Budaya-Tionghoa.Net | Tjerita Silat adalah istilah yang pertama kali digunakan oleh seorang mantan wartawan harian Sin Po, Tan Tek Ho. Istilah ini digunakan sebagai nama berkala baru yang didirikannya pada 1932 yang khusus memuat terjemahan cerita silat dari bahasa Cina.
Jenis cerita ini, yang di tempat asalnya dinamai wuxia xiaoshuo atau harafiahnya “roman kependekaran” baru saja tumbuh pada perempat terakhir abad 19, tapi dengan sangat cepat disukai oleh khalayak pembacanya. Roman wuxia (atau boehiap dalam dialek Hokkian) sebenarnya merupakan cabang terujung dari tradisi sastra populer Cina yang berkembang dari kisah-kisah kesejarahan yang menceritakan para bangsawan dengan segala permasalahan, dan baru di awal abad 19, jenis ini berkembang ke kisah-kisah penyidikan kejahatan yang dilakukan oleh para magistrat.
Di penghujung abad 19, ketika kisah-kisah ini sudah jenuh, perhatian dialihkan ke para pembantu magistrat, yaitu para opas dan petugas lapangan lain yang menjalankan tugas dengan benar-benar mempertaruhkan nyawanya. Mereka ini orang-orang yang berasal dari Sungai Telaga, nama bagi satu sub-kultur dalam masyarakat Cina yang mengandalkan hidup mereka pada penguasaan ilmu bela diri.
Dalam tradisi xia atau hiap (dialek Hokkian), mereka menegakkan keadilan dan membela yang lemah. Namun sebagian anggotanya mempunyai minat lain; ada yang menjadi alat negara, pelindung keamanan baik kawasan maupun kiriman barang, lalu terakhir, ya, bergabung dengan “persaudaraan rimba-hijau” atau begal dan bandit. Di luar itu masih ada golongan agamawan, yang biasanya menjadi pendidik dan pelindung para hiap atau pendekar asli.
Di tanah air, sudah sejak akhir abad 19 dimulai penerjemahan karya-karya sastra Cina. Tapi baru pada 1909 muncul terjemahan tjerita silat, yaitu Siauw Ang Djie – Pembalesannja Satoe Nona Moedah oleh Tjie Tjin Koeij (mohon dibaca Ci Cin Kui!), dari Sukabumi.
Namun kemungkinan besar tjersil terjemahan itu pertama kali terbit di harian, karena tradisi mengisi halaman dengan tjerita bersambung sudah ada.
Kita masih harus menunggu peneliti yang mau menggeluti arah itu. Yang jelas cersil bersambung marak pada dasawarsa ketiga abad 20. Semua harian Tionghoa pasti memuat paling tidak satu cersilbung. Bahkan pada 1929 terbit untuk pertama kalinya berkala bulanan yang khusus memuat cersilbung, yaitu Kiam Hiap dari Tasikmalaya.
Sementara itu, di tempat asalnya, wuxia berkembang pesat dan melahirkan penulis-penulis besar. Ada yang bertahan dalam gaya penulisan kuno yang naratif, misalnya Xiang Kairan, Gu Mingdao dan Xi Lingfeng. Ada pula yang menjalin cersil dengan fantasi kultural, Huanzi Laozi yang menulis Shusan Qianxia (Legend of Zhu). Zheng Zhengyin, menyajikan kisah-kisah yang amat pekat dan diperkaya oleh pengalaman pribadi selama mengarungi Sungai Telaga, dalam mahakaryanya, Yingzhuawang (Eng Djiauw Ong).
Wang Dulu menimba pengolahan novel-novel Eropa dan pengamatan psiko-analisis Freud untuk menghasilkan karya-karya cemerlangnya, termasuk Pentalogi yang dipuncaki Wohu Changlong (Go Houw Tjhong Liong atau Crouching Tiger Hidden Dragon).
Karya-karya mereka inilah yang kemudian merajai media Indonesia pasca kemerdekaan. Ketika di pertengahan 1950-an mingguan Star Weekly berhasil mencapai distribusi nasional, maka cersil juga telah dibaca secara nasional, melintasi sekat-sekat etnik.
Dari anak SMP sampai sastrawan nasional dan pejabat negara membaca cersil dan menemukan dunia yang mempesona di dalamnya. Apabila sebelum tahun 1950 kita mengenal nama-nama Tan Tek Ho, Lim Tiang Tjoen, Ho Nai Chuan, Tjan Khim Hiap, Yoe Soen Po dan Oey Kim Tiang sebagai penerjemah-penerjemah handal, maka di masa berikutnya hanya tinggal Oey Kim Tiang yang tersisa sendirian.
