Jangan Bedakan Kami, Karena Kami Indonesia Ada
Budaya-Tionghoa.Net | ITULAH rengeng-rengeng (gumam) yang berulang kali dinyanyikan biduan country Franky Sahilatua sambil memetik senar gitar kopong di podium. Event-nya, seminar sehari dengan tema Sumpah Pemuda dan Semangat Pluralisme. Tempatnya di Restoran Raja Kuring, Jl Kakap No 5, Pasar Ikan, Jakarta Barat. Waktunya, Sabtu, 29 Oktober 2005. Diselenggarakan oleh INTI, Perhimpunan Indonesia-Tionghoa DKi Jakarta. Acungan jempol buat INTI karena peringatan Sumpah Pemuda tahun ini sungguh sepi bagai dilupakan oleh sebagian terbesar rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia.
|
“Jangan bedakan kami, karena kami Indonesia ada …” sebuah ungkapan yang sangat tepat. Bayangkan kalau tiada kami, pasti takkan ada Indonesia!
Siapakah yang dimaksud sebagai kami? Dalam konteks seminar tentu saja etnis Tionghoa! Namun Franky juga menyebut contoh dirinya sendiri, kalau mau pulang ke Ambon tidak diakui karena dibilang orang Jawa, sebaliknya di Jawa juga kurang diakui karena dituduh orang Ambon!?(Catatan: Franky adalah etnis Ambon kelahiran Surabaya, Jawa Timur).
Idem dengan etnis Tionghoa kan? Di China tak diakui lagi sebagai orang China, di Indonesia dibilang non pribumi! Padahal kata Indonesia yang pertama dicetuskan pada tahun 1867 jelas-jelas bermakna Nesia yang Indo. Artinya penduduknya memang terdiri dari orang-orang indo. Nenek moyang bangsa Indonesia datang dari Yunan, Tiongkok Selatan, begitu sejarahnya. Agama Islam pun dibawa oleh orang-orang China, termasuk Laksmana Cheng Ho, bukan hanya oleh pedagang-pedagang Gujarat dari Timur Tengah sebagaimana ditulis buku pelajaran sejarah SD. Bahkan sebagai besar dari Wali Sanga sebenarnya adalah etnis Tionghoa (!)
Dari Gus Dur sampai Dede Yusuf
Pluralisme artinya adalah faham kemajemukan, keberagaman. Dan Indonesia memang terdiri dari beragam etnis, suku bangsa, agama, tapi kenapa etnis Tionghoa apalagi yang non-Muslim selalu didiskriminasi, dibeda-bedakan? Hal itu diakui oleh 99,9 persen peserta seminar. Bahkan seorang peserta, A-Lai, yang temperamental dengan menggebu bilang, yang dilihat dari kita hanyalah lui, lui, duit, duitnya saja!
Seminar dibuka pada pukul 9.30 wib oleh Benny G. Setiono selaku Ketua INTI. Terbagi dua sessi. Yang pertama dipandu Budi S. Tanuwibowo (Ketua Umum Matakin). Sebagai keynote speech adalah K.H. Abdurrachman Wahid (NBB). Berlanjut dengan Dede Yusuf (PAN) yang meninjau pluralisme dari Perspektif Nasionalisme. Franky Sahilatua meninjau pluralisme dari Perspektif Budaya. Dua calon pembicara tidak hadir, yakni Marissa Haque Fauzi (PDIP) dan Angelina Sondakh (Partai Demokrat). Marissa digantikan Firman Jaya Daeli (Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP PDI-P) yang meninjau pluralisme dari perspektif Hukum. Mengenai Angelina tak ada penggantinya, namun panitia mengundang Kang Sobari, budayawan, sebagai bintang tamu.
Mantan Presiden Gus Dur mengenang, di masa lalu, perbedaan antara tokoh-tokoh politik dan agama tidak menghalangi mereka untuk saling menghormati. Beda dengan sekarang, yang ada perbedaan kepentingan!
Sebagai contoh beliau menceritakan ayahnya yang bersahabat dengan Tan Malaka. Setiap Tan datang ke rumahnya selalu dipeluk dan diajak makan bersama. Juga ayahnya pernah memberikan sumbangan pada Romo Kasimo yang Katolik untuk membangun rumah seorang tokoh partai lain.
