Budaya-Tionghoa.Net |Sobat, ini ada notulensi bedah buku / novel “Putri Cina” yang ditulis oleh Sindunata di Solo tanggal 3 Mei yang lalu. Saya ingin mengajak teman-teman mendiskusikan isinya di milis ini. Terima kasih.
***
MC : Selamat pagi, sambil mengisi waktu kita akan memperkenalkan diri dan mengenalkan tokoh-tokoh yang datang. Pertama, seorang tokoh: Bang atau Pak Muchtar Pakpahan, tokoh buruh kelas internasional; Ada juga sesepuh dari Kong Hu Cu; Pak Joko dari Hoo Hap; Ada juga tokoh Baperki:
|
Pak Ichsan. Beliau ini karena di Baperki maka dipejara. Ya, karena dia lahir di waktu yang tidak tepat. Naik kapal yang tidak tepat. Tapi sekarang (berorganisasi-berserikat-berkumpul) sudah boleh. Dulu apa-apa nggak boleh; Ada Pak Yun Fen dari Hakka dari Wihara; Ada tokoh muda: Pak Prabowo. Ada Wasit Internasional: beliau ini wasit macam-macam: angkat besi, body building dll. Selamat datang Bu Ester. Ada Pak Paulus dari radio dan bergerak di (NGO) kemanusiaan: luar biasa! Ada Pak Arif, doktor filsafat yang juga luar biasa. Acara akan segera dimulai..Selamat pagi, selamat datang. Bapak ibu yang saya muliakan. Terima kasih atas kehadiran anda, dalam rangka 10 th Reformasi, kita menyelenggarakan bedah buku Putri Cina. Acaranya langsung tanpa break sampai selesesai saat makan siang.Moderator: Pak Josep Wiriatmadja. Kata pengantar Bapak Budi, sesepuh dari YBKS..Sambutan: Bapak, ibu, saudara yang kami hormati, selamat pagi, selamat datang. Terimalah dalam salam hormat dan kesejahteran dari kami. Terimakasih pada Bapak Sindunata SJ, Ester Jusup, dan Bapak Sudarmono yang bersedia datang sebagai pembicara dalam rangka peringatan 10 tahun reformasi. Acaranya adalah bedah buku Putri Cina. Acara ini didukung CDC-YBKS, PMS, HOO HAP, FU Qing, Hakka, Matakin, FSHKB, Rimabagks. Harapan saya, acara ini lebih memeperluas cakrawala dan meningkatkan rasa persaudaraan. Karena sejatinya, seperti ditulis dalam novel itu, kita adalah bersaudara. Pengharagaan setinggi-tingginya pada hadirin. Selamat berdiskusi.
MC : silakan Pak Josep, Romo Sindu, Bu ester, dan Pak Darmono maju kedepan.
MODERATOR | PAK JOSEP : Selamat pagi, kita gembira dan kesibukan kita masih bisa berkumpul. Saya utarkan latar belakang. Gagasan peringatan reformasi dan kebangkitan nasional ini saya utarakan pada komunitas Tionghwa. Dalam pidato presiden pada tanggal 30 April yang lalu disampaikan bahwa kita sedang menghadapi pangan, energi, dan krisis pangan. Menurut saya, bukan cuma itu. Ada krisis lain yang sedang terjadi yaitu: krisis persaudaraan dan kebangsaan. Krisis ini makin parah, terutama sesudah reformasi. (Seharusnya, dengan reformasi) kita tidak lagi orang yang beda agama, aliran, suku, tapi bagian dari saudara sebangsa. Tetapi yang terjadi sebaliknya. CDC ingin menyumbangkankan dan berpartisi dalam merajut kebangsaan. Dalam novel Putri Cina ini ditulis: “..bukankah kita ini dipersaudarakan, mengapa masih bertanya, siapa saudara kita?” Baiklah melalui forum ini, kita tindaklanjuti. Romo Sindu memaparkan latar belakang penulisan novelnya, Pak Darmono dari sisi lintasan sejarah, dan Ibu Ester menceritakan pengalaman mendampingi korban Kerusuhan Mei 1998.
Di sini panelis bukan mempertahankan disertasi, tapi biarlah silang pendapat di antara kita. Sebelum ditutup saya akan membuat beberapa kesimpulan. Syukur ada rekomendasi, dan pikiran-pikiran tindak lanjut. Setelah ditutup, kita makan bersama. Saudara itu kalau makan ya bersama-sama. Dalam makan itu kita menjalin rasa persaudaraan dan cari teman.
MODERATOR : saya perkenalkan, Romo Sindu dari desa Batu, Malang. Sudah di batu, malang lagi (ha..ha..). Tapi dari Batu, artinya punya pendirian seperti batu karang yang teguh. Beliau belajar di Jerman dan Belanda. Melalui bedah buku ini, kita juga memasyarakatkan budaya baca, yang langka di peranakan Tiongwa.
SINDU : terima kasih Pak Josep dan teman–teman hadirin, yang datang ke sini untuk bicara tentang buku Putri Cina. Sebelumnya saya minta maaf, kalau akan muncul kata Cina sebagai bahasa sastra, istilah, ataupun ungkapan, yang kita sebenarnya senang pakai kata Tionghwa. Sebenarnya tepat, kalau bicara buku ini, di Solo. Di samping peringatan reformasi dan 100 th kebangkitan nasional, hari-hari ini kita sedang dalam keprihatinan. Kerusuhan 10 tahun lalu yang menimpa etnis Cina terjadi di Jakarta dan kemudian Solo. Semoga dibalik eforia dan antusiasme ini kita juga mengenang kesedihan karena kerusuhan juga membuat banyak orang mengungsi.
