Budaya-Tionghoa.Net | Kuncir (taucang) pria Tionghoa di zaman dulu hanya ada di zaman Qing (1644 – 1911). Kuncir ini sebenarnya merupakan salah satu bagian dari mode rambut orang Manchuria. Batok kepala dibagi dua, depan dan belakang. Setengah bagian depan kepala dibotakkan sedangkan rambut di 1/2 bagian belakang kepala dibiarkan panjang dan dikuncir (diikat).
|
Asal mula kuncir menjadi tradisi mode orang Manchuria menurut catatan sebuah buku mengenai orang Manchu yang pernah saya baca adalah dikarenakan kebiasaan dan budaya orang Manchu. Orang Manchu berasal dari Tiongkok Timur Laut dekat perbatasan Korea. Asalnya dari suku Nujen, suku ini salah satu suku dalam Dinasti Ming. Suku Nujen asalnya dari Kerajaan Kim. Kerajaan Kim ini adalah kerajaan yang disinggung dalam Pendekar Pemanah Rajawali-nya Jin Yong yang mengambil latar belakang sejarah Dinasti Song.
Orang Manchuria bersama orang Mongol adalah sama-sama suku bangsa yang mahir berkuda. Untuk memudahkan, maka rambut depan mereka dibotakkan dan bagian belakang diikat, bila tidak, rambut akan tertiup angin kencang ke sana kemari. Orang Mongol juga punya kebiasaan menguncir rambut karena kebiasaan berkuda ini.
Orang Han tidak seberapa mahir berkuda dibandingkan Mongol dan Manchuria. Orang Han yang berkuda biasanya cuma memakai serban (sarung ikat kepala) untuk mengikat rambut mereka. Lama kelamaan, tradisi menguncir rambut ini menjadi kebiasaan dan budaya orang Manchuria.
Kaisar ketiga Dinasti Qing, Sunzi atas bantuan Wu San-gui berhasil menerobos Tembok Besar dan menguasai Beijing tahun 1644. Untuk memperkuat legitimasi penaklukan atas orang Han, Sunzi memerintahkan semua orang Han harus memangkas rambutnya sesuai tradisi kuncir orang Manchuria.
Banyak yang melawan perintah ini dan harus dipenggal. Semboyan waktu itu adalah “ingin rambut, penggal kepala; ingin kepala, pangkas rambut”. Banyak juga yang langsung membotakkan kepala dan menjadi biksu untuk menunjukkan perlawanan. Ini sebabnya mengapa ada orang Tionghoa yang ber-toucang, ada yang tidak di Indonesia. Yang ber-taucang adalah yang datang antara abad 18 sampai awal abad 20. Yang datang sebelumnya tidak mengenal cara ber-taucang dan yang sesudahnya sudah meninggalkan tradisi ber-taucang.
[Photo Ilustrasi : Alec Su dan Vicky Zhao Wei dalam Huanzhu Gege dalam gaya rambut Manchu]
Penghujung abad 19 dan awal abad 20. Korupsi di dalam birokrasi dan penjajahan setengah oleh bangsa Barat menjadikan Tiongkok menjadi bangsa yang lemah. Tahun 1911, Sun Yat-sen melancarkan revolusi Xinhai dan berhasil menumbangkan Dinasti Qing. Sun Yat-sen adalah salah satu yang menolak berkuncir sebagai bentuk perlawanan terhadap Dinasti Qing. Setelah Republik China berdiri, otomatis tradisi kuncir ini juga hilang dengan sendirinya pada orang Manchuria sekalipun.
Asumsi Kuncir Sebagai Simbol Penghinaan
Saya kurang begitu setuju atas kata penghinaan. Menurut saya, alasan Kaisar Shunzi memerintahkan kebijakan ini hanya alasan politis, untuk menunjukkan legitimasi penaklukan atas orang Han. Qing didirikan dengan menumbangkan Ming yang dianggap merupakan dinastinya orang Han. Jadi, sebenarnya tidak usah ada kebijakan kuncir ini, orang Han sudah merasa terhina dengan diskriminasi yang dilakukan oleh Shunzi.
Shunzi merupakan kaisar ketiga dinasti Qing, namun adalah kaisar pertama yang membawa pemerintah Manchu ke Beijing. Di sana, orang Manchu memerintah, berkuasa namun mereka tak dapat mengubah kenyataan bahwa mereka adalah minoritas. Itu makanya, mereka meluncurkan banyak kebijakan diskriminasi, misalnya orang Manchu (karena minoritas) tidak usah bekerja dan ditanggung biaya hidupnya oleh negara dan banyak privilese lainnya.
Mereka mengadopsi tata cara pemerintahan orang Han karena merasa gaya pemerintahan ini lebih “modern” dibanding punya mereka. Mereka menggunakan bahasa Han sebagai bahasa pemerintahan. Bahasa Manchu cuma digunakan sebagai bahasa rahasia di antara pejabat tinggi pemerintahan. Semua ini harus diimbangi dengan infiltrasi kebudayaan mereka ke dalam kebudayaan Han yang besar itu. Makanya mereka berusaha mengubah tata cara berpakaian orang Han dan memaksakan tata cara berpakaian ala Manchuria.
Paling tidak, bila benar kebudayaan Manchu punah atau pudar, ada sisa2 yang tertinggal di dalam kebudayaan Han. Jadi, bila mau dianggap sebagai satu penghinaan, saya lebih suka menganggap ini satu macam peningkatan harga diri suku Manchu. Tentu saja ini pendapat subjektif dari saya. Masih banyak orang yang menganggap ini perusakan harga diri orang Han. Namun menurut saya, masa lalu tetap masa lalu. Tidak perlu dendam ini diteruskan ke anak cucu. Orang Manchu juga adalah pendiri Republik China serta RRC yang sekarang. Bahasa dan kebudayaan Manchu juga sudah hampir punah dan sedang digalakkan revitalisasinya oleh pemerintah RRC.
Orang Han baru mulai dipulihkan hak-hak mereka setelah pemerintahan Kaisar Yongzheng dan Qianlong. Yongzheng mulai menggunakan menteri2 orang Han. Jenderal Han kesayangannya, Nian Geng-yao membantunya menekan pemberontakan orang Uigur di Xinjiang. Gubernur di tiap propinsi terdiri dari 2 orang, 1 pejabat militer orang Manchu dan seorang pejabat sipil orang Han.
Namun, Qianlong tetap orang Manchu. Tahun ke-5 pemerintahan Qianlong (1740) , Kumpeni membunuhi orang2 Tionghoa di Batavia. Setelah itu, Belanda takut Qing akan membalas dendam karena itu segera mengeluarkan petisi minta maaf kepada Kaisar Qianlong. Namun oleh Kaisar Qianlong yang jelas tahu bahwa orang Tionghoa di Batavia mayoritas adalah orang Han dari selatan, ia cuma merespon dingin atas peristiwa pembantaian tadi. Pada masa pemerintahan Qianlong, wilayah kekaisaran Qing lebih luas daripada wilayah RRC yang sekarang.
Analogi untuk kebijakan kuncir? Saya kira orang Afrika Amerika di masa lalu tidak pantas dibandingkan dengan masalah ini karena Afrika Amerika adalah minoritas juga berbeda dalam status. Sedangkan Han adalah mayoritas yang ditaklukkan. Yang satu masalah kemanusiaan, yang satu masalah politis.
Rinto Jiang , 13512
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | ICCSG