiknya dibagikan juga dimilis ini, dengan harapan akan membawa manfaat. Terimakasih dan salam Didi
***
1.Dalam teks pidato pengukuhan sebagai Guru Besar, tgl 15 Oktober 2008 hal. 2, Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami, pada catatan kaki ada dijelaskan bahwa kata “Cina” (Inggris : “China”), (Belanda : China/Chinees), (Jerman : Chinesische), (Perancis : Chinois) berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “Daerah yang sangat jauh”. Kata “China” sudah berada di dalam buku Mahabharata
sekitar 1400 th sebelum Masehi.
2.Menurut Prof. Wang Gungwu (dalam sebuah konferensi satu dua tahun yang lalu, yang saya hadir) pernah menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa sendiri tidak mengenal apalagi menggunakan istilah “Cina/China”.
3.Istilah “Cina” atau yang mirip dengan itu di bawa/diperkenalkan oleh Bangsa-bangsa Barat yang mulai datang ke Nusantara sejak awal Abad ke 17.
4.Mula-mula masyarakat di Nusantara menggunakan istilah itu tanpa konotasi buruk. Tetapi dengan makin “berhasilnya” penerapan politik “Devide et Impera” oleh kolonialisme Belanda, hubungan Tionghoa-penduduk setempat yang dulunya selalu baik, berangsur-angsur memburuk. Dalam sentimen yg emosional, istilah “Cina” sering diucapkan dengan “Aksen” yang penuh rasa kebencian.
5.Di awal Abad 20, ± th 1920-an, koran Sin Po mempelopori penggunaan istilah “INDONESIA” sebagai ganti istilah “INLANDER” yang merendahkan bagi masyarakat Nederlands Indië. Kemudian ada semacam “gentleman agreement” antara para pemuka “Kaum Pergerakan” dengan Sin Po yang mewakili masyarakat Tionghoa, untuk tidak lagi menggunakan istilah “Cina” yang berkonotasi menghina/rasa kebencian itu, dan diganti dengan sebutan “Tionghoa” (lihat Memoar Ang Yan Goan: Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli Pembangunan Bangsa Indonesia, 2009, h. 49). Itulah sebabnya pada semua dokumen-dokumen historis seperti UUD 1945 dll, semua menggunakan
istilah “Tionghoa” dan bukan “Cina”.
6.Pada masa sengit-sengitnya PERANG DINGIN, setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September, dalam seminar ke II AD di Bandung pada tanggal 25 s/d 31 Agustus 1966 diusulkan mengganti sebutan Tionghoa menjadi “Cina” dengan alasan “Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang dipakai secara umum diluar dan dalam negeri terhadap sebutan negara dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan rasa superior segolongan warga negeri kita.” yang dinyatakan oleh wakil panglima AD Panggabean dalam laporan kesimpulan Seminar pada Suharto — pimpinan Kabinet. (sumber : Kong Yuan Zhi (sebutan “Tiongkok”, “Tionghoa” dan
“Cina”)
Hal ini kemudian dituangkan kedalam surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967. Menurut sumber intern yang mengetahui, sebenarnya maksud edaran ini hanya ditujukan/dialamatkan ke Negara RRT dan orang-orang Tionghoa Asing. Sedang untuk WNI keturunan Tionghoa, sebutan keturunan Tionghoa itu tetap dipertahankan, tidak diubah. Tapi karena tingginya emosi/sentimen setelah G30S, menggunakan istilah “Cina” meluber dan membanjiri kesemua orang-orang, termasuk WNI keturunan Tionghoa.
7.Menarik untuk dicatat/diketahui, bahwa dalam buku “KESATRIA BANGSA : Perjalanan Hati dan Karir Seorang Prajurit Laut” tulisan Laksamana Madya SUMITRO hal. 135 ada catatan sebagai berikut :
“Bukankah merupakan perintah Allah SWT pula bahwa janganlah satu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka lebih baik, dan jangan pula kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk…… (Al Quran surat Al-Hujuurat-11). Sepanjang pengetahuan saya tidak ada satu pun perkumpulan atau organisasi kelompok etnis Tionghoa di Indonesia ini menggunakan sebutan Cina,
semua menggunakan sebutan Tionghoa. Ini menunjukkan bahwa saudara saya sebangsa dari etnis Tionghoa lebih memilih dan menyukai sebutan Tionghoa. Alangkah naifnya diri saya kalau merasakan dan mengetahui hal ini, masih juga saya menggunakan sebutan Cina. Saya tidak ingin menjadi naïf dalam hal apa pun, biarlah orang lain.”
Dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut diatas, dan dengan menyadari dan harus diakui banyak orang yang kini tanpa bermaksud buruk menggunakan istilah “Cina”. tidaklah perlu untuk kita pertentangkan, akan tetapi atas surat edaran Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967, yang nyata-nyata mempunyai dampak dan pengaruh “menghasut” untuk membenci sebuah Negara Asing ataupun masyarakatnya ataupun yang mengenai siapa saja itu, dengan telah berakhirnya “Perang Dingin” serta makin menjadi jelasnya “duduk perkara” di sekitar soal itu, kami berpendapat betapa indahnya kalau Pemerintah menyadari bahwa sudah waktunya untuk secara resmi mencabut/membatalkan surat edaran itu.
Bagaimana selanjutnya kebijakan masyarakat dalam penggunaan istilah-istilah itu. Tidaklah perlu kita pertentangkan; terserah kepada pengertian dan itikad baik masing-masing pihak dengan memperhatikan semua hal-hal tersebut diatas.
Sekian, semoga bisa ada manfaatnya.
Eddie Lembong
Yayasan NABIL (Nation Building)
Catatan Admin :
- Diskusi ini mengandung pro dan kontra maka dipersilahkan mengikuti ARTIKEL TERKAIT dalam website ini , sekitar masalah istilah Tionghoa , Cina , Tenglang dan sebagainya.
- Judul adalah atas inisiatif admin dan mungkin berbeda dengan judul thread dalam mailing list (format aslinya)
Tautan Internal :