Yang ingin saya ceritakan adalah proses kreatif dan latar belakang. Pergulatan saya pribadi sebagai anak keturunan Cina. Sebelumnya, saya menulis ilmiah berjudul: Kambing Hitam, Teori Rene Girard (2006). Bahwa di dalam suatu kerusuhan dan kekerasan selalu ada kambing hitam. Dalam buku itu saya buat refleksi ilmiah yang menimpa etnis Tiongwa. Kalau Anda melihat saya, Anda tidak mengira kalau saya keturunan Cina. Ini pertanda betapa sulitnya mengira saya ber-etnis cina. Banyak wajah global yang tidak bisa dikembalikan ke etnisnya. Sejak tahun 1965, bila orang punya kesempatan untuk sembunyikan ketiongwaannya, maka ia lebih suka sembunyikan identitas itu. Saya pun juga demikian. Maka akibatnya, kata Cina juga disembunyikan, diganti eufismenya: kata Tionghwa. Perasaan (akibat menyembunyikan identitas) ini saya alami ketika di Jerman. Di sana saya bertemu anak-anak Cina yang tidak berada, kelas menengah. Mereka bekerja (serabutan), sekolah, dan menjadi pekerja gelap. Mereka bekerja jadi tukang sapu, tukang masak, baby sitter, dll. Mengapa saya terasing di tengah kalangan sendiri (Cina)? Mungkin itu karena telah sekian lama, kita/saya cenderung menutupi identitas. Ini memedihkan. Waktu di Indonesia ini terselimurkan, karena pekerjaan saya wartawan. Tapi sewaktu saya retret, refleksi rohani., ada seorang pastor pembimbing mengatakan: kalau kamu terasing merasa sedih, mungkin perasaan ada di dalam dirimu yang menolak karena dirimu Cina. Sebab, kalau menyatakan diri sebagai Cina, kamu diperlakukan tidak adil. Ketakutan menerima diri apa adanya itulah membuat dirimu tidak utuh. Kalau memang cina, ya cina. Mau apalagi! Saya secara batin, dengan berani menerima diri apa adanya, cina ya cina, dengan kelebihan dan kekurangannya. Ada penolakan dalam diri kita. Pergulatan ini dialami intelektual, dan siapapun: Kalau mungkin akan sembunyikan diri, siapa kita.
Pada adik saya bungsu, saat kerusuhan, ibu saya bilang: yang penting susu, pakaian bayi dan kita lari. Saya ingat benar: saat seperti itu betapa tetap hidup adalah yang paling penting. Karena punya bayi, maka susu dan pakaian bayi harus ada. Harta biar hilang, tapi nyawa tetap. Untung kerusuhan tak sampai sana. Saya tak bisa membayangkan arti hidup kita. Saya tulis kebudayaan Jawa, wayang, namun dalam saat kritis itu tidak ada gunanya. Saya punya kenalan dekat, yang memasukkan seluruh dokumen penting, akte, surat tanah, ijasah ke dalam koper. Pesannya: kalau nanti kerusuhan, langsung bawa koper dan lari. Dia tinggal di Jakarta Kota dan daerah jalan Gadjah Mada Jakarta. Juga ada saudara dekat (yang terkena kerusuhan), dia selamat, tapi shock.
Yang mau saya katakan, di balik antusiasme politik hari ini: kita harus eling (ingat). Lalu saya gubah buku Putri Cina ini. Saya bayangkan sebuah perjalanan panjang. Kita tidak tahu kapan kita ada di sini. Orang-orang cina ada dalam Babad Tanah Jawa: disebut Putri Cina. Mamanya Raden Patah: Putri Cempa. Raden Patah adalah pembaharu sejarah Jawa. Sadarkan kita, bahwa ibunya Raden Patah adalah Cina, baik secara historis maupun mitos. Kata teman-teman muslim, sejarah ini meminjam rahim seorang perempuan cina untuk membuat perubahan, dari hindu ke Islam. (Saya tidak tahu apakah) karena dia perempuan, maka dia tak diakui. Atau karena cina? Saya berkunjung ke makamnya. Saya tersasar di Lasem, saya melihat makam Putri Cempa. Yang dirawat, sangat islami. Ibunya Raden Patah: (di situ bernama) Raden Ayu Indrawati. Inilah suatu perubahan yang dibawa dari rahim perempuan cina. Peristiwa kerusuhan Mei, bukan lahir begitu saja. Kekerasan itu bukan saja penggulingan mobil, pembakaran toko, perkosaan, pembunuhan. Ada tumbal. Kita jangan berbangga sebagai tumbal. Tapi (harus mempertanyakan) mengapa hal itu terjadi.
Dalam buku ini saya bilang, semua pihak mesti berhati-hati. Bukan hanya orang Jawa yang memang punya mekanisme kambing hitam. Peristiwa Mei tidak bisa dijelaskan dengan gamblang. Di mana saja suatu kekerasan bisa terjadi. Dan pembantaian. Orang Jerman itu kurang rasional apa. Mereka punya filsuf Emanuael Kant, tetapi mereka tetap membantai orang Yahudi. Ibu saya dari Batu Malang pernah mengungsi dari batu ke Pare. Sungguh-sungguh seperti ditulis oleh Cambuk Berduri (ini nama samaran), tahun 65 dan 98.
Saya termasuk optimis (dengan kondisi sekarang), namun tetap disertai kehati-hatian. Di sini saya kutip banyak filsafat cina kuno. Bahwa sebenarnya orang Tionghwa, diberi bakat tidak hanya untuk berdagang. Tapi 30 tahun Orba memojokkan cina jadi mahluk ekonomi yang bisa diperas. Ada 3002 karya sastra cina peranakan. Sekarang, siapa wartawan cina yang tanggguh? Padahal, kalau kita mau, kita bisa berikan yang terbaik: Kwiek Kien Gie (ekonom), Ong Hok Ham (sejarawan), Oei Tjoe Tjat (politisi), Ariel Haryanto (cultural studies). Dalam ajaran Kong Hu cu dinyatakan: “Setelah kalian punya semua: jangan lupa budaya. Karena dengan itu kita hidup”. Pernah dalam sejarah ini: kita mainkan Sam Pek Eng Tai. Tapi kini kita terasing dari semuanya. Kita sampaikan kisah cinta dalam buku ini, tapi berakhir dengan tragis, pribumi dan cina keturunan tragis. Tapi tragis menjadi permata Suinli, air mata Dewi Kwan Im. Kalau ada pertikan (percikan) kecil, air mata keprihatinan, harapan, kegembiraan.. turun menjadi permata. Dalam permata-permata itu tersimpan pesan Dewi Kwan Im:
Jika orang lain bikin kami susah di hatikami akan menganggap itu tumpukan rezeki.