Tjan Khim Hiap dan Yoe Soen Po masih berkarya, tapi pamornya sudah jauh menurun. Bintang baru adalah Gan Kok Liang yang memulai kariernya di harian Sin Po pada 1958. Bersamaan dengan itu, di Hongkong muncul tokoh-tokoh baru yang mengangkat cersil mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. Zha Liangyong dan Chen Wentong sedang menjadikan genre ini sebagai karya sastra yang sebenarnya.
Zha Liangyong atau lebih dikenal dengan Jin Yong (Kim Yong) menulis hanya 15 judul, tetapi ini sudah cukup untuk mengantarkan cersil menjadi warga sastra dunia. Sejak itu Trilogi Rajawali duduk sejajar dengan The Lord of The Rings. Chen Wentong menggunakan nama samaran Liang Yusheng (Liang Ie Shen) menghasilkan puluhan judul.
Siklus Thian San saja meliputi 28 judul yang melingkupi rentang waktu hampir 400 tahun! Tahun ini sutradara Tsui Hark meluncurkan film karyanya, Seven Swords yang dilandaskan pada kisah terawal siklus Thian San (Heavenly Mountain).
Di Indonesia, meskipun pemuatan cersil di media massa dilarang pada 1961, perkembangan penerbitan buku malah semakin ramai. Dominasi dua nama O.K.T. (Oey Kim Tiang) dan Gan K.L. (Gan Kok Liang) nampak jelas. Sayang pada 1965-1966 sentimen anti komunis dibuat bercabang ke anti Tionghoa (peranakan Cina di Indonesia) sehingga penerbitan cersil boleh dibilang mati sama sekali.
Padahal animo terhadap cersil terlanjur meluas, khalayak masih haus akan cersil. Dengan sendirinya, mulai lahir penulis-penulis cersil Indonesia yang dipelopori oleh Kho Ping Hoo, disusul oleh Tjoe Beng Siang, The Eng Gie. Mereka ini lahir di Indonesia dan sama sekali tidak mengenal bahasa Cina. Mereka memperoleh ‘modal” menulis dari buku-buku terjemahan itu saja.
Selain itu lahir juga cersil dengan setting lokal (Jawa, Sunda, Batak, Bugis). Muncullah nama S.H. Mintardja, Widi Widajat, Herman Pratikto yang dengan segera mendapat sambutan hangat. Lahirlah cersil Indonesia! Belakangan, di awal 70-an, beberapa penerjemah mulai berkiprah lagi. Nama- nama yang berkibar justru dari Semarang, yaitu kakak beradik Gan K.L. dan Gan K.H. (Gan Kok Hwie), Tjan I.D. (Tjan ing Djioe) serta S.D. Liong (Sie Djiak Liong).
Kurun ini praktis dikuasai oleh karya-karya Xiong Yaohua atau lebih dikenal dengan nama-penanya Gu Long (Ku Lung). Penulis eksentrik ini menyodorkan gaya penulisan yang baru, cersil yang ditulis dengan gaya pasca modern, ringan, praktis dan puitis. Kalimat-kalimat pendek tetapi sarat makna. Sebagian karena ketiadaan karya baru, sebagian karena perubahan gaya hidup akibat tersedianya media baru, maka pada dasawarsa terakhir abad 20 penerjemahan dan penerbitan cersil bisa dikatakan mati sama sekali.
Generasi baru melahap cersil dalam bentuk yang baru, yaitu film dan video. Dari animo yang tampak, sepertinya khalayak tetap mencintai genre ini, walaupun tidak secara verbal lagi, maunya hanya visual. Beberapa orang die-harder tetap bertahan dengan menyimpan, mengoleksi dan terus membaca cersil sampai akhirnya pada 2 Desember 2002 mereka disatukan dan berkumpul di sebuah komunitas milis jagatawang (cyberspace) beralamat di tjersil@yahoogroups. com.
Dalam waktu dua tahun saja ternyata anggotanya sudah mendekati angka dua ribu anggota, sementara itu beberapa pihak juga mulai menerbitkan kembali buku-buku terjemahan langka yang telah lama hilang dari pasar itu. Tahun ini telah diluncurkan hampir 10 judul! Rupanya kelahiran kembali Tjerita Silat sudah di ufuk fajar.
Hiang Phek Tauwtoo , Redaktur Majalah Cersil “Rimba Hijau (http://www.rimbahijau.com)
Dimuat diruang baca koran Tempo edisi Oktober 2005 dan di Mailing List Budaya Tiaonghoa .
———————–
Artikel Terkait
{module [26]}
———————–
Budaya-Tionghoa.Net | DD
Referensi
- http://iccsg.wordpress.com/2006/01/30/perjalanan-tjerita-silat-di-indonesia-by-hiang-phek-tauwtoo/
- Mailing List Budaya Tiaonghoa
Photo Credit