Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967
Kwik Kian Gie , Selasa, 19 Agustus 08
PENGANTAR
Boleh dikatakan bahwa secara menyeluruh, rakyat dan para pemimpin masyarakat berpendapat dan merasakan bahwa setelah 63 tahun merdeka, kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami kemerosotan yang parah.
Maka untuk bahan perenungan apakah demikian kondisinya, kami menyajikan kondisi dari 8 tonggak yang paling fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk ditanyakan kepada diri sendiri, apakah dalam 8 aspek terpenting ini, kita mengalami kemajuan atau kemerosotan?
8 tonggak tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kemandirian
Apakah kita dalam bidang kemandirian mengurus diri sendiri, yaitu mandiri dan bebas merumuskan kebijakan-kebijakan terbaik untuk diri sendiri, mengalami kemajuan atau kemunduran? Apakah de facto yang membuat kebijakan dalam segala bidang bangsa kita sendiri atau bangsa lain beserta lembaga-lembaga internasional?
|
Dari berbagai studi oleh para ahli sejarah, baik dalam maupun luar negeri yang boleh dikatakan obyektif, sejak tahun 1967 kita sudah tidak mandiri. Ketidakmandirian kita sudah mencapai puncak setelah kita dilanda krisis pada tahun 1997. Jauh sebelum itu, tetapi menjadi sangat jelas setelahnya, dapat kita lihat hubungan yang sangat erat antara kebijakan Pemerintah Indonesia dan apa yang tercantum dalam country strategy report yang disusun oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, serta segala sesuatu yang didiktekan kepada Pemerintah Indonesia dalam bentuk Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP), yang lebih dikenal dengan sebutan Letter of Intent.
Bagaimana dampaknya? Buat mayoritas rakyat Indonesia sangat merusak, bahkan dapat dikatakan sudah membangkrutkan keuangan negara.
2. Peradaban dan Kebudayaan
Terutama dalam bidang tata nilai, mental, moralitas dan akhlak, apakah setelah 63 tahun merdeka dari penjajahan kita lebih maju atau lebih mundur? Benarkah Bung Hatta yang sejak puluhan tahun lalu mengatakan bahwa korupsi mulai menjadi kebudayaan kita? Benarkah kalau sekarang dikatakan bahwa KKN sudah “mendarah daging” dan merupakan gaya hidup
bagian terbanyak elite bangsa kita? Benarkah peringkat yang diberikan oleh lembaga asing bahwa Indonesia digolongkan dalam kelompok negara-negara yang paling korup di dunia?
3. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Apakah setelah 60 tahun merdeka, bangsa kita unggul? Dibandingkan dengan zaman penjajahan, kemampuan kita menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa-bangsa lain memang boleh dikatakan cukup up to date. Tetapi, yang dimaksud apakah ilmu pengetahuan itu temuan kita sendiri, dan apakah teknologinya ciptaan bangsa kita sendiri? Ataukah harus membelinya dengan harga sangat mahal dari bangsa-bangsa lain?
4. Persatuan dan Kesatuan
Apakah bangsa kita lebih kokoh atau lebih rapuh? Referensi yang dapat kita gunakan adalah Amandemen UUD 1945. Bentuk dan praktik otonomi daerah, baik dalam bidang pengelolaan administrasi negara maupun dalam bidang keuangannya. Gerakan Aceh Merdeka berserta cara penanganannya. Aktifnya Gerakan Papua Merdeka di dunia internasional. Konflik antar etnis dan antar agama yang cukup keras, walaupun belum terjadi di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hilangnya Sipadan dan Ligitan. Digugatnya Ambalat. Terancamnya Aceh dan Irian Barat lepas dari NKRI. Saya kira sangat mundur dan menjadi sangat rapuh.
5. Hankam
Apakah kondisi kita semakin kuat atau semakin lemah? Referensinya adalah persenjataan dan alat-alat perang yang kita miliki, dikaitkan dengan kemampuan serta prospeknya untuk membangun dan mengembangkan industri pertahanan sendiri. Referensi non materiilnya, apakah dengan reformasi yang memisahkan fungsi Polri dan TNI dalam bentuknya seperti sekarang ini membuat ketahanan nasional lebih mantap atau lebih rapuh?