Kami akan belajar, setiap hari, mulai sekarang juga
jangan kami membuat orang lain susah hatinya.
Setiap hari kami harus merasa puas di hati
Dengan apa yang kami miliki saat ini.
Setiap kali kami diberi satu
kami akan memberi lipat sepuluh.
Bila kami difinah padahal kami tak bersalah
kami hendak menganggapnya sebagai pahala.
Bila kami salah tapi dipuji dan dianggap benar
Akan kami rasakan itu sebagai hukuman…
(Hadirin bertempuk tangan). Terima kasih.
MODERATOR | PAK JOSEP : baik saudara.. ini tadi Romo Sindu. Sekarang pak Darmono, dari UNS. Buku dan tulisannya bisa di download internet. Tulisan pak Darmono yang dimuat di majalah Kalimataul (?) Solo, Tahun 2004.
Pak Darmono: terimakasih Romo Sindu, yang dari hati ke hati buat renungan: refleksi eksistensi warga Tiongwa di Indonesia. Mengenai kapan, ada dilema, harus bisa tunjukkan waktu. (Kerajaan) Medang Kamulan dicover, Majapahit dicover, dalam sejarah.. sulit ditentukan kapan waktunya. Saya pernah belajar Babad Rembang: yang diangkat jadi adipati orang cina. Raja lokalnya: cina, padahal ini masih dalam masa Hindu. Dalam titik tranformasi pasti terjadi persoalan : bagaimana kerajaan kecil yang rajanya diangkat orang cina, di dalam masyarakat terjadi pembauran. Anak dari raja Majapahit .. yang satu melahirkan Raden Patah, terjadi tranformasi dari hindu ke islam. Titik-titik pergeseran ini yang perlu diamati. Saya perlu tanggapi sebagai sejarawan. Buku ini sangat pantas kalau disebut novel sejarah. Yang kedua: sifatnya kalau mau dikritisi: dia akan memotret fenomena orang cina di indonesia secara makro historis. Misal ajaran Tao. Anak tidak boleh kurang ajar dengan orang tua. Membantai. Secara makro kena. Tapi kalau secara waktu: ada periode Majaphit, Demak, Medangkamulan. Saya menangkap Romo Sindu akan memanamkan nilai imajiner dalam benak kita. Bukan fakta. Dalam konteks ini: siapa saudara kita, dalam diri Prabangkara jawa dan cina itu sama saja. Apalagi kalau dikembalikan ke proto melayu. Orang Jawa keturuan Yunan. Kalau Yunan ini banyak indo cina. Indo kalau dari akar: proto melayu atau deutro melayu. Mengapa, wong turunannya juga sama asal usulnya, hanya mau mencari jati diri saja kok sulit sekali.
Mungkin fenomena sejarah yang lolos yang pengatan Romo Sindu: bahwa pada tahun 1800, tepatnya sesudah 1870 ada sejarah Undang Undang Agraria yang diterapkan oleh Belanda. Tahun itu menjadi simbol penjajahan di Indonesia. Sebelumnya, hanyalah VOC dan kompeni. Belanda menerapkan konsep diffuse culture. Dalam antropologi: ada kebudayaan yang mengaggungkan dirinya sendiri. Diffuse – meluberi. Ada juga paham lain : pararelisme histori: bahwa besar dan kecil itu sama, sejauh ada lokal wisdom. Misal orang Tawangmangu memujadewi padi. Padahal di sana nggak ada sawah. Belanda terapkan diffuse culture: ketika temukan orang cina dan arab, freemeke dusteringen..(?): solo warga cinanya berapa: dijumlah; kalau ada 5000 orang ditunjuk: kepala suku, diberi gelar: Mayor Baba. Arab juga begitu, (ditunjuk dan) diberi gelar. Mereka diperalat dengan menerapkan teori difusi. (Tumbuh) ideoleogi konflik keberadaan cina di Jawa, (padahal) di Majapahit tidak ada masalah. Di Rembang, yang cina dalam hindu (juga tidak masalah). Transformasi perubuhanan hindu budha berubah ke islam butuh waktu beradab-abad..
Semoga Romo Sindu juga konsentrasi di abad 18: ketika arab dan cina diangkat jadi bamper. Putri cina sedih turus. Peristiwa Geger Pecinan (biasanya) diangkat/dihembuskan oleh provokator. Ini jadi ideologi konflik yang bersifat laten. Yang dihasut itu memang masyarakat yang okol (hanya menggunakan ototnya), yang akalnya kurang, ra duwe utek (ngggak punya otak). Kalau ideologi ini dipegang, yang konflik wong cilik dan wong gede. Terjadi konflik wong cilik dan wong gedhe: (akibatnya) sederet toko di pasar pon dirusak. Konflik ini tidak pilih-pilih etnis. Tapi orang cina korbannya paling banyak. Ada fenomena sosial yang tenggalam. Ini sangat bagus sebagai novel sastra: temukan saja fenomenologinya. Dadakannya (casus belli) konflik tahun 1742 Geger Pecinan, diffuse culture, mayor cina, letnan arab. Kalau pedagang arab: karena dakwah, maka bisnisnya kalah hebat dengan cina.
Bagi pribumi: kemiskinan mereka digambarkan : wis ngalah (sudah mengalah), wis ngalih (sudah pindah), pindah ke Cengklik, ngamuk, njur ngobong (lalu membakar). Sementara bagi teman-teman cina merasa sebagai: kelinci percobaan, sapi perah, kambing hitam, tumbal, dst… Terima kasih.