Firman membenarkan adanya aturan hukum di Indonesia yang diskriminatif atau mencampuri wilayah yang mestinya tak boleh diatur oleh Negara. eberadaan surat keputusan bersama dua menteri yang antara lain mengatur tentang pendirian rumah ibadah seharusnya pemerintah atau negara tidak boleh mengatur hubungan transendental manusia dengan Tuhan,?begitu kilahnya.
Dede Yusuf lebih dulu memuji amal INTI yang dilihatnya sendiri saat ke Nias, ternyata sejumlah relawan INTI telah mendahului memasuki daerah yang sangat sulit dicapai untuk menolong korban musibah.?Dengan diplomatis pula Dede menangkis serangan Melly G. Tan yang galak menuduh, anggota DPR tidak punya hati dengan menerima tambahan tunjangan Rp 10 juta lagi!?Dede menguraikan, betapa anggota DPR memerlukan tunjangan itu untuk melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke daerah misalnya atau untuk menggaji staf ahlinya.
Dari Roy Marten sampai Nurul Arifin
Setelah istirahat makan siang selama satu jam untuk menghormati yang tidak berpuasa (sebagian terbesar hadirin memang bukan Muslim), sessi kedua dibuka oleh moderator Ulung Rusman (dari INTI) dengan keynote speech Faisal Basri (PI). Ketiga pembicara adalah Roy Marten (pluralisme ditinjau dari perspektif agama/keyakinan), Rieke Dyah Pitaloka (PKB) meninjau pluralisme dari perspektif filsafat dan sosiologi, serta jurukunci Nurul Arifin (Partai Golkar) meninjau pluralisme dari perspektif gender.
Mengenai penutupan gereja-gereja, Roy Marten sesumbar, saya membangun gereja di halaman rumah sendiri, tidak pake izin! Masa membangun panti pijat saja boleh, rumah ibadah kok dipersulit? Tapi gereja saya aman karena saya peduli pada lingkungan, tetangga.?Roy memprediksi insiden yang terjadi karena kecemburuan sosial, penduduk setempat iri melihat orang-orang bermobil yang datang ke gereja. Dulu di Salatiga, serumah, satu keluarga macam-macam agamanya, neneknya Islam, menantunya Kristen, tidak jadi soal, tetap rukun!?
Lain lagi Rieke Dyah Pitaloka yang ngetop sebagai Oneng dari serial komedi Bajaj Bajuri. Ia mengakui,kakek saya adalah keturunan Tionghoa dari Cirebon.?Pengalamannya pernah datang ke Surabaya menemui suami-istri yang dituduh berzinah dan dijebloskan ke dalam sel karena mereka ingin menikah sesuai kepercayaan Khong Hu Cu, orang mau menikah menurut keyakinannya sendiri, kenapa dipersulit? Cuma selembar kertas saja??protesnya. Di Indonesia memang hanya lima agama yang diakui Pemerintah, Khong Hu Cu belum termasuk!
Nurul yang opanya Belanda, menghitung sebenarnya jumlah perempuan Indonesia itu 52 persen, jadi lebih besar ketimbang lelaki. Tapi tentu saja itu bukan lantas dimanfaatkan kaum lelaki untuk beristri lebih dari satu.
Kang Sobari menyinggung perbedaan faham antara NU dengan Muhammadiyah, meskipun sama-sama Islam, namun bisa sangat meruncing.
Pada hakekatnya etnis Tionghoa yang selalu dibilang minoritas karena hanya lima persen, sesungguhnya adalah warga nomor tiga terbesar di Republik Indonesia setelah etnis Jawa dan Sunda. Dus sama sekali bukan minoritas!?seru seorang hadirin.
Terasa sekali terlalu banyak yang dibahas dalam seminar yang belum memuaskan semua yang hadir karena sempitnya waktu. Seminar berakhir tepat pukul 17.00 wib. Para peserta pulang dengan sejemput asa semoga diskriminasi terhadap orang Tionghoa semakin berkurang di masa datang ?SPAN>
Yan Widjaya , 15243
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua