Budaya-Tionghoa.Net | Dimsum adalah makanan khas Tionghoa, banyak sudah restoran-restoran Chinese food meyuguhkan Dimsum dalam daftar menunya. Dimsum adalah istilah dari bahasa Kanton dan artinya adalah “makanan kecil”. Biasanya dimsum dimakan sebagai sarapan dan dihidangkan dalam keranjang /besek bulat yang terbuat dari bambu yang disusun secara bertingkat-tingkat. Isinya sendiri beragam, biasanya terdiri atas daging ayam, ceker, bakpao, siomay, sayuran, dll yang kesemuanya dimasak dengan cara dikukus.
|
Judul : Dimsum Terakhir
Penulis : Clara Ng
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 361 hlm
Sebenarnya Dimsum tak ada kaitannya dengan Imlek/Tahun Baru Tionghoa, namun bagi keluarga Nung Atasana tradisi membuat dan menikmati dimsum adalah tradisi keluarga yang kerap dilakukan saat fajar menjelang untuk menyambut datangnya Tahun Baru Imlek. Nung Atasana dan istrinya Anastasia adalah keluarga Tionghoa yang memiliki empat anak kembar: Siska, Indah, Rosi dan Novera. Setelah Anastasia meninggal Nung harus membesarkan keempat putri kembarnya ini. Uniknya keempat putrinya ini walau kembar secara fisik, mereka memiliki empat kepribadian dan jalan hidup yang berbeda-beda. Siska, wanita karier metropolis yang tinggal di Singapura. Indah seorang penulis yang sangat peduli akan keluarganya terutama ketika ayahnya terkena stroke. Rosi, wanita tomboi yang selalu ingin menjadi laki-laki, pemilik kebun bunga di Puncak. Dan Novera yang tinggal di Yogya sebagai guru TK yang merupakan sosok rapuh yang mencoba mengatasi kegalauan hatinya dengan bercita-cita menjadi biarawati.
Hanya Indah yang tinggal bersama Nung di Jakarta, hingga akhirnya ketika Nung terkena stroke Indah berinisiatif memanggil ketiga saudara kembarnya untuk bersama-sama merawat ayahnya. Awalnya mereka enggan meninggalkan kehidupan mereka, ego mereka yang tinggi dan kesibukan mereka membuat mereka harus berpikir dua kali untuk pulang ke Jakarta. Untunglah Indah berhasil membujuk ketiga saudaranya kembali ke Jakarta untuk menemani ayah mereka yang mungkin kesempatan ini merupakan kesempatan terakhir bagi mereka untuk bisa berkumpul bersama ayah mereka.
Dalam sakitnya Nung berpesan pada keempat anaknya agar menikah sebelum ia meninggal. Tentu saja hal ini bukan hal yang mudah karena mereka ternyata menyimpan suatu rahasia dan masalah yang rumit dalam kisah percintaan mereka. Siska yang lama tinggal di luar negeri memiliki petualangan cinta yang serbabebas dan tak percaya akan ikatan formal pernikahan, Novera yang harus hidup tanpa rahim tentu saja merasa tak memiliki harapan untuk memiliki suami, Indah memiliki affair dengan seorang pastor sedangkan Rosi takkan sanggup jika harus menikah dengan seorang pria.
Di sela-sela kesibukan mereka merawat ayahnya dan konflik-konflik yang terjadi di antara mereka, keempat saudara kembar ini masih mengingat tradisi keluarga mereka yang sekian lama tak pernah mereka lakukan. Walau ayah mereka masih berada di rumah sakit, mereka bahu-membahu membuat dimsum saat fajar tahun baru Imlek menjelang. Akankah ini merupakan dimsum terakhir bagi mereka? Berhasilkah mereka memenuhi permintaan ayah mereka untuk segera menikah?
Ide cerita dalam novel ini mungkin sederhana dan tak istimewa, namun Clara Ng membuat tema yang biasa menjadi menarik untuk disimak. Karakter masing-masing tokoh dikupas dengan jelas, berkumpulnya empat karakter yang masing-masing memiliki kehidupan yang berbeda, menyimpan rahasia yang berbeda dan memiliki ego yang tinggi membuat konflik-konflik antara keempat saudara kembar ini tersaji dengan menarik. Mau tak mau mereka harus mengorbankan kepentingan dan egonya agar bisa bersama-sama menemani dan merawat ayah mereka. Uniknya konflik-konflik yang terjadi selama mereka bersatu kembali tak membuat mereka terpecah, lambat laun masing-masing membuka diri dan kembali mendekatkan diri mereka satu sama lain menjadi satu keluarga yang utuh sesuai dengan tradisi Tionghoa yang memegang teguh keutuhan keluarga.