MODERATOR : Ini Ester Jusup, kebetulan juga dari Malang seperti Romo Sindu. Ester ini dari SNB: Solidaritas Nusa Bangsa yang mengungkap fakta-fakta Kerusuhan Mei 1998. Apakah gambar ini (Pak Josep memegang novel) gambarnya ibu Ester. Ibu yang penuh derita dan air mata…
ESTER : Fakta-fakta yang saya dapatkan di lapangan adalah adanya banyak persamaan.: Papa saya juga seperti yang diceritakan Romo Sindu: menyimpan surat-surat dalam koper. Isinya SKBRI, dan surat-surat berharga lainnya. Pesannya sama: Kalau ada apa-apa (kerusuhan) langsung bawa lari.
Membaca Putri Cina, Tiongwa mempunyai kemiripan: membentuk keluarga: mirip : selalu siap mengungsi. Kalau pedagang, selalu punya pintu kecil di belakang. Kalau kerusuhan, lari lewat pintu kecil. Sudah bolak-balik toko mama dijarah, tapi tetap tak mau pindah. Hari ini dijarah, besok sudah buka lagi, seolah tak terjadi apa-apa.
Ini juga saya amati pada klien saya di (kompleks) Senen. “O, sudah sering dijarah kok. Ah, udah tak perlu menuntut negara: saya ingin aman tentram.” Saya jengkel. Ingin aman tentram kok membiarkan hal ini terjadi. Tetapi dalam Peristiwa Mei, juga begitu banyak hal manis terjadi, ada juga keindahan yang lain..
Th 98 , selama 27 th hidup saya, merasa normal-normal saja. Sejak kecil sudah terbiasa dibilangin keluarga: hati-hati karena kamu cina. Kalau laki-laki cina, meski gagah dan maskulinn, tapi saat konflik memilih menunduk. Kita bukan pengecut, tapi kami memilih menyelamatkan kepentingan yang lebih besar. Pernah di Bali ada pria cina yang membela kakek tua yang antrian karcisnya diserobot oleh anak muda. Terjadi perkelahian, pria cina ini memang. Namun keesokan harinya, didatangi oleh segerommbolan warga, dipaksa minta maaf..
Orang-orang Tionghwa biasanya tidak mau menuntut, pilih mengalah. Dalam advokasi, susah kalau tidak ada yang mau menuntut, dan memilih mengalah. Tapi dari pemahaman yang lebih besar: kita bisa mengerti.
Dalam UU Anti-Diskrimanasi dan Ras idenya adalah semua diperlakukan sama. Tapi ada suara miring: ini demi kepentingan Cina saja. Pernah saya diminta memberi materi atas undangan Ausaid. Ada hakim yang marah-marah pada saya, saat saya memaparkan UU anti-diskriminasi dan Ras. Pak Hakim itu bilang, saya sering menangani orang-orang cina dalam sidang, dan mereka memang jahat (curang). Saya bilang, itu kan kesalahan pribadi etnis tionghwa, jangan digeneralisir menjadi semua etnis Tionghwa berbuat seperti itu, kan? Pak Hakim itu tetap marah-marah. Dan bututnya, dalam pelatihan-pelatihan di tempat-tempat lain di Indonesia, sesi saya dihilangkan. Tapi materi yang lain tentang: anak-anak, perempuan, lingkungan, tetap diberikan…
Kalau saya mengamati media, mereka juga lebih menjadikan berita kalau korbannya adalah Tionghwa. Pernah, sebuah televisi luar negeri mencari saksi korban peristiwa Mei 98 yang mau bicara. Kebetulan saya bisa dapatkan. Tapi dia bukan Tionghwa. Saya nggak bilang dengan wartawan itu kalau dia bukan cina, karena dia cuma mau cari saksi korban. Setelah waktunya tiba, saya baru beritahu kalau korbannya bukan cina. Eh, sang wartawan membatalkan acara itu. Saya marah betul..! Terus, si wartawan asing itu bilang begini. “Saya ini cuma bawahan, masih ada bos di atas saya. Lagi pula mohon mengerti, ini televisi.., this is entertain… (ini hiburan)”
Dalam industri pers, isu Tionghwa lebih menarik untuk dijual. Saat kerusuhan Mei, korbannya yang bukan Tionghwa yang terbakar juga banyak. Namun media masa tidak memberitakannya. Atau kalau memberitakan, porsinya lebih kecil. Yang diberitakan adalah etnis tionghwanya saja..
Saya menikah pertama dengan orang Batak. Media bilang: saya menikah karna saya tidak rasis. Lalu, saat saya menikah lagi dengan Jawa, dibilang: o sekarang dengan Jawa, supaya aman. Lho, apa hubungannya?.
Waktu di YLBHI, ada bang Teten Masduki dan Bang Luhut Pangaribuan. Kadangsaya di sana dipanggil Cik Ester. Terus yang lain bilang: panggil kok cik.., cik. Kayak di pasar aja. Banyak orang cina tidak suka dipanggil Cik, banyak yang suka dipanggil Mbak. Tapi ada juga yang nggak suka dipanggil Mbak, suka dipanggil Kak. Orang cina ada yang tidak suka dikenal sebagai Cina, mereka mengaku orang Menado.
Ada kasus, rakyat berhadapan dengan polisi di Pelabuhan Ratu. Saya yang mendampingi mereka, karena mereka mulai diintimidasi oleh aparat. Yang menarik, ada tokoh di situ yang mengatakan, mulai sekarang orang Cina yang masuk wilayah kami nggak jadi masalah. Saya pikir ada apa? Rupanya, dulu orang cina dianggap sama dengan PKI di wilayah itu..
Dalam kasus korupsi BLBI, banyak orang Tionghwa yang terlibat. Ini bisa jadi stigma. Karena mengangkat kasus Mei, saya sering dipesan oleh orang Tionghwa: Jangan kamu (justru) mencelakakan etnis tionghwa karena advokasimu..