6. Interaksi dan kedudukan kita di dunia Internasional
Dalam pergaulan antar bangsa dan kedudukan kita dalam organisasi-organisasi internasional, apakah bangsa kita mempunyai tempat dan kedudukan yang lebih terhormat atau lebih terpuruk?
Pemberitaan dan ulasan di pers internasional menempatkan Indonesia msebagai negara yang dalam banyak aspek sebagai negara bangsa yang terbelakang dan kurang terhormat.
7. Kemakmuran dan Kesejahteraan yang Berkeadilan
Tidak dapat disangkal bahwa pendapatan nasional per kapita meningkat sejak kemerdekaan hingga sekarang. Namun seperti diketahui, pendapatan nasional per kapita tidak mencerminkan pemerataan maupun keadilan dalam menikmatinya.
Angka-angka dari berbagai sumber menggambarkan betapa timpangnya antara kaya dan miskin, antara kota dan desa, antara perusahaan besar dan kecil.
8. Keuangan Negara
Keterbatasan infrastruktur, pendidikan, pelayanan kesehatan, penyediaan public utility oleh pemerintah jelas disebabkan oleh keuangan negara yang sangat terbatas, karena korupsi dan beban utang yang sangat besar.
KEMEROSOTAN, MALAISE ATAU MELT DOWN
Dalam berbagai seminar dan pertemuan-pertemuan diskusi, bahkan dalam perbincangan sehari-hari di mana-mana, pada umumnya orang berpendapat bahwa dalam 8 bidang fundamental tersebut kita mengalami kemerosotan yang parah.
Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa, gejala seperti yang sedang dialami oleh bangsa kita juga pernah dialami oleh bangsa-bangsa lain. Karena faktor-faktor yang tidak selalu sama, dalam kurun waktu tertentu yang bisa panjang atau pendek, sebuah bangsa dapat mengalami kemerosotan dalam segala aspek dan segala bidang kehidupan. Gejala seperti ini disebut malaise atau melt down. Karena faktor-faktor yang juga tidak sama buat setiap bangsa, banyak bangsa yang mencapai titik kemerosotan yang terendah atau titik balik, yang disebut pencerahan atau aufklarung. Titik balik ini diikuti dengan awal masa jaya dalam segala bidang, yang disebut rennaisance.
PERAN EKONOMI
Kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut sangat banyak aspek, karena praktis menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi memegang peran penting dalam membawa keseluruhan bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan.
Kehidupan ekonomi suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek kehidupan lainnya yang non materi sifatnya. Keduanya atau bahkan semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara saling berkaitan secara interdependen.
Salah satu faktor yang dapat merusak kehidupan ekonomi suatu bangsa secara dahsyat ialah pengaruh interaksinya dengan bangsa-bangsa lain, atau kekuatan-kekuatan yang ada di luar wilayah Indonesia (eksternal).
Kita mengalami penjajahan berabad-abad lamanya oleh Belanda yang diawali dengan “penjajahan” oleh sebuah perusahaan swasta, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Kami menggunakan istilah “penjajahan”, karena demikian menguntungkannya, VOC sangat kaya, sehingga bagaikan negara mempunyai angkatan bersenjata sendiri yang memaksakan kehendaknya pada para penguasa Nusantara ketika itu. Karena korupsi yang terjadi dalam tubuh VOC, akhirnya bangkrut, dan penjajahan atas wilayah Nederlands Indie diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Sekitar tahun empatpuluhan, banyak sekali negara-negara yang terjajah berhasil mengusir negara-negara penjajah, menjadi negara merdeka. Kita merebutnya kemerdekaan di tahun 1945.
Namun sejak dekade itu pula, langsung saja muncul benih-benih penguasaan kebijakan dan kekayaan alam negara-negara yang lemah, terbelakang dan tidak berpendidikan. Benih-benih dari kekuatan-kekuatan tersebut sekarang telah menjadi sebuah kekuatan raksasa yang dahsyat. Bentuknya seperti VOC dahulu, yaitu perusahaan-perusahaan transnasional dan multinasional. Mereka adalah business corporations. Maka era yang sekarang merajalela disebut era corporatocracy. Para ahli Amerika Serikat dan Eropa Barat sendiri yang sangat banyak menggambarkan kekuatan dan kejahatan mereka terhadap
bangsa-bangsa lebih lemah yang dijadikan mangsanya dalam penyedotan sumber-sumber daya apa saja, terutama sumber daya mineral. Pembaca serial artikel ini dipersilakan membacanya sendiri. Yang jelas dan meyakinkan adalah Joseph Stiglitz, John Pilger, Jeffrey Winters, Bradley Simpson, John Perkins, dan 12 perusak ekonomi yang atas prakarsa John Perkins mengaku kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya. Kesemuanya dituangkan dalam buku paling mutakhir (2006) yang dikumpulkan dan di-edit oleh Steven Hiatt dengan kata pengantar oleh John Perkins. Judul bukunya “A Game As Old As Empire”.