Selain kisah kehidupan keempat saudara kembar dalam merawat ayahnya dan berusaha memenuhi keinginan terakhir ayahnya, pembaca juga diajak untuk menyelami kembali masa-masa kecil mereka ketika mereka masih tinggal dalam suatu rumah lengkap dengan kehadiran ibu mereka. Secara piawai penulis memasukkan kisah masa lalu para tokoh dalam novel ini secara tepat sehingga pembaca tidak akan dibuat bingung ketika cerita harus bergerak mundur untuk menyelami masa lalu tokoh-tokohnya. Selain itu peristiwa masa lalu yang dicetak oleh penerbitnya dengan huruf italic juga sangat membantu pembaca dalam kenyamanan proses membacanya.
Di novel ini selain disuguhkan konflik-konflik dalam keluarga Nung Atasana, pembaca juga akan diperkaya dalam berbagai hal mengenai budaya Tionghoa yang telah mengakar kuat di Indonesia. Ragamnya tradisi seperti Imlek, Ce It, Cap Go Meh, Ceng Beng, hingga prosesi kedukaan dan pemakaman terungkap dalam porsi yang pas sehingga tidak mengganggu alur cerita. Selain itu novel ini juga mengungkap kehidupan etnis Tionghoa lengkap dengan persoalan-persoalan sosialnya. Walau tak banyak mengungkap hal ini, namun cukup untuk menyadarkan pembacanya bahwa ada berbagai hal yang harus diperbaiki dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Satu hal yang agak mengganjal dalam novel ini terdapat di awal-awal cerita, Indah yang berbohong pada Siska bahwa ayahnya telah meninggal terasa agak berlebihan, bukankah dalam tradisi etnis Tionghoa hormat pada orang tua merupakan hal yang terpenting dalam keluarga, apa pun alasannya berbohong soal kematian orang tua adalah hal yang tabu. Selain itu kisah ini banyak mengeksplorasi perbedaan antara keempat saudara kembar, padahal saudara kembar biasanya memiliki kesatuan hati karena mereka berasal dari sel telur yang sama. Soal kesatuan/ kedekatan hati antar keempat saudara kembar ini ini yang rupanya tak banyak disorot oleh penulisnya, padahal hal ini pun akan menarik jika diekplorasi lebih jauh sehingga tidak hanya perbedaan-perbedaannya saja yang ditonjolkan
Namun terlepas dari hal yang mengganjal diatas, novel ini sangatlah menarik. Tutur kalimatnya lugas memikat, karakter tokoh-tokohnya dibuat secara manusiawi dan tidak mengada-ada sehingga terasa sangat dekat dengan keseharian pembacanya. Seperti layaknya dimsum yang tersaji dengan berbagai jenis makanan, demikian pula dengan novel ini. Novel ini tersaji dengan racikan aneka hidangan yang mengenyangkan pembacanya (konflik keluarga, pandangan hidup, tradisi, potret sosial etnis Tionghoa, dll). Seperti endorsement Alberthiene Endah pada novel ini, “Clara dengan manis meracik seluruh elemen dalam novel ini menjadi sebuah hidangan cerita yang memabukkan. Ia membumbui sesuatu yang simpel dengan cara yang tidak biasa.”
Seperti Dimsum, itulah gambaran novel ini. Review ini tak dapat menggambarkan betapa nikmatnya mengudap aneka jenis makanan dalam Dimsum Terakhir. Silakan pembaca menikmatinya sendiri selagi masih hangat keluar dari kukusan pembuatnya.
Sumber :
- Tulisan ini dimuat ulang dengan seijin dan sepengetahuan H.Tanzil , pemilik tulisan dan blog dibawah ini.
- http://bukuygkubaca.blogspot.com/2006/06/dimsum-terakhir.html
Budaya-Tionghoa.Net | Buku Yang Kubaca Blogspot