Yang indah dari peristiewa Mei: apa yang terjadi di lapangan. Di 80 lokasi: memang ada keterlibatan masyarakat dalam penjarahan. Ada yang mengambil dengan menyesal (sebagian besar), ada yang tidak menyesal. Yang menarik: ada juga melindungi etnis tiongwa, mencegah penjarahan. Saya melihat kita mempunyai optimisme: solidaritas yang luar biasa muncul, ada (orang Tionghwa) yang bangkit dan peduli pada kelompok miskin, seni, budaya.. Ada ribuan orang yang menjadi punya kepedulian. Tapi ini tidak pernah diangkat diangkat dengan jelas oleh media. Yang diangkat mestinya bisa membuat optimis menatap masa depan.. Terima kasih.
PAK JOSEP | MODERATOR : Ini menarik: satu penulis, sejarawan, pembela anti diskrimansi rasial–ibu Ester. Ini kenyataan yang kita hadapi. Ini menarik. Dari Pak Darmono: pengangkatan mayor dan kapten baba. Jaman orla dan orba juga ada pergeseran: cina jadi mahluk ekonmi saja. Sebenarnya tidak harus ke situ. Setelah 10 tahun reformasi: ada angin segar, UU Kewarganegaraan, UU yang mengakui agama konfusius, ada keputusan tentang hari libur Imlek. Di Solo, ada peresmian jalam Yap Tjoen Bing..
Ilmuwan Asvi Warman Adam mengatakan: ada yang hilang dalam kolektif memori kita: dimana peran dalam cina proses peradaban di Jawa: dalam pertanian, dalam makanan, dalam teknologi? Kata Asvi, kolektif memori ini tiba-tiba hilang. Maka perlu kita rajut kembali. Apalagi dalam globalisasi. Kalau kolektif memori ini tidak bisa diluruskan dengan baik, maka bangsa ini menjadi rancu dan fragile, rentan.
PAK DARMONO : Mei kelabu: pesan saya: dari 2 pembicara: kita mesti siap-siap siklus 15 tahunan kota Solo tahun 2013. Moga-moga tidak. Memang ini semacam ramalan saja. Sejak 1909 sampai sekarang, ketegangan di solo sudah terjadi 15 kali. Rakyat solo membakar kotanya sudah 7 kali sejak tahun 65. Mudah-mudahan tidak terjadi. Dari tahun 80 -meledak tahun 98, meleset 3 tahun. Saya di krisis center menyarankan membuat modal ventura untuk rakyat kecil.
ROMO SINDU : tidak ada yang saya sangkal dari dari Pak Dar dan Bu Ester. Kolektif memori, dengan novel ingin berbuat sesuatu. Paling tidak dengan buku ini kita bisa membuat kolektif memeori. Ada suatu peristiwa yang harus kita kenang, tapi dengan kewaspadaan. Jadi fungsi suatu karya sastra membuat kolektif memori: supaya eling lan waspodo. Semua pihak, jawa, cina juga harus eling lan waspodo. Rongowarsirta, mengingatkan tentang jaman edan. Sungguh: siklus ini tiba-tiba bisa kembali. Kadang sesuatu dihitung menurut siklus, bukan hanya dengan akal sehat.
Memang setelah diadakan Imlek, eforianya memang luar biasa. Namun tiba-tiba saya merasa dasar-dasar kebudayaan cina terkikis, kita jadi Barat, sekular. 30 tahun cukup untuk meniadakan suatu budaya. Barongsai, imlek, liang-liong, samsi… saya ragu. Sudahkah kita memiliki hal itu? Wayang potehi, dalangnya orang Jawa. Yang nabuh gamelannya orang Jawa. Kumpulan barongsai anggotanya sebagian besar orang jawa. Kebudayaan adalah dasar hidup, fondamen yang dasari hidup kita. Menjadilah orang cina dalam kebudayaan, supaya kita dapat memberikan keaslian. Pluralisme adalah pengakuaan kebudayaan, bukan peniadaan kebudayaan. 30 tahun kita tidur. Kebudayaan tidak hanya sekedar barongsai, samsi-an, tapi suatu keresahan: begitu banyak keindahan yang kita punya: kleteng. Wayang potehi sudah tidak ada yang nonton, padahal syair-syair Cina yang luar biasa indahnya. Syair dari Han San:
Orang kaya itu khawatir akan banyak hal.
Mereka hanya berdagang dan berdagang.
Tak tahu bersyukur, meski rezekinya banyak.
Di lumbungnya, padinya membusuk sudah.
Toh segantang saja tak rela mereka pinjamkan.
Pikiran mereka hanya berkisar pada keuntungan.
Dengan semurah-murahnya mereka membeli kain sutra
tapi dari yang murah itu dibuatlah
busana yang mahal dan mewah.
Pada saat mati nanti, mereka lupa
Hanya lalatlah yang mengucapkan dukacita..(!)
(hadirin tepuk tangan).
ESTER : dalam penelitian lapangan: saya dapati prasangka rasial bisa muncul begitu saja.
Dasar Cina..!, Bagaimana tips mengilangkan prasangka rasial?
Penanya: Agus, Moctar Pakpahan, Ibu Nuncy, Ibu Doni, Pak Usman.
AGUS : saya dari fakultas sastra: karya ini sangat menarik dan kontemplasi yang mendalam. Saya belum baca, tapi novel ini belum memberikan banyak jawaban bagi pembaca. Dalam penelitian saya, orang cina yang ekonominya mapan, kaya, sulit berbaur. Dalam masyarakat cina menengah, mudah berbaur. Kecuali soal akademisi, oleh raga, dan kebudayaan tidak membatasi pembauran.
Ibu Ester, lebih menekankan peristiwa Mei. Pak Darmono, etis cina dan asia timur dijadikan bamper. Persoalannya, bagaimana bisa mengikis habis hal itu?
