Perjuangan Bersama Melawan Penjajah
Penguasa kolonial Belanda berusaha mencegah terjadinya sinergi antara berbagai suku bangsa yang bisa menggoyahkan kekuasannya. Taktik memecah belah ini sebagian berhasil, namun menariknya banyak pula contoh terjalinnya kerjasama antara berbagai golongan etnis melawan Belanda. Pada tahun 1740-1743 pasukan Tionghoa dan laskar Jawa bersama-sama mengangkat senjata untuk mengusir Belanda. Menurut Daradjadi dalam Perang Sepanjang (2008), dari segi jumlah personil dan luas geografi, cakupan perang tersebut lebih luas dibanding Perang Diponegoro (1825-1830). Sayang sekali, siasat devide et impera berhasil mematahkan perlawanan gabungan tersebut.
Orang-orang Tionghoa pun memberikan dukungan terhadap pergerakan nasional. Kwee Kek Beng, Pemimpin Redaksi Sin Po (harian dan majalah berbahasa Melayu Tionghoa yang sangat populer), menulis bahwa di akhir dekade 1920-an Bung Karno mendatangi Sin Po untuk mendapatkan dukungan. Patut diingat bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya dimasyarakatkan pertama kali dalam mingguan Sin Po, karena W.R. Supratman waktu itu bekerja di media tersebut.
Sumbangsih Tionghoa dalam bidang militer antara lain adalah Mayor (AL) John Lie (Jahja Daniel Dharma). Sebagai seorang nakhoda, John Lie dipercaya pemerintah Republik untuk menjual komoditas Indonesia untuk ditukar dengan persenjataan yang amat dibutuhkan dalam melawan Belanda. Daerah operasinya cukup luas, meliputi Manila, Penang, Bangkok, Rangoon, New Delhi dan Singapura. Saat Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda, John Lie berhasil menembus kepungan itu dan mendapat julukan “Nakhoda Terakhir Republik”.
Akhirnya John Lie diakui sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009, sebagai pengakuan Pemerintah RI atas jasa-jasanya yang luar biasa.
Perempuan Tionghoa ternyata mampu menjadi inspirasi bagi para perempuan dari etnis lainnya. Salah satu contoh yang jelas adalah kesaksian pahlawan nasional kita, Raden Ajeng Kartini (1879-1904) dalam surat bertanggal 17 Juni 1902:
Di surat kabar, baru saja saya baca bahwa beberapa anak perempuan Cina mengajukan agar mereka diperbolehkan turut menempuh ujian guru. Hura! Untuk kemajuan! Saya sungguh gembira tentang hal itu! Orang-orang Cina sangat keras dalam mempertahankan adat: sekarang kita lihat juga, bahwa adat yang paling keras dan paling lama dapat dipatahkan juga! Saya mendapat semangat dan harapan! Ingin benar saya berkenalan dengan anak-anak Cina yang berani itu! Ingin sekali saya hendak tahu pikiran, cita-cita dan perasaan mereka, jiwa mereka! Selamanya saya ingin mempunyai teman Cina! Saya ingin benar hendak mengetahui hidup
kejiwaan anak perempuan Cina semacam itu! Pasti banyak keindahannya! Nampak jelas bahwa aktivitas mereka tidak hanya bergaung pada kaumnya saja, namun mampu menembus sekat-sekat rasial dan budaya, serta menyemangati Kartini untuk terus mengejar kemajuan bagi bangsa dan kaumnya.