Dari kesemuanya ini dapat kita baca bahwa di zaman setelah tidak ada negara jajahan lagi, perusahaan-perusahaan raksasa yang transnasional itu bagaikan VOC dahulu. Tetapi sekarang mereka tidak perlu melakukan penjajahan secara politik dan militer untuk menghisap kekayaan dari negara-negara dan bangsa-bangsa mangsanya. Cara-cara demikian sangat mahal, dan dapatnya tidak seberapa dibandingkan dengan cara-cara mereka sekarang ini.
Cara-cara mereka sekarang hanya perlu memelihara elit bangsa-bangsa mangsa, yang adalah elit bangsa yang secara politik dan secara formal negara merdeka dan berdaulat. Tetapi karena kekuasaan elit para anteknya ini, yang secara material maupun secara konsepsional didukung oleh corporatocracy global, pendiktean mereka dan penghisapan kekayaan alam serta tenaga manusianya menjadi sangat dahsyat dan mutlak. Di luar negara-negara mangsa, corporatocracy didukung oleh pemerintahnya
masing-masing yang menguasai lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF dan Bank Pembangunan Asia.
Bagaimana asal mulanya bangsa kita terjajah kembali sejak tahun 1967 sampai sekarang akan diceriterakan dalam serial artikel ini.
MULAINYA PENJAJAHAN KEMBALI SAMPAI SEKARANG
Setelah jatuhnya Bung Karno, segera saja kekuatan modal asing yang dipakai untuk melakukan eksploitasi atau korporatokrasi melakukan aksinya. Yang menggambarkan dengan tajam justru para sarjana ekonomi dan sejarawan Amerika dan Eropa.
Marilah kita kutip berbagai gambaran sebagai berikut.
Seorang wartawan terkemuka berkewarganegaraan Australia yang bermukim di Inggris, John Pilger membuat film dokumenter tentang Indonesia dan juga telah dibukukan dengan judul : “The New Rulers of the World”. Dua orang lainnya adalah Prof. Jeffrey Winters, guru besar di North Western University, Chicago dan Dr. Bradley Simpson yang meraih gelar Ph.D. dengan Prof. Jeffrey Winters sebagai promotornya dan Indonesia sebagai obyek penelitiannya. Yang satu berkaitan dengan yang lainnya,
karena beberapa bagian penting dari buku John Pilger mengutip temuan-temuannya Jeffrey Winters dan Brad Simpson.
Sebelum mengutip hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, saya kutip pendapatnya John Pilger tentang Kartel Internasional dalam penghisapannya terhadap negara-negara miskin. Saya kutip :
“Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal
dengan istilah “nation building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organization (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan
mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia.”
Saya ulangi sekali lagi paragraf yang sangat relevan dan krusial, yaitu yang berbunyi:
“Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries….” atau “Kekuatan negara-negara penghisap didasarkan atas utang besar yang tidak mampu dibayar oleh negara-negara target penghisapan.”
John Pilger mengutip temuan, pernyataan dan wawancara dengan Jeffrey Winters maupun Brad Simpson. Jeffrey Winters dalam bukunya yang berjudul “Power in Motion” dan Brad Simpson dalam disertasinya mempelajari dokumen-dokumen tentang hubungan Indonesia dan dunia Barat yang baru saja menjadi tidak rahasia, karena masa kerahasiaannya menjadi kadaluwarsa.
Saya kutip halaman 37 yang mengatakan : “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya `hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International PaperCorporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan `the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. `Ini dilakukan dengan cara yang
spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. `Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : “ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini”, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.
Jadi kalau kita percaya John Pilger, Bradley Simpson dan Jeffry Winters, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elit bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa.
Oleh Kwik Kian Gie
Dikutip dari :
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/35082
http://www.koraninternet.com/web/index.php?pilih=lihat&id=7697