MOCTAR PAKPAHAN : selamat siang. Saya ketua umum partai buruh. Saya jadi seperti sekarang karena YBKS, Bang Josep ini punya jasa dalam hidup saya. Tahun 86 saya diadili, Bu Ester jadi pembela saya. Tahun 92 saya tulis desertasi; tentang DPR di masa Orba. Saya orang pertama yang yang habis ujian desertasi, besoknya ditangkap. Menurut saya, Indonesia mengalamai kegalan reformasi, tidak seperti Rumania, atau Polandia. Neoliberalisme, kapitalisme, tapi itu justru terjadi pada masa pemerintahan Megawati. Di sini orang Tionghwa menderita, di Tapanuli, tempat kelahiran saya, orang menderita karena satu orang Tionghwa: Sukanto Tanonto namanya. Solusi:
1.
Telah 42 tahun etnis tiongwa menjadikan diri sebagai mahluk ekonomi. Hari ini bangkitlah: jadilah masyarakat menko polkam, dan menko kesra. Butuh Yap Tiam Hien, Arif budiman, bagaimana? Jadilah komunitas Indonesia seperti yang sebenarnya.
2.
Nyatakan identitas diri. Suharto bilang saya orangtua saya…, saya bilang salah. Yang betul orangtua saya BTI. Nyatakan identitas degan sesungguhnya. Seperti Raymond Chan, wakil perdana mentri di Kananda yang keturunan cina. Identitas itu nyatakanlah. Karena makin takut, makin ditekan.
3.
Masuklah ke parti politik. Fujimori dari buruh, masuklah gerakan buruh.
IBU NUNCY : Saya guru. Persaudaraan ini tak perlu dirajut karena sudah terajut. Saya mengajar di 25 tahun di sekolah cina. Saya tidak merasa perlu merajut, karena sudah terajut. Wayang potehi tidak ada penontonnya. Pernah kerja sama Dep Pariwisata, di PMS itu cina dan jawa itu lekat. Ada gatotkaca yang cina main kembali, di panggung. Harapannya, kalau yang tampil PMS banyak cina yang datang. Tapi ternyata yang datang cuma sedikit. Budaya sendiri tak ada penontonnya.
IBU DONI : Saya apresiatif dengan acara ini; alangkah lebih baik bila forum ini juga dihadiri etnis lain. Buku ini juga dibaca etnis lain. Jadi, tidak hanya jadi barisan sakit hati. Saya dari IMM, ikatan mahasiswa muhammadiyah. Acara ini menambah mosaik, masalah yang harus diangkat bersama. Akulturasi budaya yang perlu ditawarkan, mbok iyao jangan dalam bidang ekonomi saja, tapi ada porsi lain: politik, budaya, sosial, ada wilayah tapi etnis lain juga bisa masuk. Dari sini muncul pengakuan dari masyarakat global, dalam menggerakkan masyarakat dibutuhkan peran semua pihak.
PAK USMAN HAMID : Komentar: konflik diskriminasi etnis sudah terjadi sejak jaman Belanda. Belanda kenakan pajak besar pada cina, diteruskan pada republik, termasuk PP 10. Jadi sudah diskriminatif sejak dulu. Rakyat cina ekonominya baik, ini timbulkan kesenjangan ekonomi: kerusuhan. Di Jawa: siasat Bumi Hangus, sudah ada sebelum Majapahit. Ini sebab akibat. Mudah-mudahan ramalan pak darmono salah. Kalau pemerintah kuat, aparat keamanan mestinya bisa mencegah hal seperti itu..
Tadi dikatakan, orang arab tidak hanya berdagang, tapi juga syiar… Kalau orang cina tidak mengajarkan agama. (Padahal) salah satu filsafat cina: nie seng mai fang (?), orang cina harus menjadikan dirinya bersih suci seperi nabi. Kedalam menjadi nabi, keluar menjadi raja. Orang cina kaya dan (seharusnya) memimpin lingkungannya. Kalau kaya tapi juga memimpin lingkungan, pasti tidak dibakar…
ESTER : saya memang diminta bicara oleh panitia tentang peristiwa Mei. (Baguslah kalau) wayang potehi turun kedesa, mengganti tv yang hanya berisi seks dan kekerasan. Terima kasih untuk Pak Mochtar. Saya gembira : muncul tokoh cina muda perempuan di singkawang: Dia menyusui bayi madura saat konflik Madura-Dayak. Banyak kok anak muda Cina yang muncul: Sofia Tjiptajaya, Usman, Enny Suroso, Yungki, perempuan muda yang membangun wayang alang-alang, mengajarkan pluraliseme, Yoori Antar, arsitek dll.
SINDUNATA : solusi dari buku ini? Karya sastra tidak pernah memberi solisi yang jelas. Kalau Anda membaca bagian terakhir –siapa tadi yang bertanya? (Penanya-nya Pak Agus dari Fak Sastra UNS sudah meninggalkan tempat)– : orang cina harus menjadi pemaaf atas sejarahnya. Kalau tidak jadi pemaaf sulit terjadi rekonsiliasi. Giok Tien jadi kupu-kupu, pancuran mas sumawering jagad: menjadi gembira dan pemaaf atas situasi yang dihadapi. Tapa maaf sulit membangun dunia baru.
Benar, banyak orang cina yang bikin sengsara. Cina dari kalangan atas. Mereka lupa banyak orang cina kelas bawah yang susah, dan makin susah. Kalau orang cina kaya, mereka dengan mudah menyelamatkan diri. Maka, pesannya: orang kaya cina: tahu dirilah. Kekayaan itu sah, tapi dalam sejarah Indonesia kekayaan itu bisa jadi malapetaka. Tapi jadilah ugahari. Kita berterima kasih pada pemburu naskah kuno: Tan Kon Sui (?) yang punya penerbitan di Kediri. Dialah yang meneribitkan naskah Jawa. : ramalan ronggowarsito, dll…
PAK DARMONO : dikotomis, peran arab dan cina hitam putih. Bukan abu-abu. Di Solo, tokoh Arab yang melahirkan mazhab: Abu Bakar Baazir, Abdulah Sungkar, dll.., ini hasil turunan yang dulu dipimpin Kapiten Arab di Pasar Kliwon. Ini pengaruh dalam peradaban klasik (abad pertengahan). Mereka terbungkus dalam mazhab klasik.
