Budaya-Tionghoa.Net | Sebelum Olimpiade berlangsung , Tiongkok menghadapi berbagai permasalahan seperti isu HAM , Tibet , korupsi , polusi secara rutin dimuntahkan media internasional. Tiongkok juga dihinggapi kritik internasional karena agresif terhadap sumber daya alam diseluruh dunia , terutama kawasan Afrika. Tiongkok juga membangun hubungan dengan negara-negara yang cenderung diharamkan Amerika Serikat seperti Iran dan Korea Utara tentunya.
Setelah penyelenggaraan berlangsung dengan lancar , Olimpiade Beijing 2008 menjadi olimpiade yang terbesar sepanjang sejarah. Republik Rakyat Tiongkok sukses sebagai penyelenggara. Dalam BBC , Lord Coe sebagai ketua penyelenggara Olimpiade berikutnya di London , tahun 2012 , mengakui bahwa Olimpiade yang berlangsung di Beijing akan menjadi olimpiade terakhir dengan skalanya. Dengan kata lain London 2012 tidak bisa menyamai Beijing 2008.
|
Dan dari segi prestise , Tiongkok juga keluar sebagai juara dengan keunggulan medali emas yang setara dengan dua kekuatan besar dunia dijadikan satu, Rusia dan Amerika Serikat, dua kekuatan dunia yang selama ini mendominasi secara bergiliran ajang olimpiade , dan juga mendominasi tatanan dunia di masa perang dingin. Ini sama mengejutkannya dengan kebangkitan Jepang yang membungkam Rusia di awal abad 20.
Oliver Schell dalam Newsweek mengatakan bahwa Beijing Games ini adalah momen yang sensitif bagi Tiongkok, yang telah membuat usaha fantastis sebagai penyelenggara dan juga untuk berprestasi semaksimal mungkin untuk meraih kembali kebesaran Tiongkok. Oliver Schell juga berpendapat bahwa yang membentuk identitas modern bangsa Tiongkok adalah sejarah penghinaan terhadap mereka yang bertubi-tubi. Dan untuk memahami makna Olimpiade Beijing bagi bangsa Tiongkok itu sangat tidak mungkin tanpa mengerti sejarah penghinaan terhadap mereka.
Dinasti Qing dimasa Qianlong adalah puncak kejayaan Tiongkok, dengan mencapai wilayah yang melampaui dari “china proper”, termasuk diantaranya adalah Tibet. Tahun 1800 dianggap sebagai titik balik dan Qing mulai memasuki masa suram menghadapi intervensi Barat dan juga konflik internal dengan berbagai pemberontakan.
Dimulai dengan Perang Candu. Inggris yang baru saja menguasai ladang opium di Benggala (Bangladesh) menatap Tiongkok sebagai pasar yang sempurna bagi produk opiumnya. Kedaulatan Tiongkok mulai dijarah oleh bangsa Barat lainnya yang iri dengan keberhasilan Inggris, dan Barat bergotong-royong mengikat Tiongkok seperti Gulliver yang tidak berdaya.
Di tahun 1900 , Jepang turut dalam serangan hukuman dengan tujuh kekuatan barat lainnya mengeroyok Tiongkok. Kekalahan menyebabkan Dinasti Qing selangkah lebih dekat ke kuburan. Tiongkok dijatuhi biaya kerugian perang sebesar 400 juta tael , dengan asumsi satu penduduk senilai satu tael.
Kekalahan demi kekalahan ini menumbuhkan sindrom inferior dalam pikiran bangsa Tiongkok. Sebuah literatur baru menumbuhkan ide tentang bainian guochi (seratus tahun penghinaan nasional). Setelah Perjanjian Versailles , Jerman kalah dalam Perang Dunia I dalam posisi militer yang masih relatif utuh. Kekalahan Jerman ini berpengaruh terhadap Tiongkok. Karena konsesi Jerman di Tiongkok, diserahkan kepada Jepang. Ketidakpuasan dan ketidakadilan ini dirasakan oleh bangsa Tiongkok yang juga turut andil dalam Perang Dunia I. Slogan wuwang guochi (jangan pernah lupakan penghinaan bangsa kita) menjadi umum. Sejak itu , kaum sejarahwan Tiongkok tidak pernah sungkan untuk mengingatkan penderitaan masa lampau untuk kepentingan retorik , politik , ideologi untuk memacu semangat.
Chiang Kai-sek dalam bukunya “China Destiny” menulis: ” Selama 100 tahun terakhir , warga dari seluruh penjuru Tiongkok, menderita dibawah perjanjian yang berat sebelah , yang memberikan pihak asing konsesi dan status sosial tinggi di Tiongkok.Status tinggi yang dimiliki pihak asing juga menular kepada rakyat Tiongkok yang memilih kepercayaan yang sama dengan pendatang, dalam hal ini kristen. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya berbagai ketidakpuasan yang melahirkan peristiwa Boxer. Mao Zedong yang berbeda kubu dengan Chiang , menyuarakan hal yang sama setelah RRT berdiri : “Kita tidak akan lagi menjadi sebuah bangsa yang bisa dihina.”Hal ini terus terjadi dalam era Tiongkok modern.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua