Serangan pada Kemajemukan
Menurut Steenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia (1984), seiring dengan makin intensifnya penetrasi kolonial, sejak abad XVIII beberapa kali pimpinan VOC mengeluarkan larangan kepada golongan Cina memeluk agama Islam, atau mengasimilasikan diri dengan penduduk pribumi. Untuk lebih memperketat pengawasan, perkawinan antara Muslim dengan Tionghoa juga dilarang Belanda pada abad XVIII. Belanda rupanya takut kalau kedua pihak itu bersatupadu, maka dicari jalan supaya mereka tetap terpisah.
Semakin dalamnya keterlibatan orang Tionghoa dalam persoalan ekonomi sehari-hari rakyat Jawa, khususnya penarikan pajak atas gerbang tol dan penjualan candu di abad XIX, menyebabkan mereka dituduh sebagai kambing hitam atas kemiskinan rakyat. Maka Pangeran Diponegoro mengumumkan bahwa orang Tionghoa adalah salah satu target Perang Suci yang akan dikobarkannya. Mereka akan dibinasakan apabila tidak bersedia memeluk agama Islam, seperti terekam dalam Babad Diponegoro
Lebih khusus lagi, Diponegoro menjadikan pergaulan dengan perempuan Tionghoa sebagai kambing hitam atas kekalahannya serta iparnya. Malam sebelum pertempuran, mereka melakukan perselingkuhan dengan nyonya Tionghoa. Tidak bisa menerima kekalahan, mereka mencari kambing hitam dan para perempuan itu mudah sekali dijadikan sasaran.
Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2 Denys Lombard, memberikan komentarnya tentang “gagasan yang sepenuhnya rasialis itu” sebagai berikut:
Mungkin, yang lebih parah …adalah ideologi berbahaya yang mulai disebarluaskan oleh Diponegoro dan para pengikutnya: orang Cina tidak sekedar dimasukkan dalam kategori orang kafir, tetapi pengikut Diponegoro juga secara resmi dilarang kawin dengan wanita Cina maupun untuk mengambil wanita peranakan sebagai selir.
Dengan demikian gagasan ideal tentang pernikahan campur Tionghoa-Jawa menjadi musnah.
Seperti yang diceritakan Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa (2008), maka muncullah mitos untuk membuat lelaki Jawa takut menikahi perempuan Tionghoa, dikarenakan ‘abu” orang Tionghoa lebih tua, sehingga nanti anak-anak hasil percampuran itu akan lebih dominan sifat Tionghoa-nya. Maka oleh lingkungan sekitarnya orang Tionghoa makin didorong untuk menjadi ‘orang asing’ (outsider) dan hal ini makin mengukuhkan posisinya yang rentan sebagai ‘minoritas perantara’.
Di masa Orde Baru, diciptakanlah “hantu” bernama SARA (Suku-Agama-Ras dan Antar Golongan) yang tabu dibicarakan di publik. Muncullah tekanan dari pemerintah untuk mengasimilasikan golongan Tionghoa, mereka dipaksa untuk mengganti nama asli mereka menjadi nama Indonesia; perayaan budaya dan bahasa Tionghoa juga secara resmi dilarang.
Kejatuhan Orde Baru membuka keran-keran keberagaman yang selama ini dibungkam. Namun masa Reformasi ini pun masih diwarnai konflik etnis dan agama, serta berbagai upaya pemaksaan menuju ke keseragaman atas nama agama atau ideologi.
Penutup
Dari uraian di atas, nampak bahwa suasana kemajemukan tidaklah selalu berlangsung nyaman, karena seringkali mendapat serangan, baik dari rezim penguasa atau kelompokkelompok penekan, Namun sejarah juga menunjukkan bahwa keberagaman tidak pernah mati di bumi ini, karena masih banyak golongan masyarakat yang memperjuangkannya secara konsisten. Perpaduan berbagai aspek budaya positif dari berbagai etnis dan suku bangsa itu, mewujudkan apa yang digagas Eddie Lembong sebagai “penyerbukan silang antar budaya” (cross cultural fertilization), yang nantinya akan membentuk suatu budaya Indonesia baru yang harmonis, makin maju dan makin unggul.
Bagi umat Kristiani, dalam Lukas 10: 36-37, Yesus telah menegaskan bahwa penilaian atas diri seseorang bukanlah berdasarkan etnisitasnya, namun dari perbuatannya. Ini adalah pesan penting untuk kehidupan di tengah masyarakat multi kultural. Dewasa ini mulai diupayakan pendidikan berwawasan multikultural di sekolah lanjutan. Alangkah baiknya, apabila dalam pemaparannya disajikan contoh-contoh dari masa lalu. Sejarah harus selalu dikaji ulang untuk bisa menjawab berbagai permasalahan aktual, termasuk permasalahan integrasi nasional dan multikulturalisme. Untuk itulah, pendapat Koentjaraningrat, bahwa kajian sejarah mengenai hubungan antar etnik akan sangat berguna bagi negara Indonesia yang multi etnik ini, perluterus disuarakan.
**
Didi Kwartanada adalah sejarawan. Saat ini bekerja sebagai staf di Yayasan Nabil, Jakarta.
Dimuat di CIVIS (Leimena Institute), Vol. 02 No. 03 Dec 2010, h. 24-27
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Referensi :
- Steenbrink , “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia”, 1984
- Des Alwi Abubakar ,” Friends and Exiles“, 2008
- Daradjadi, “Perang Sepanjang“, 2008
- Denys Lombard, “Nusa Jawa , Silang Budaya”
- Peter Carey, “Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa“, 2008,