Sementara kalangan cina, orang cina beberapa gelitir bisa mengubah kota solo. Solo Paragon (kondominium / apartemen), yang 60 persen sudah laku untuk dihuni keluarga orang Amerika yang bekerja di tambang minyak di Blora. Indonesia hanya dijadikan warisan klasik dengan tampilan super modern. Bagaimana kalau besok jadi pasar bebas : ada seks shop… Padahal di lain pihak, ada pihak-pihak yang sukanya sweeping…
PAULUS : Diskusi ini sangat menarik. Untuk istilah cina di pulau Jawa, Cina punya makna malu, olok-olok, tumbal, kekacauan jati diri, kafir, dll. Mengapa hanya terjadi di pulau Jawa? Di Aceh, cina tidak mau disebut tionghwa aceh, minta disebut cina aceh. Di Medan: Cina medan, bukan Tionghwa Medan. Di palembang: cina palembang. Mengapa di cina di jawa jadi rumit. Traumatic-sociaty (?) mudah dipakai oleh kepentingan provokator. Kalau tidak terkelola: akan timbulkan konflik: stereotip, cina pelit, jawa malas, madura brangasan, dll. Dalam pendekatan..trauma-sociaty (?): pelaku dan korban sama-sama punya trauma. Pelaku kekerasan juga punya trauma: sesekali mereka diminta bercerita atas kekerasan yang dilakukannya: ada juga rasa penyelasan yang membuat dia menangis.
Kita perlu melakukan transformsi dengan pendekatan sasatra dan budaya, pendekatan tranformasi pluralisme, transformasi politik..
JOKO : saya dari HOOHAP Solo. Bu Nuncy tadi mengatakan kalau bikin organisasi hendaknya terbuka. Organisasi kami memang untuk orang cina : tetapi program kami tidak eksklusif, inklusif: ada pengobatan gratis, taman belajar di empat daerah kumuh,beasiswa karena merekalah yang patut mendapat beasiswa, karna nilainya jelek. Hakka, programnya kunjungi panti asuhan. Saya tidak setuju dengan hasil pengamatan Pak dosen UNS tadi bahwa yang tionghwa ekonomi lemah bisa merakyat, yang atas tidak. Kalau bikin pengamatan/penelitian sebaiknya yang jelas (valid). Kalau tidak, cina jadi kambing hitam lagi.
MAHASISWA TESIS : saya mahasiswa semester akhir, sedang skripsi tentang sastra peranakan. Ternyata ada 3005 sastra peranakan 1880-1945. saya sudah baca 123 sastra cina. Kita sering menyamaratakan sastra peranakan. Padahal, sesungguhnya, orang cina sangat plural dalam karya sastra yang dihasilkan. Dari sisi Politisnya: ada yang pro belanda, pro cina, dan ada yang tidak pro keduanya: lari ke australia. Mengapa dendam batin, sejak jaman dulu dibentuk seperti itu. Identitas diri. Kalau dulu Kapiten Cina, cina bertempat tinggal di mana, sampai saat ini masih diterapkan oleh pemerintah. Ini warisan kolonial yang harus dihapus. Dari mana asal kita (kiranya) tidak dipersoalkan, tetapi sekarang kita ada di mana itu yang penting. Dan bagaimana kita menempatkan diri dalam identitas yang banyak itu. Saya tidak setuju asimilasi: pengilangan etnis kultural. Kalau Jawa selalu mewarisi kolonial, bagaimana posisi abu-abu, yang dapat mencairkan posisi hitam putih. Forum yang sangat bagus, ini bagaimana kalau diadakan di kampus?
Pak….: kata kuncinya hormat dan hukum. Hormat menimbuklan kesetaraan. Hukum timbulkan keadilan. Kambing hitam, kita suka nrabas, instan, cari kambing hitam. Kata Pak Darmono, Tuhannya Berdagang. Kalau dari sejarah agararis, di tiongkok agraris. Mengapa sekarang jadi menuhankan dagang.: kapitalisme. Bu Ester: budaya permisif: cincaillah..
PAK JOSEP : yang lolos dari pembicaraan kita: orang Arab dagang dan dakwah. Tapi bagaimana dengan Ceng Ho yang muslim itu? Seolah cina tidak memberikan mutiara. Tapi kolektif memorinya hilang. Onde-onde, kecap, dan sistem pertanian di jawa, tak lepas dari dari perdagngan orang cina. Kedua: Masalah ekonomi: sejak masuknya belanda: tataniaga; monopoli, tata ruang: pecinan. Jaman majapahit tidak ada penyekatan. Jaman belanda ada tata ruang, niaga yang bisa menyudutkan cina menjadi penyangga, bamper, kalau ada ancaman terhadap belanda maka yang kena cina dulu. Di jaman sekarang masih ada tata-tata yang menimbulkan konflik. Kiranya siklus amuk orang solo 15 tahunan seperti kata Pak Darmono ini cuma mitos. Kita haruskan runtuhkan mitos itu.
PRABOWO : Terima kasih: saya ingin tambahkan kata Joko. Pembauran, saya kira kata yang diskriminatif. Saya tidak setuju “pembauran”. Orang kenal karena kepentingan, hobi, minat. Saya bisa berdagang babi dengan Kyai NU dari Rembang, karena kepentingannya sama: dagang. Saya bisa ketemu Pak… (yang punya SUN Motor) karena sama-sama suka jalan-jalan. Tadi dikatakan penanya, pak dosen UNS, dari penelitiannya, hanya orang cina golongan menengah dan bawah yang bisa bersosialiasi dengan lingkungan. Saya tidak setuju. Emangnya Aburisal Bakri yang pribumi juga ikut ronda di lingkungannya? Emangnya kalau pengusaha pribumi terus ikut ronda? Golongan atas memang jarang bersosialiasi dengan golongan dibawahnya, tapi ini tak hanya orang Tionghwa saja. Kalau bikin kesimpulan penelitian, sebaiknya hati-hati..!
