Budaya-Tionghoa.Net | Bagaimana jika dikau lahir dan besar dalam lingkungan di mana bahasa ibumu, nama, dan budayamu tak boleh dipakai? Meski engkau sudah berbahasa sama, bernama serupa, tapi kulit dan bentuk matamu tetap beda, dan engkau tak sepenuhnya diterima. Di saat-saat tertentu bahkan engkau harus menjadi domba qurban. Engkau dibesarkan dalam suasana tanpa hubungan dengan semua simbol-simbol yang sangat berarti bagi etnismu, kecuali film-film manca saja yang bisa menjadi obat dahaga?
Judul: Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas
Penulis: Aimee Dawis, Ph.D.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal: xxii + 253 halaman
IBN: 978-979-22-5659-8
Aimee Dawis mencoba menjawab pengaruh media (baca: film kung fu) dalam ingatan kolektif Orang Indonesia Tionghoa dalam mencari identitasnya. Tiga pertanyaan utama yang diajukan adalah: (1) Bagaimana kebijakan asimilasi berperan dalam pembentukan jatidiri budaya orang Indonesia Tionghoa? (2) Apakah peran media elektronik (film dan film seri Tionghoa) dalam pembentukan jati diri budaya orang Indonesia Tionghoa? (3) Sejauh mana media ini membantu memperkuat ketionghaan mereka?
Seperti diketahui, pada jaman Orde Baru, banyak kebijakan yang bersangut-paut dengan orang Indonesia Tionghoa dikeluarkan. Ketakutan akan bahaya komunis menjadi salah satu alasan dikeluarkannya berbagai kebijakan tersebut.
Beberapa kebijakan yang perlu mendapat penekanan di sini adalah: (1) pelarangan penggunaan bahasa Cina, (2) pelarangan praktik budaya Cina di tempat umum, (3) himbauan untuk berganti nama, dan (4) penutupan sekolah-sekolah Cina. Semua kebijakan tersebut dibuat adalah dalam rangka asimilasi orang Cina sehingga akan terjadi “pembubaran orang Tionghoa sebagai kelompok dan penyerapan mereka ke dalam berbagai kelompok etnik pribumi (hal 112). Aimee Dawis menyimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut telah membuat orang Indonesia Tionghoa berupaya untuk lebih menjadi Indonesia dengan kadar jati diri ketionghaan yang beragam yang sangat dipengaruhi oleh daerah asal, keluarga dan agama (Bab 3). Walaupun demikian orang Tionghoa masih menghadapi perlakuan diskriminasi sehari-hari meskipun mereka sudah berusaha melakukan “peng-Indonesiaan diri” (hal 189).
Peran media (film seri Tionghoa) ternyata berperan sangat nyata dalam pemeliharaan jatidiri para orang Indonesia Tionghoa yang lahir setelah tahun 1966. Melalui film-film kungfu seperti The Legend of The Condor Heroes, The Return of The Condor Heroes, Duke of Mounth Deer, A Better Tomorrow, Hard Boiled dan Once a Thief, orang Indonesia Tionghoa seperti mendapat saluran untuk identifikasi jatidirinya. Bintang film seperti Andy Lau, Chow Yun Fat menjadi tokoh asyik bagi para lelaki orang Indonesia Tionghoa, sementara Xiao Long Nu tokoh perempuan dalam The Legend of The Condor Heroes menjadi idola para perempuannya.
Sebagai perintis penelitian peran media dalam ingatan kolektif dan pencarian jatidiri buku ini sangat bermanfaat. Namun karena respondennya sangat terbatas (25 orang) dan semuanya tinggal di Jakarta (walaupun asalnya dari berbagai daerah) bahasan dari buku ini menjadi kurang lengkap. Sebab ada jenis orang Indonesia Tionghoa yang tinggal di desa-desa (terutama Jawa) di mana keluarga mereka adalah satu-satunya keluarga Cina di desa tersebut. Di mana anak-anak mereka sehari-harinya hanya bisa bergaul dengan anak-anak pribumi, tontonan kethoprak dan wayangkulit lebih akrab dari mereka daripada serial film kungfu. Kelompok ini rasanya tidak terwakili dalam bahasan buku ini.
Sumber :
- http://baltyra.com/2010/05/26/orang-indonesia-tionghoa-mencari-identitas/
- Tulisan diatas merupakan kontribusi dari pemilik baltyra.com untuk web ini.