Saya kira yang bikin soal adalah pelajaran agama. Dulu tak ada pelajaran agama. Adanya budi pekerti. Pendidikan kita tidak pernah mengajarkan satu dengan yang lain. Bagaimana sejarah jawa, sejarah tiongwa, babad tanah jawa, saya tahunya malah dari buku (tidak dari kelas). Orang tidak saling mengenal, jadinya saling curiga..
Di zaman Suharto ada orang indonesia asli, pri dan non pri : orang diarahkan menjadi pegawai tapi tidak jadi enterperner. Tapi bagi orang tionghwa kamu sekolah tapi nggak bisa cari uang (nggak ada gunanya). Tapi saat presidennya Gus Dur, bilanng kalau mau kaya pada cina. Tapi kalau mau filosis belajarlah pada orang jawa. Kalau indonesia mau bangkit, jadilah enterperener jangan jadi kuli. Kalau mau jadi hebat, jadilah wiraswasta.
DARMONO : di masa kacau wong jowo kari separo, wong cina kari sakjodo, wong londo ela-elo. Watak kepribadian, di pesisir jawa namanya : ahmad sudarmono, separo jawa separo arab. agustinus sudarmono, separo kristen separo jawa. Nasionalisme Sun Yat Sen kata sejarawan Rinkes, menumbuhkan nasionalisme cina perantauan..
Di sini munculnya orang cina balong: Gombal dan Tukang Nyolong. Generasi ampyang: kacange cina dan gulane jawa. Justru karena kepentingannya. Saat pemilihan walikota jogja kemarin, salah satu calonnya adalah cina. Dia tulis sms pada orang-orang tionghwa Jogja: pilihlah orang cina untuk jadi walikota jogja. Ternyata dia kalah. Jawabannya smsnya: “Saya orang tionghwa. Saya tidak akan memilih orang cina untuk jadi walikota (!)”
ROMO SINDUNATA : Kalau kita mau menerima identitas, kita juga (harus mau) menerima apa yang jelek, kita memperbaikinya. Kita ini pandai membikin kata tuna wisma untuk gelandangan. Kita menyembunyikan apa yang jelek. Tapi lari dari kenyataan. Apa kalau jadi cina atau tiongwa, yang penting bukan intilahnya. Kata cina tidak berarti jelek. Bukankah sering kita dengar: Tekunlah seperti orang cina. Mbok sregep kaya cina kae, lho. Bukankah Nabi Muhammad pun mengatakan: Carilah ilmu walaupun samapi negeri cina. (bukan negeri tiongwa)?
ESTER : Bagaimana kita berkoordinasi dengan baik. Bangsa ini sangat kaya, betapa banyak orang yang punya potensi. Kalau disenergikan menjadi luar biasa. Banyak ororang yang tidak maju karena berharap dari luar, funding dari luar. Padahal yang dibutuhkan adalah tekat. Buat pelatihan tidak perlu bikin stiker yang mahal. Tulis sendiri pakai spidol dan tempelkan emangnya kenapa? Membuang uang dan tenaga. Dangan tekad, bisa dijalankan kalau mau. Konsisten, terus-menerus jangan panjang. Kita memang mesti hormati satu sama lain. Ada LSM di solo, namnya semesta damai, kalau solo bisa seperti itu alangkah indahnya. Saya ingin kita mensinergikan semua kekuatan kita.
PAK JOSEP : Kesimpulan: Hubungan antar etnik harusnya hubungan antar saudara. Semua menemempatkan diri dalam wadah negara. Proses membangun NKRI membutuhkan peran sumbangan dari berbagai etnik dalam ciptakan Bhineka Tunggal Ika. Di dalam diskusi ini cina ada dalam hubungan teknologi dll. Dalam novel ini dalam hubungan darah. Sumber konflik yang bisa terjadi dalam hubungan jawa cina: politik pecah belah dan kesejahteraan ekonomi. Faktor uang yang pisahkan cina dengan orang-orang setempat.
Sering terjadi dalam pertarunangan elit plitk , cina jadi korban, jadi tumbal. Pelupaan sejarah atas peran cina perlu diluruskan kembali. Konflik-konflik etnis ini tidak lepas dari kolonialisme dan perang dingin, saat itu kita cikekoki bahaya komunis, dan ancaman cina. Ini nampak dalam masalah politik.
Catatan untuk pemerintah: perlulah membuat tata ruang dan tata niaga yang tidak timbulkan konflik, dan membangun aparat yang bersih, dan rakyat adil makmur, membangun negara kebangsaan yang majemuk. Memasukkan peran sejarah etnik tiongwa: ada kontribusi dalam cina dalam sejarah perjuangan. Ada cina yang memihak belanda. Tapi jawa yang memihak belanda juga ada. Jangan jadi stereotip. Mensosialisasikan pada pers: Indonesia tidak dibangun dalam kesaaman etnik tapi cita-cita kebangsaan.
Kita perlu membangun masa depan bersama, memanfaatkan SDM yang kita miliki, manfaatkan jaringan nasioanal.. Kita membangun budaya Indonesia. Mengubah stereotip orang cina kaya karena kolusi. Menggunakan isu cina untuk mencipatkan kebencian rasial akan membuat Indonsia menuju bencana sosial yang sangat mahal. Terima kasih.
Notulis: .
Suryasmoro Ispandrihari, Merajut Tali Persaudaraan dan Kebangsaan,Bedah Buku “Putri Cina”dalam rangka Peringatan Sepuluh Tahun Reformasi dan Satu Abad Kebangkitan Nasional ,Surakarta, Sabtu 3 Mei 2008
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua 33364